Nationalgeographic.grid.id—Fenomena kawin campur banyak terjadi bahkan sampai hari ini. Namun, kawin campur yang dimaksud dalam tulisan ini berdasar pada fenomena perkawinan antara perempuan pribumi dengan lelaki Eropa melalui pergundikan.
Sejak diputuskan oleh pemerintah kolonial dalam Regeling op de Gemengde Huwelijken, Koninklijk Besluit van 29 December 1896 No. 23, staastblad tahun 1898 no. 158, pergundikan di Hindia berlaku, selaiknya dinaungi hukum.
Seperti halnya fenomena pergundikan yang tergambar dalam roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Tuan Mellema yang datang dari Eropa, tidak serta merta membawa anak-istrinya. Bahkan hubungannya dengan Nyai Ontosoroh tak diketahui istri sahnya.
Penghapusan perbudakan telah mendorong laki-laki Eropa memelihara inlandse huishoud ster (pembantu rumah tangga) yang dijadikan gundik untuk mengurusi segala kebutuhan rumah tangga dan nafsu seksualnya.
Perbudakan wanita sejatinya sudah berlangsung sejak era VOC di abad ke-17. Bali menjadi salah satu permulaan dan paling banyak wanita yang menjadi gundik VOC. Istilah nyai sendiri digunakan di Bali yang merujuk pada pelayan rumah tangga.
Fenomena ini marak dan sedikit banyaknya juga melibatkan para pejabat kolonial dan elit ekonomi yang berkuasa di tanah kuasanya. Sampai akhirnya staastblad tahun 1898 no. 158 mulai disahkan pada 1 September 1898.
Laila Magfirul Muniroh menulis dalam jurnal Candi, Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta berjudul Peranan Nyai dalam Akulturasi Budaya Jawa-Belanda Tahun 1870-1942, terbitan 2023 tentang fenomena pergundikan ini.
Mengutip gubahan Laila dalam jurnalnya, fenomena "nyai dan pergundikan di lain sisi dianggap sebagai aib di dalam kehidupan masyarakat pribumi."
"Mereka lebih buruk lagi dianggap sebagai pengkhianat agama karena telah hidup bersama dengan orang Eropa kafir atau Kristen. Nyai menempatkan posisinya di luar masyarakat pribumi dan menjadi orang yang dikucilkan," lanjutnya.
Meski demikian, bagi seorang nyai dan keluarga yang 'menjual' anaknya kepada seorang Eropa, adalah hal yang menguntungkan. Anak gadis yang diambil dari orang tuanya, akan dibayar dengan mahar tertentu, dan kehidupan gadis itu pun akan lebih sejahtera dibanding wanita kebanyakan.
Di sisi lain, bagi seorang Eropa—dalam catatan H.F.R Kommer tentang Tjerita Rossinna—merupakan sebuah prestis. Jikalah gundiknya cantik atau memelihara banyak gundik akan jadi kebanggaan dan meningkatkan status sosialnya.
Baca Juga: Misi Berbahaya dan Serba-serbi Kehidupan Para Selir Dinasti Ming
Namun, bagaimana pandangan masyarakat pribumi, khususnya masyarakat Jawa yang memandang seorang nyai dalam lingkup sosialnya?
Mengutip dari Hayu Adi Darmarastri dalam jurnal Lembaran Sejarah berjudul Keberadaan Nyai di Batavia (1870-1928), terbitan 2002 yang menyebut jika masyarakat memperlihatkan sikap menentang kepada para nyai.
Mereka menentang dengan pandangan sinis kepada wanita pribumi, terutama dari golongan rendahan yang menginginkan posisi nyai sebagai upaya melepaskan diri dari jerat kemiskinan dan kesengsaraan. Golongan pribumi sudah tidak menganggap nyai sebagian dari mereka.
Kebencian masyarakat pribumi akan orang-orang kulit putih (prasangka rasial) memaksa orang pribumi yang menjadi nyai untuk ikut menanggung kebencian bangsanya sendiri, dengan anggapan sebagai pengkhianat.
Lebih lanjut, Laila meneruskan bahwa "kehadiran nyai dalam masyarakat pribumi tidak pernah diterima dengan baik sebelum predikatnya sebagai simpanan Eropa hilang."
Nyai ketika berada di tengah-tengah masyarakat pribumi acap kali menimbulkan kecurigaan dan caci maki, bukan rasa simpati yang lumrah diberikan kepada saudara sebangsa sendiri.
Pro dan kontra akan penghapusan pernyaian di tangsi muncul tahun 1918. Pandangan pro pergundikan menganggap bahwa para tentara kolonial yang hidup dengan gundik akan memperkaya dan meningkatkan kesehatan moral tentara.
Nyai yang hidup di barak mencegah hal buruk yang bahkan lebih buruk dari perilaku menyimpang atau homoseksual. Meskipun, pergundikan juga telah menyebarkan penyakit kelamin kepada para tentara Belanda kemudian.
Setelah berangsurnya penyakit kelamin di barak tentara, pergundikan mulai menjadi hal kontra yang harus dipisahkan dari para tentara. Pemerintah Angkatan Darat dengan tegas akhirnya memutuskan untuk menghapuskan pernyaian.
Keputusan ini dikeluarkan oleh kantor administrasi tentara yang mengeluarkan surat edaran tentang penghapusan pernyaian di barak pada 23 November 1928. Seiring dengan putusan itu, sudah marak organisasi yang mewadahi para perempuan.
Kebanyakan para perempuan juga telah mendapat akses pendidikan yang membuka mata mereka untuk keluar dari jerat pergundikan dan semacamnya setelah diterapkannya Politik Etis.
Source | : | Jurnal Candi,Lembaran Sejarah |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR