Nationalgeographic.co.id—Dunia sedang bergulat dengan kebutuhan mendesak untuk mengatasi perubahan iklim dan melindungi keanekaragaman hayati.
Di saat yang sama, deforestasi menimbulkan bayangan suram atas nasib planet kita. Masyarakat adat, pengelola keanekaragaman hayati dan budaya yang beragam, menanggung beban deforestasi yang merajalela di tengah krisis iklim.
Tanah leluhur masyarakat adat sangat penting untuk penghidupan dan praktik spiritual. Ironisnya, tanah leluhur itu terancam oleh kekuatan destruktif penebangan, pertambangan, dan pertanian.
Saat berupaya menjaga hutan dan memerangi deforestasi, kita harus menyadari dampak signifikan bagi masyarakat adat. Juga membela hak-hak mereka sambil mencari solusi jangka panjang untuk masa depan yang damai.
Hutan tidak diragukan lagi akan menjadi bagian penting dari solusi saat dunia berupaya mengurangi perubahan iklim. Juga ketika dunia berupaya untuk melindungi spesies dan mendukung lebih dari delapan miliar orang. Namun, deforestasi—penebangan hutan secara luas demi komoditas seperti bahan bakar dan bahan bangunan— terus berlanjut tanpa henti.
Luas hutan global berkurang 178 juta hektar antara tahun 1990 dan 2020. Luas tersebut setara dengan luas Libya. Hutan tropis merupakan rumah bagi sejumlah besar spesies hewan dan tumbuhan serta menyimpan lebih dari separuh karbon daratan dunia. “Hutan di wilayah masyarakat adat dan suku menyimpan sekitar 34.000 juta metrik ton karbon,” tulis Alokya Kanungo di laman Earth.org.
Hutan juga merupakan rumah bagi masyarakat yang bergantung padanya untuk mata pencaharian, praktik spiritual dan budaya, serta kesejahteraan.
Diperkirakan sekitar 370 juta penduduk asli tinggal di 70 negara di seluruh dunia. Masyarakat adat adalah penjaga keanekaragaman hayati dan budaya yang beragam di dunia. Meskipun hanya mencakup sekitar 5 persen dari populasi global, mereka secara efektif mengelola sekitar 20–25 persen permukaan daratan Bumi. Lahan ini berbatasan dengan tempat-tempat yang mengandung 80 persen keanekaragaman hayati dunia dan 40 persen dari semua kawasan lindung daratan dan wilayah yang secara ekologis utuh.
Tingkat penggundulan hutan di tanah adat berada di antara 17-26 persen lebih rendah. Bila dibandingkan dengan dengan rata-rata global untuk penggundulan hutan di hutan tropis yang tidak dilindungi
Penggundulan hutan berdampak negatif pada keanekaragaman hayati serta pada kelompok masyarakat adat yang berada di seluruh dunia. Komunitas-komunitas adat memiliki hubungan budaya dan sejarah yang mendalam dengan ekosistem hutan mereka. Mereka pun menghadapi berbagai dampak yang menghancurkan karena penghancuran wilayah leluhur mereka yang merajalela.
Dampak-dampak ini mencakup hilangnya tanah adat, pencemaran air, polusi udara, dan ancaman terhadap identitas budaya.
Baca Juga: Klaim 80% Keanekargamaan Hayati Dilindungi Masyarakat Adat Keliru?
Dampak deforestasi: hilangnya tanah adat
Kelompok adat hidup dan merawat tanah leluhur mereka selama beberapa generasi. “Mereka bergantung pada hutan sebagai sumber makanan dan cara mencari nafkah,” tambah Kanungo. Deforestasi menyebabkan hilangnya tanah adat, yang mengganggu keseimbangan yang rapuh.
Masyarakat adat secara fisik menempati 404 juta hektar di Amerika Latin. Dari 404 juta hektar, 237 juta—hampir 60—berada di Cekungan Amazon. Namun, aktivitas deforestasi seperti pertanian, penebangan, dan pertambangan mengambil alih tanah ini. Deforestasi pun merampas tempat tinggal dan cara hidup tradisional masyarakat adat.
Ancaman deforestasi terhadap identitas budaya
Bagi masyarakat adat, hutan merupakan bagian yang sangat penting dari budaya mereka. Hutan lebih dari sekadar tempat tinggal bagi mereka. Hutan juga merupakan tempat berlangsungnya aktivitas spiritual, praktik tradisional, dan penyampaian informasi.
Deforestasi memengaruhi identitas budaya ini, menghancurkan inti masyarakat adat. Ketika hutan ditebang, tempat-tempat suci, ritual, dan hubungan dekat dengan alam pun hancur. Kehilangan ini akan merusak integritas tradisional dan kelangsungan hidup masyarakat adat untuk waktu yang lama.
Deforestasi menyebabkan hilangnya sumber daya dan mata pencaharian masyarakat adat
Hutan merupakan sumber makanan dan pendapatan utama bagi suku-suku asli. Mereka dapat menemukan berbagai sumber daya organik di hutan. Misalnya buah-buahan, kacang-kacangan, tanaman obat, dan tempat berburu. Sumber daya tersebut secara langsung terancam oleh penggundulan hutan. Pada akhirnya, akan menyebabkan hilangnya sumber makanan tradisional dan terganggunya ekonomi mereka yang mandiri.
Hutan Amazon ditebangi dengan kecepatan 22 kilometer persegi per hari. Lebih dari 250 juta orang tinggal di wilayah hutan dan sabana. Mereka bergantung pada wilayah tersebut untuk mendapatkan penghasilan dan penghidupan.
Banyak dari mereka termasuk di antara masyarakat miskin pedesaan di dunia. Banyak kelompok masyarakat adat dipaksa jatuh miskin dan bergantung karena hilangnya sumber penghidupan mereka. Pada akhirnya, kondisi ini meningkatkan kesenjangan sosial dan ekonomi.
Deforestasi dan dampaknya bagi kesehatan masyarakat adat
Penggundulan hutan memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan masyarakat adat selain dampaknya terhadap lanskap fisik. Hutan berfungsi sebagai penghalang alami yang menjaga masyarakat ini bebas dari penyakit. Caranya adalah dengan mengendalikan iklim mikro dan menyediakan tanaman obat untuk sistem perawatan kesehatan konvensional.
Masyarakat adat kehilangan akses ke praktik pengobatan tradisional mereka. Karena itu, mereka pun menjadi lebih rentan terhadap penyebaran penyakit akibat kerusakan hutan. Hal ini semakin membahayakan ketahanan dan kesejahteraan umum mereka.
Tanggung jawab bersama
Deforestasi mengancam gaya hidup, identitas budaya, serta kesehatan fisik dan mental suku-suku asli.
Masyarakat adat sangat penting bagi konservasi keanekaragaman hayati dan pengelolaan lahan berkelanjutan dalam memerangi perubahan iklim dan melestarikan hutan dunia. Kita dapat melindungi ekosistem penting ini secara lebih adil dan efektif dengan memberdayakan dan melibatkan penduduk asli.
Hal ini memerlukan komitmen bersama dari pihak pemerintah, organisasi, dan individu untuk menegakkan hak asasi manusia. Juga untuk menghormati warisan budaya, serta mempromosikan praktik berkelanjutan yang menjamin koeksistensi yang harmonis antara manusia dan alam.
Source | : | Earth.org |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR