Nationalgeographic.co.id—Kehadiran aplikasi Koin Jagat menarik perhatian masyarakat bukan dikarenakan hadiah yang dijanjikan, melainkan dampak buruk yang ditimbulkan.
Beberapa Ruang Terbuka Hijau rusak akibat para pencari Koin Jagat yang seolah-olah tidak ragu untuk merusak fasiltias umum demi bisa menemukan koin tersebut.
Namun, di balik semua dampak buruk itu semua, terdapat satu sudut pandang yang menarik untuk dibahas. Ada yang mengaitkan gairah pencarian Koin Jagat dengan naluri alami manusia sebagai Homo Ludens.
Konsep yang tenar melalui karya monumental sejarawan Belanda Johan Huizinga, Homo Ludens: A Study of the Play Element in Culture (1938), menyebutkan bahwa bahwa naluri bermain merupakan fondasi utama dari segala kebudayaan manusia.
Melalui penyelidikan mendalam terhadap peran permainan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti hukum, perang, sains, puisi, filsafat, dan seni, Huizinga menyimpulkan bahwa manusia pada dasarnya adalah "Homo Ludens" atau "Manusia yang Bermain".
Lalu, seperti apa penjelasan mendalam dari konsep Homo Ludens? Berikut penjelasan yang dirangkum dari buku karya Huizinga, seperti dilansir laman pgpedia.com.
Pada bab pembuka, Huizinga berusaha mendefinisikan dan menjelaskan secara mendalam apa sebenarnya makna permainan dalam konteks kebudayaan. Ia berpendapat bahwa permainan telah ada jauh sebelum munculnya kebudayaan itu sendiri, dan bahkan menjadi akar dari segala aktivitas manusia.
Dengan kata lain, "...gaya hidup beradab yang besar dan naluriah berakar: hukum dan ketertiban, perdagangan dan keuntungan, kerajinan dan seni, puisi, kebijaksanaan, dan ilmu pengetahuan. Semuanya berakar pada tanah dasar permainan."
Huizinga menegaskan bahwa permainan adalah aktivitas yang dilakukan secara sukarela dan bebas, serta berdiri di luar rutinitas kehidupan sehari-hari. Permainan memiliki batasan waktu dan tempat yang jelas, serta aturan-aturan yang harus ditaati.
Meskipun tidak serius, permainan dilakukan dengan penuh kesungguhan dan melibatkan keteraturan yang tinggi. Adanya unsur ketegangan dan penyelesaian, serta prinsip keadilan, menjadi ciri khas dari setiap permainan.
Pelanggaran terhadap aturan akan dianggap sebagai upaya untuk merusak kesenangan bersama. Lebih jauh lagi, permainan cenderung menciptakan ikatan sosial yang kuat di antara para pemain, ditandai dengan adanya ritual khusus, simbolisme, dan rasa kebersamaan.
Baca Juga: Tanpa Neanderthal, Bisa Jadi Manusia Tidak akan Pernah Bertahan Hidup
Huizinga merangkum karakteristik utama permainan sebagai berikut: "sebuah aktivitas bebas yang berdiri secara sadar di luar 'kehidupan biasa' sebagai sesuatu yang 'tidak serius,' tetapi pada saat yang yang sama menyerap pemain secara intens dan total. Ini adalah aktivitas yang tidak terkait dengan kepentingan materi, dan tidak ada keuntungan yang dapat diperoleh darinya. Permainan berlangsung dalam batas waktu dan ruangnya sendiri sesuai dengan aturan tetap dan dengan cara yang teratur. Permainan mendorong terbentuknya kelompok sosial yang cenderung mengelilingi diri mereka dengan kerahasiaan dan menekankan perbedaan mereka dari dunia umum melalui penyamaran atau cara lainnya."
Pada bab kedua, "Konsep Permainan yang Terungkap dalam Bahasa," Huizinga menyajikan sebuah analisis mendalam mengenai bagaimana berbagai bahasa mendefinisikan konsep permainan.
Melalui penelusuran kata-kata yang digunakan dalam berbagai bahasa, Huizinga menyimpulkan bahwa meskipun semua manusia bermain, pemahaman mereka tentang permainan sangat bervariasi.
Ia mencatat bahwa definisi permainan dalam bahasa-bahasa Eropa modern cenderung lebih spesifik dan komprehensif dibandingkan dengan bahasa-bahasa lainnya.
Huizinga merumuskan definisi permainan sebagai "aktivitas atau pekerjaan sukarela yang dilakukan dalam batas waktu dan tempat tertentu, sesuai dengan aturan yang diterima secara bebas tetapi mengikat secara mutlak, memiliki tujuan pada dirinya sendiri dan disertai dengan perasaan tegang, sukacita, dan kesadaran bahwa hal itu 'berbeda' dari 'kehidupan biasa'."
Membangun atas dasar pemahaman tentang konsep permainan, Huizinga kemudian beralih pada pembahasan mengenai peran permainan dalam peradaban pada bab ketiga, "Permainan dan Kontes sebagai Fungsi Peradaban."
Ia mengajukan argumen yang menarik bahwa budaya itu sendiri muncul dalam bentuk permainan dan bahwa permainan merupakan cara bagi masyarakat untuk mengekspresikan pemahaman mereka tentang kehidupan dan dunia.
Huizinga berpendapat bahwa kontes dan kompetisi merupakan bentuk permainan yang sangat penting dalam berbagai budaya, dan ia mendedikasikan sebagian besar bab ini untuk menyelidiki fenomena tersebut.
Pada bab keempat, "Permainan dan Hukum," Huizinga memperluas analisisnya dengan membandingkan proses hukum dengan sebuah kontes. Ia berargumen bahwa dalam proses hukum, kedua belah pihak terlibat dalam sebuah kontes argumen yang bertujuan untuk memenangkan perkara. Sama seperti dalam permainan lainnya, kontes hukum juga memiliki aturan yang harus diikuti dan tujuan yang jelas.
Dalam bab kelima, "Permainan dan Perang," Huizinga mengeksplorasi hubungan antara permainan dan perang. Ia berpendapat bahwa perang sering kali dipandang sebagai sebuah permainan yang sangat serius, di mana para pihak yang bertikai berusaha untuk mencapai kemenangan dengan segala cara.
Namun, Huizinga juga menekankan bahwa perang hanya dapat dianggap sebagai sebuah fungsi budaya jika memenuhi kriteria tertentu, yaitu jika para pihak yang bertikai saling mengakui sebagai lawan yang setara dan memiliki hak yang sama.
Baca Juga: Perjalanan Panjang Homo Erectus Migrasi 'Mendatangi' Pulau Jawa
Pada bab keenam, "Bermain dan Mengetahui," Huizinga beralih pada pembahasan mengenai kontes intelektual. Ia berargumen bahwa manusia memiliki dorongan yang kuat untuk menunjukkan keunggulan intelektual mereka melalui berbagai bentuk kontes, seperti debat, teka-teki, dan permainan kata.
Huizinga menyimpulkan bahwa pengetahuan bukan hanya sebuah kekuatan, tetapi juga sebuah kekuatan magis yang memungkinkan manusia untuk menguasai dunia di sekitar mereka.
Dalam bab ketujuh, "Permainan dan Puisi," Huizinga mengajukan tesis menarik: puisi, jauh dari sekadar ekspresi emosi, pada dasarnya adalah sebuah permainan.
Ia mencatat, "Puisi, dalam kapasitas pembentuk budayanya yang asli, lahir dalam dan sebagai permainan." Puisi, menurutnya, merupakan arena sosial di mana individu bersaing dan berkolaborasi melalui kata-kata, layaknya sebuah permainan.
Kontes nyanyian dan syair menjadi bukti kuat dari klaim ini, yang telah menghiasi berbagai budaya sepanjang sejarah. Huizinga lebih jauh menyatakan, "Semua puisi lahir dari permainan: permainan suci penyembahan, permainan meriah pacaran, permainan militer kontes, permainan perdebatan kesombongan, ejekan dan celaan, permainan lincah kecerdasan dan kesiapan."
Bab kedelapan, "Unsur-unsur Mitografi," mengalihkan perhatian kita pada dunia mitos dan imajinasi. Huizinga melihat penciptaan mitos sebagai sebuah permainan mental yang memungkinkan manusia untuk berspekulasi tentang asal-usul alam semesta dan segala isinya. Proses personifikasi ide-ide abstrak, baik dalam konteks sastra maupun agama, adalah contoh nyata dari permainan mental ini.
Dalam bab kesembilan, "Bentuk-bentuk Permainan dalam Filsafat," Huizinga mengkaji perdebatan intelektual sebagai bentuk permainan. Ia melihat dialog publik sebagai ajang pertunjukan di mana para filsuf mempertontonkan kecerdasan dan kefasihan mereka.
Bab kesepuluh, "Bentuk-bentuk Permainan dalam Seni," berfokus pada musik dan tari. Bagi Huizinga, musik adalah salah satu bentuk komunikasi paling primitif dan emosional yang dimiliki manusia. Tari, dengan unsur-unsur kompetisi dan improvisasinya, juga merupakan bentuk permainan yang khas.
Pada bagian akhir buku, Huizinga mengungkapkan kekhawatirannya akan hilangnya semangat bermain dalam peradaban modern. Mulai sekitar abad ke-18, permainan secara bertahap tergantikan oleh keseriusan, kompetisi yang kaku, dan penekanan pada efisiensi. Olahraga, yang seharusnya menjadi ruang untuk bersenang-senang, telah berubah menjadi ajang perebutan gelar dan kekuasaan.
Huizinga menyimpulkan, "Ketika suatu peradaban menjadi lebih kompleks, lebih bervariasi dan lebih kelebihan beban, dan ketika teknik produksi dan kehidupan sosial itu sendiri menjadi lebih terorganisir dengan baik, tanah budaya lama secara bertahap terkubur di bawah lapisan ide, sistem pemikiran dan pengetahuan, doktrin, aturan dan peraturan, moralitas dan konvensi yang telah kehilangan semua sentuhan dengan permainan. Peradaban, kita kemudian mengatakan, telah menjadi lebih serius; itu hanya memberikan tempat sekunder untuk bermain."
Lalu, apakah kehadiran permainan seperti Koin Jagat pada akhirnya hanya mengembalikan naluri alami manusia untuk bermain? Mari kita renungi.
KOMENTAR