Pada bab keenam, "Bermain dan Mengetahui," Huizinga beralih pada pembahasan mengenai kontes intelektual. Ia berargumen bahwa manusia memiliki dorongan yang kuat untuk menunjukkan keunggulan intelektual mereka melalui berbagai bentuk kontes, seperti debat, teka-teki, dan permainan kata.
Huizinga menyimpulkan bahwa pengetahuan bukan hanya sebuah kekuatan, tetapi juga sebuah kekuatan magis yang memungkinkan manusia untuk menguasai dunia di sekitar mereka.
Dalam bab ketujuh, "Permainan dan Puisi," Huizinga mengajukan tesis menarik: puisi, jauh dari sekadar ekspresi emosi, pada dasarnya adalah sebuah permainan.
Ia mencatat, "Puisi, dalam kapasitas pembentuk budayanya yang asli, lahir dalam dan sebagai permainan." Puisi, menurutnya, merupakan arena sosial di mana individu bersaing dan berkolaborasi melalui kata-kata, layaknya sebuah permainan.
Kontes nyanyian dan syair menjadi bukti kuat dari klaim ini, yang telah menghiasi berbagai budaya sepanjang sejarah. Huizinga lebih jauh menyatakan, "Semua puisi lahir dari permainan: permainan suci penyembahan, permainan meriah pacaran, permainan militer kontes, permainan perdebatan kesombongan, ejekan dan celaan, permainan lincah kecerdasan dan kesiapan."
Bab kedelapan, "Unsur-unsur Mitografi," mengalihkan perhatian kita pada dunia mitos dan imajinasi. Huizinga melihat penciptaan mitos sebagai sebuah permainan mental yang memungkinkan manusia untuk berspekulasi tentang asal-usul alam semesta dan segala isinya. Proses personifikasi ide-ide abstrak, baik dalam konteks sastra maupun agama, adalah contoh nyata dari permainan mental ini.
Dalam bab kesembilan, "Bentuk-bentuk Permainan dalam Filsafat," Huizinga mengkaji perdebatan intelektual sebagai bentuk permainan. Ia melihat dialog publik sebagai ajang pertunjukan di mana para filsuf mempertontonkan kecerdasan dan kefasihan mereka.
Bab kesepuluh, "Bentuk-bentuk Permainan dalam Seni," berfokus pada musik dan tari. Bagi Huizinga, musik adalah salah satu bentuk komunikasi paling primitif dan emosional yang dimiliki manusia. Tari, dengan unsur-unsur kompetisi dan improvisasinya, juga merupakan bentuk permainan yang khas.
Pada bagian akhir buku, Huizinga mengungkapkan kekhawatirannya akan hilangnya semangat bermain dalam peradaban modern. Mulai sekitar abad ke-18, permainan secara bertahap tergantikan oleh keseriusan, kompetisi yang kaku, dan penekanan pada efisiensi. Olahraga, yang seharusnya menjadi ruang untuk bersenang-senang, telah berubah menjadi ajang perebutan gelar dan kekuasaan.
Huizinga menyimpulkan, "Ketika suatu peradaban menjadi lebih kompleks, lebih bervariasi dan lebih kelebihan beban, dan ketika teknik produksi dan kehidupan sosial itu sendiri menjadi lebih terorganisir dengan baik, tanah budaya lama secara bertahap terkubur di bawah lapisan ide, sistem pemikiran dan pengetahuan, doktrin, aturan dan peraturan, moralitas dan konvensi yang telah kehilangan semua sentuhan dengan permainan. Peradaban, kita kemudian mengatakan, telah menjadi lebih serius; itu hanya memberikan tempat sekunder untuk bermain."
Lalu, apakah kehadiran permainan seperti Koin Jagat pada akhirnya hanya mengembalikan naluri alami manusia untuk bermain? Mari kita renungi.
KOMENTAR