Pada tahun-tahun terakhir Dinasti Joseon, gisaeng dibagi lagi menjadi tiga kelas yang berbeda. Kelas pertama adalah gisaeng yang luar biasa dalam keahlian mereka, berpendidikan tinggi, dan jarang menjual seks.
Gisaeng kelas kedua sering kali adalah gisaeng yang lebih tua dan sudah pensiun. Pada dasarnya, mereka adalah pelacur tingkat tinggi tetapi masih bisa bertahan dalam hal puisi dan filsafat.
Kelas ketiga meliputi gisaeng yang tidak memiliki keterampilan dan kurang berpendidikan yang lebih sering menjual seks kepada rakyat jelata.
Terlepas dari pangkat gisaengnya, memang ada harapan akan aktivitas seksual dan ketundukan kepada pria yang mereka layani. Penolakan bisa berarti pemecatan dan aib.
Namun, bahkan dengan kelas gisaeng terendah, layanan mereka tidak terjangkau bagi kebanyakan pria Korea. Dan seks tidak terang-terangan bersifat transaksional.
Daya tarik gisaeng dalam sejarah Korea kuno
Bagi pria di Joseon, gisaeng sama sekali berbeda dengan wanita di rumah mereka.
Sementara wanita Konfusianisme menjadi simbol kesucian, ketabahan, keengganan, dan kesetiaan yang tak tergoyahkan. Gisaeng, di sisi lain, adalah wanita yang suka berganti-ganti pasangan, ekspresif, jenaka, dan cerdas. Gisaeng bersemangat hidup di luar aturan wanita.
Gisaeng tidak secara fisik terbatas pada perapian atau dengan saleh mengabdikan diri kepada satu pria. Mereka dapat mengungkapkan pikirannya, bepergian, menghadiri pertemuan sosial, dan bergaul dengan laki-laki. Mereka menawarkan jenis pertemanan yang unik yang tidak dapat disediakan oleh istri yang berbakti atau pelacur biasa.
Gisaeng tidak hanya memberikan kecantikan fisik. Pendidikan atau pengetahuan mereka yang luas memungkinkan mereka untuk menawarkan persahabatan yang “merangsang” secara intelektual. Dan karena itu, mereka menarik dan memikat pria.
Baca Juga: Singkap Perjalanan Panjang Praktik Perdukunan dalam Sejarah Korea
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR