Nationalgeographic.co.id—Bila di Jepang ada geisha, maka di Korea kita mengenal gisaeng. Dalam sejarah Korea, gisaeng adalah seniman wanita yang sangat terlatih di Korea kuno. Mereka menghibur pria dengan musik, percakapan, dan puisi dengan cara yang sama seperti geisha Jepang.
Orang-orang sezaman mencela mereka sebagai no’ryu’jang’hwa. No’ryu’jang’hwa adalah pohon dan bunga yang tumbuh di sepanjang jalan dan di dinding yang mudah dipetik oleh siapa pun.
Gisaeng juga dipuji sebagai hae’eo’hwa, bunga-bunga indah yang dapat memahami kata-kata dan berbicara dalam puisi. Bunga-bunga ini menggambarkan sifat gisaeng (yang juga dieja ‘kisaeng’) Korea Kuno yang kontradiktif.
Beberapa peneliti berteori bahwa gisaeng telah ada selama ribuan tahun. Memang, ada bukti yang ditemukan dalam lukisan dan catatan tertulis tentang penghibur wanita di Korea sejak Periode Tiga Kerajaan (57 SM-668 M).
Selama berabad-abad, mereka membentuk kelompok sosial yang paling bergengsi sekaligus paling dibenci di Korea, tetapi dalam batasan ketat masyarakat Joseon, dikotomi ini paling menonjol.
Gisaeng adalah wanita penghibur yang sangat terampil. Secara teknis, mereka juga budak dan pekerja seks. Namun di masa lalu, seorang gisaeng adalah wanita bebas yang berpendidikan tinggi dan berbakat. Mereka hidup dengan tingkat martabat yang tidak sering diberikan kepada wanita lain dalam masyarakat Joseon.
Pada akhirnya, tradisi gisaeng berakhir sekitar waktu yang sama ketika Dinasti Joseon jatuh. Keahlian mereka kerap dipandang sebelah mata. “Dan masyarakat mereduksi banyak gisaeng menjadi pelacur untuk kesenangan penjajah Jepang abad ke-20,” tulis Minju Park di laman Fluent Korea.
Kini, meskipun kata tersebut sering digunakan secara keliru untuk menggambarkan wanita malam kelas atas, gisaeng dalam pengertian tradisional tidak ada lagi. Dalam sejarah Korea, gisaeng menjadi contoh awal dari emansipasi wanita. Tidak bisa dipungkiri, gisaeng telah meninggalkan jejak besar pada budaya nasional Korea.
Pada paruh kedua abad ke-20, banyak gisaeng yang tersisa diangkat sebagai pembawa Properti Budaya Takbenda Korea. Hal ini berkat pengembangan dan keterampilan mereka dalam seni, musik, dan tari tradisional. Semua itu memberikan legitimasi pada pekerjaan mereka sebagai pelestari budaya Korea.
Gisaeng, sang budak di era Korea kuno
Saat Dinasti Goryeo, gisaeng bisa menjadi selir kerajaan dan memperoleh status bangsawan. Namun, selama Dinasti Joseon, seorang gisaeng berada di kasta terendah dalam masyarakat Korea dan merupakan milik kerajaan.
Baca Juga: Rasisme di Korea Selatan: Didorong Jepang, Dimuliakan Konsep Darah Murni
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR