Seperti yang disebutkan sebelumnya, hanya 223 juta dolar untuk pampasan perang, walau sebenarnya Indonesia nilai total yang didapat lebih dari itu. Jepang sebenarnya punya motif atas niat ini.
Pada 1955, Myanmar lebih dulu mendapatkan pampasan perang sebesar 200 juta dolar dan Filipina sebesar 550 juta dolar. Jepang tidak mau memberikan uang lebih besar lagi kepada Indonesia pada 1957 karena khawatir Myanmar akan mengajukan protes.
Sukarno paham sehingga menerima pembayaran dalam bentuk lain. Sebagai dampak dari serah terima aset, Kurawa berpendapat bahwa hal ini memengaruhi semangat Indonesia dalam menasionalisasi aset Belanda.
Upaya nasionalisasi aset Belanda tidak berjalan mulus. Sejak Desember 1957, beberapa tokoh pemerintah Indonesia sempat meminta izin penggunaan aset Jepang dengan jaminan berupa pampasan perang Asia Pasifik, padahal belum disahkan.
Jepang awalnya enggan karena khawatir dituduh merebut kepentingan Belanda. Kemudian, setelah penandatanganan pampasan Januari 1958, beberapa proposal proyek yang mendapatkan pampasan sering kali diintervensi Jepang.
"Bagi Indonesia, dana pampasan sangat penting untuk keberlangsungan hidupnya setelah putusnya hubungan ekonomi dengan Belanda," Kurasawa berpendapat. "Namun, tidak dilihat dari segi dampak jangka panjang, banyak proyek yang langgeng bagi Indonesia karena pemilihan proyek tidak selalu didasarkan pada kebutuhan riil."
Hal ini memberi keuntungan kepada perusahaan-perusahaan Jepang yang ditunjuk untuk melaksanakan proyek. "Pembayaran ini dikutuk sebagai 'korupsi pampasan' oleh media Jepang," jelas Kurasawa.
Bagi Jepang, pampasan Asia Pasifik berganti sebagai peluang investasi ekonomi. Sebagian besar perusahaan yang terlibat punya rencana jangka panjang untuk ekspansi di Indonesia di masa depan.
"Sangat disayangkan pembayaran pampasan tidak dilakukan sebagai ungkapan penyesalan dan minta maaf yang tulus dari pihak Jepang, melainkan untuk motif ekonomi," tulis Kurasawa.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR