Namun, gisaeng yang menulis di luar lingkup Konfusianisme memiliki lebih banyak kebebasan berekspresi. Mereka menulis surat dan puisi ekspresif tentang cinta, kerinduan, dan kesedihan.
Kedua, gisaeng biasanya adalah satu-satunya perempuan yang sering ditemui pria. Oleh karena itu, baik penulis menggambarkan mereka sebagai pahlawan wanita yang cerdas atau sebagai selir yang pencemburu. Mereka menjadi karakter dalam banyak karya sastra, yang didokumentasikan dalam novel, lukisan, cerita rakyat, dan puisi.
Matinya tradisi gisaeng dalam sejarah Korea kuno
Selama Dinasti Joseon, ada beberapa upaya untuk menghapus tradisi gisaeng karena tidak sesuai dengan ajaran Konfusianisme. Namun, banyak raja Joseon akhirnya memutuskan untuk mempertahankan gisaeng.
onon mereka takut bahwa tanpa saluran ini, akan terjadi kekacauan dalam tatanan sosial. Para raja juga takut bahwa pria akan melakukan tindakan yang lebih tidak bermoral seperti mencoba mencuri istri orang lain. Lebih jauh, gisaeng melalui hubungan mereka dengan pria yang penting dan berkuasa memiliki kekuasaan atas keputusan yang dibuat.
Dengan penandatanganan Perjanjian Jepang-Korea tahun 1876, Dinasti Joseon berada di bawah lingkup pengaruh Jepang. Mereka memulai sejumlah besar perubahan dalam pemerintahan, militer, proses bisnis yang bergerak menuju integrasi kedua kerajaan.
Pada tahun 1895, Reformasi Gabo menghapuskan semua perbudakan dan hierarki dalam masyarakat. Reformasi Gabo sangat dipengaruhi oleh Restorasi Meiji. Pada tahun 1896, Dinasti Joseon menjadi Kekaisaran Korea.
Setelah penandatanganan Perjanjian Jepang-Korea tahun 1905, Korea menjadi protektorat Jepang, yang secara tidak langsung diperintah oleh Residen Jenderal Jepang di Korea. Dan pada tahun 1910, Jepang secara resmi mencaplok kekaisaran Korea melalui Perjanjian Jepang-Korea lainnya.
Banyak wanita muda Joseon mengalami nasib yang lebih buruk di bawah Era Kolonial Jepang pada abad ke-20. Keperawanan yang membuat mereka menjadi wanita terhormat bagi calon suami juga membuat mereka menarik bagi tentara Jepang. Salah satu alasannya karena mereka tidak memiliki penyakit menular seksual.
Jepang ingin menghapus budaya Korea dengan membatasi penggunaan bahasa Korea dan mengubah nama-nama Korea. Mereka tidak memandang gisaeng sebagai wanita cantik, berbakat, dan terpelajar.
Jepang juga tidak melihat tari dan musik Korea sebagai bentuk seni yang berharga. Yang mereka lihat hanyalah pelacur yang kotor dan menuntut pemeriksaan kesehatan wajib untuk penyakit menular seksual.
Gisaeng menjadi model pertama dari emansipasi wanita dalam sejarah Korea. Mereka adalah pekerja seks, budak, dan hidup di luar masyarakat yang sopan. Hidup di luar status quo, gisaeng diizinkan untuk menempuh pendidikan dan seni tingkat tinggi.
Selama puluhan tahun, banyak gisaeng menyembunyikan identitasnya dan bekerja di pekerjaan “biasa” untuk mendapatkan uang. Dengan minat baru dan dukungan pemerintah untuk melestarikan seni, mantan gisaeng, yang sudah lanjut usia, tampil ke publik. Mereka bergabung dalam upaya untuk memastikan keberlangsungan seni tradisional Korea.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR