Nationalgeographic.co.id—Gagasan untuk memasukkan serangga dan ulat sebagai sumber protein yang layak dikonsumsi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) menarik perhatian di masyarakat.
Ada yang mendukung, tapi tidak sedikit juga yang menentang wacana yang pertama kali disampaikan oleh Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana.
"Mungkin saja ada satu daerah yang suka makan serangga, belalang, ulat sagu, bisa jadi bagian protein," ujar Dadan seperti dilansir laman kompas.com.
Dalam penjelasannya, Dadan menyebutkan bahwa serangga bisa masuk ke menu makan bergizi gratis di wilayah yang warganya terbiasa makan serangga.
"Itu contoh bahwa Badan Gizi ini tidak menetapkan standar menu nasional, tetapi menetapkan standar komposisi gizi," jelas Dadan.
"Nah, isi protein di berbagai daerah itu sangat tergantung potensi sumber daya lokal dan kesukaan lokal. Jangan diartikan lain ya," paparnya.
Terkesan menjijikan padahal...
Gagasan mengonsumsi serangga mungkin terdengar menjijikkan bagi sebagian besar masyarakat dunia. Namun, di balik stigma yang melekat, terdapat fakta mengejutkan: sekitar dua miliar orang di seluruh dunia telah menjadikan serangga sebagai bagian integral dari diet mereka sehari-hari.
Praktik yang dikenal sebagai entomofagi (sebuah istilah dari bahasa Yunani yang berarti mengonsumsi serangga sebagai makanan) ini telah berlangsung selama ribuan tahun di berbagai belahan dunia, terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) dalam laporannya tahun 2013 menyoroti potensi besar serangga sebagai sumber protein alternatif yang berkelanjutan.
Dengan populasi dunia yang diperkirakan mencapai 9,8 miliar pada tahun 2050, tekanan terhadap sumber daya pangan semakin meningkat. Serangga, dengan kandungan protein, lemak, dan mineral yang tinggi, menawarkan solusi yang menjanjikan untuk mengatasi tantangan keamanan pangan global.
Baca Juga: Apakah Serangga Pemakan Plastik Bisa Jadi Solusi Daur Ulang Alami?
Namun, seperti dilansir laman heart.org, perlu diingat bahwa lebih dari sekadar sumber nutrisi, serangga juga telah menjadi bagian dari warisan kuliner banyak budaya.
Ulat mopane yang lezat di Afrika Selatan atau telur semut rangrang yang menjadi suguhan istimewa di Asia Tenggara adalah contoh nyata bagaimana serangga telah dihargai sebagai makanan selama berabad-abad. Rasa dan tekstur serangga yang beragam telah menginspirasi berbagai macam hidangan, dari camilan ringan hingga makanan utama.
Dalam beberapa tahun terakhir, minat terhadap entomophagy semakin meningkat di negara-negara Barat. Laporan FAO tahun 2013 telah menjadi katalisator bagi pergeseran paradigma dalam persepsi masyarakat terhadap serangga sebagai makanan.
Isu-isu seperti keberlanjutan, keamanan pangan, dan dampak lingkungan telah mendorong banyak orang untuk mempertimbangkan kembali pilihan makanan mereka.
Serangga memiliki keunggulan yang signifikan dibandingkan ternak konvensional. Mereka membutuhkan lebih sedikit ruang, makanan, dan air untuk menghasilkan jumlah protein yang sama. Selain itu, budidaya serangga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih rendah, sehingga lebih ramah lingkungan.
Sujaya Rao, seorang profesor entomologi di Universitas Minnesota, menekankan bahwa budidaya serangga merupakan salah satu solusi paling efektif untuk mengatasi tantangan keamanan pangan dan pakan di masa depan.
"Salah satu dari banyak cara untuk mengatasi keamanan pangan dan pakan adalah melalui budidaya serangga," kata FAO dalam sebuah panduan informasi berdasarkan laporan mereka.
"Serangga ada di mana-mana dan mereka berkembang biak dengan cepat, serta memiliki tingkat pertumbuhan dan konversi pakan yang tinggi dengan jejak lingkungan yang rendah sepanjang siklus hidup mereka."
Tak hanya tentang gizi
Lebih dari 1.900 spesies serangga di dunia, dengan kumbang sebagai primadona, telah terbukti aman dikonsumsi. Ulat, lebah, tawon, semut, belalang, jangkrik, dan kecoa pun tak ketinggalan menjadi bahan utama hidangan-hidangan unik. Tren ini bukan hanya sekedar tren sesaat, tetapi telah merambah ke berbagai restoran bergaya di seluruh dunia.
Chef Jose Andres, sosok ternama di dunia kuliner, turut menyumbang pada popularitas serangga sebagai bahan makanan. Di restorannya di Washington, D.C., taco dengan chapulines (belalang) menjadi salah satu menu andalan.
Baca Juga: Polusi Cahaya Bisa Mengubah Fotosintesis yang Mengancam Rantai Makanan
Bahkan, di sebuah stadion olahraga di Amerika Serikat, jangkrik panggang dengan bumbu khas menjadi jajanan favorit para penonton. Di New York City, sebuah restoran populer menyajikan guacamole dengan sentuhan unik: taburan semut hitam yang telah digiling.
Namun, mengapa serangga begitu menarik perhatian para koki dan pecinta kuliner? Selain faktor keunikan, serangga ternyata menyimpan segudang manfaat bagi kesehatan. Sebuah penelitian yang diterbitkan pada Januari 2021 menunjukkan bahwa serangga yang dapat dimakan memiliki kandungan nutrisi yang sangat tinggi.
Vitamin B12, zat besi, seng, serat, asam amino esensial, asam lemak omega-3 dan omega-6, serta antioksidan adalah beberapa di antara banyak nutrisi penting yang dapat ditemukan dalam serangga. Sebagai contoh, jangkrik kaya akan protein, terutama pada bagian kaki belakangnya yang berotot dan digunakan untuk melompat.
Keunggulan lain dari serangga adalah potensi budidayanya yang sangat efisien. Serangga seperti jangkrik dapat dibudidayakan secara vertikal dalam fasilitas terkontrol, sehingga memungkinkan produksi sepanjang tahun dengan dampak lingkungan yang jauh lebih kecil dibandingkan peternakan hewan ternak.
Sebuah perusahaan di Kanada bahkan sedang membangun fasilitas budidaya jangkrik terbesar di dunia.
Popularitas serangga sebagai bahan makanan juga tercermin dalam munculnya berbagai produk olahan serangga di pasaran, seperti tepung jangkrik dan protein bar berbahan dasar jangkrik. Hal ini menunjukkan bahwa serangga tidak hanya menjadi tren sesaat, tetapi memiliki potensi besar untuk menjadi bagian dari masa depan industri pangan.
"Karena stigma yang telah lama tertanam, memakan serangga tidak umum di dunia Barat," kata Rao. Namun, "menggunakan serangga sebagai bahan adalah salah satu strateginya, seperti tepung jangkrik dalam kue. Ini tidak memiliki citra negatif. Jadi, lebih banyak orang yang kemudian bersedia untuk mencobanya."
Dalam penelitiannya yang diterbitkan pada tahun 2020 di Journal of Insect Science, Rao dan timnya melakukan sebuah eksperimen menarik. Mereka mengajak mahasiswa untuk menjadi penikmat pertama brownies yang memiliki bahan rahasia: tepung jangkrik.
Tujuannya? Untuk menguji apakah stigma negatif terhadap serangga sebagai makanan dapat diatasi dengan menyajikannya dalam bentuk yang familiar dan lezat.
Hasilnya cukup mengejutkan. Para mahasiswa ternyata lebih menyukai brownies berbahan dasar tepung jangkrik dibandingkan brownies biasa! Meskipun begitu, mereka sering kali kesulitan membedakan kedua jenis brownies tersebut, menunjukkan bahwa rasa bukanlah satu-satunya faktor penentu dalam memilih makanan.
Yang lebih menarik lagi, para peserta survei lebih tertarik pada aspek lingkungan dan gizi dari produk makanan serangga. Mereka melihat potensi besar dari serangga sebagai sumber protein alternatif yang berkelanjutan dan lebih ramah lingkungan dibandingkan sumber protein hewani konvensional.
"Semakin Anda dapat membuatnya terlihat mirip dengan apa yang biasa Anda makan di rumah," kata Rao, "atau apa yang dibuat oleh nenek Anda, akan semakin baik."
Apa yang Akan Terjadi Jika Seseorang Berada di Dekat Lubang Hitam? Ini Penjelasan Sains
KOMENTAR