Para peneliti menemukan bahwa permukaan laut di sekitar Maladewa naik dengan kecepatan lebih dari 30 mm per tahun (30,50 ± 23,30 mm/tahun) antara 2017 hingga 2020. Kenaikan itu lima kali lipat lebih cepat dibandingkan akresi sedimen mangrove (6,40 ± 0,69 mm/tahun) pada periode yang sama.
Kemudian menjelang akhir periode, terjadi fenomena iklim yang luar biasa intens yang dikenal sebagai Indian Ocean Dipole. Hal ini menyebabkan suhu permukaan laut yang lebih hangat dan peningkatan permukaan laut di Samudra Hindia Barat.
Secara alami, hutan mangrove sebenarnya dapat membangun sedimennya sendiri, yang memungkinkan mereka beradaptasi terhadap kenaikan permukaan laut secara bertahap. Namun, laju kenaikan permukaan laut ini terlalu cepat bagi hutan mangrove untuk mengimbanginya.
Di daerah cekungan tempat banyak hutan mangrove tumbuh, pergerakan air pasang surut cenderung terbatas. Ketika permukaan air laut naik, air laut membanjiri hutan. Sementara itu, karena air tidak bergerak dengan bebas, mangrove kesulitan membangun lapisan sedimen yang mereka butuhkan untuk tetap berada di atas permukaan air. Akibatnya, mereka kehilangan kemampuan bertahan dan akhirnya mati karena tenggelam.
Dr. Vasile Ersek, Associate Professor di Departemen Geografi dan Ilmu Lingkungan Universitas Northumbria menjelaskan, "Dieback pertama kali diamati di pusat area cekungan rendah sebelum secara bertahap menyebar ke luar. Karena area cekungan ini memiliki sesuatu yang disebut sirkulasi pasang surut yang terbatas, kami melihat bukti kenaikan permukaan laut yang membanjiri hutan dengan air laut. Paparan yang berkepanjangan ini menciptakan konsentrasi garam yang lebih tinggi.”
Ia juga menjelaskan, bahwa mangrove sebenarnya tahan terhadap garam. Namun, kenaikan permukaan laut yang cepat membuat kemampuan mangrove dalam membangun sedimen melambat. Kadar garam di tanah kemudian meningkat dan melampaui toleransi pohon-pohon ini. Akibatnya, mangrove mengalami kondisi "tenggelam".
Peristiwa dieback yang ekstrem di Maladewa menjadi gambaran nyata bagaimana perubahan iklim dapat mendorong sistem alam melampaui batasnya. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan konsekuensi berjenjang bagi alam dan manusia
Lucy Carruthers, yang kini menjadi peneliti pascadoktoral di Departemen Studi Pesisir Universitas East Carolina, memimpin proyek tersebut saat bekerja di Universitas Northumbria.
Ia menjelaskan, "Tingkat permukaan laut di wilayah tersebut mencapai titik tertinggi dalam catatan pengukur pasang surut ketika dieback terjadi pada 2020. Ini bertepatan dengan fase positif yang intens di Indian Ocean Dipole yang dapat memicu iklim ekstrem bagi negara-negara di Samudra Hindia.”
Seiring dengan terus menghangatnya planet kita, fenomena Indian Ocean Dipole diperkirakan akan lebih sering terjadi dan dalam skala yang lebih besar. Artinya, fenomena dieback pada mangrove akan menjadi lebih umum.
Lucy menambahkan, hutan mangrove yang luar biasa ini telah tumbuh subur di pesisir selama berabad-abad. Namun, alam telah berubah dengan cepat, apakah mereka dapat bertahan hidup dalam beberapa dekade mendatang? Jawabannya, semua bergantung pada bagaimana manusia mengelola krisis iklim saat ini.
Para peneliti mencatat adanya bukti yang telah diterbitkan tentang kematian mangrove di wilayah lain di Samudra Hindia pada periode yang sama, termasuk di Seychelles dan Madagaskar.
Hutan mangrove menyimpan sejumlah besar karbon, tiga hingga lima kali lebih banyak karbon per ekuivalen daripada hutan hujan tropis. Hilangnya hutan mangrove turut membuat para peneliti khawatir. Sebab, mereka dapat melepaskan sejumlah besar karbon yang tersimpan, yang selanjutnya mempercepat perubahan iklim.
Selain itu, temuan Lucy dan tim menunjukkan bahwa ekosistem mangrove sangat rentan terhadap kenaikan muka air laut yang cepat. Karena itu, diperlukan langkah-langkah konservasi adaptif yang mendesak, terutama di negara-negara kepulauan kecil yang sedang berkembang.
"Ini mungkin terdengar seperti masalah lokal, tetapi ini merupakan peringatan bagi wilayah pesisir di seluruh dunia. Seiring meningkatnya perubahan iklim dan kejadian ekstrem, beberapa hutan mangrove mungkin kesulitan untuk mengimbangi kenaikan muka air laut. Maladewa, sebagai negara dengan dataran terendah di dunia, berpotensi menjadi tanda peringatan dini," pungkas Lucy.
Source | : | phys.org,Scientific Reports |
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR