Namun, bagaimana pandangan masyarakat pribumi, khususnya masyarakat Jawa yang memandang seorang nyai dalam lingkup sosialnya?
Mengutip dari Hayu Adi Darmarastri dalam jurnal Lembaran Sejarah berjudul Keberadaan Nyai di Batavia (1870-1928), terbitan 2002 yang menyebut jika masyarakat memperlihatkan sikap menentang kepada para nyai.
Mereka menentang dengan pandangan sinis kepada wanita pribumi, terutama dari golongan rendahan yang menginginkan posisi nyai sebagai upaya melepaskan diri dari jerat kemiskinan dan kesengsaraan. Golongan pribumi sudah tidak menganggap nyai sebagian dari mereka.
Kebencian masyarakat pribumi akan orang-orang kulit putih (prasangka rasial) memaksa orang pribumi yang menjadi nyai untuk ikut menanggung kebencian bangsanya sendiri, dengan anggapan sebagai pengkhianat.
Lebih lanjut, Laila meneruskan bahwa "kehadiran nyai dalam masyarakat pribumi tidak pernah diterima dengan baik sebelum predikatnya sebagai simpanan Eropa hilang."
Nyai ketika berada di tengah-tengah masyarakat pribumi acap kali menimbulkan kecurigaan dan caci maki, bukan rasa simpati yang lumrah diberikan kepada saudara sebangsa sendiri.
Pro dan kontra akan penghapusan pernyaian di tangsi muncul tahun 1918. Pandangan pro pergundikan menganggap bahwa para tentara kolonial yang hidup dengan gundik akan memperkaya dan meningkatkan kesehatan moral tentara.
Nyai yang hidup di barak mencegah hal buruk yang bahkan lebih buruk dari perilaku menyimpang atau homoseksual. Meskipun, pergundikan juga telah menyebarkan penyakit kelamin kepada para tentara Belanda kemudian.
Setelah berangsurnya penyakit kelamin di barak tentara, pergundikan mulai menjadi hal kontra yang harus dipisahkan dari para tentara. Pemerintah Angkatan Darat dengan tegas akhirnya memutuskan untuk menghapuskan pernyaian.
Keputusan ini dikeluarkan oleh kantor administrasi tentara yang mengeluarkan surat edaran tentang penghapusan pernyaian di barak pada 23 November 1928. Seiring dengan putusan itu, sudah marak organisasi yang mewadahi para perempuan.
Kebanyakan para perempuan juga telah mendapat akses pendidikan yang membuka mata mereka untuk keluar dari jerat pergundikan dan semacamnya setelah diterapkannya Politik Etis.
Source | : | Jurnal Candi,Lembaran Sejarah |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR