Dilansir Science Alert, bukti-bukti kemudian menunjukkan bahwa ada bongkahan kapur kecil berwarna putih yang dapat ditemukan di dalam beton yang tampaknya tercampur dengan baik.
Sebelumnya, bongkahan kapur tersebut dianggap sebagai akibat dari percampuran yang buruk terhadap material bangunan.
Namun, kemudian ilmuwan material Admir Masic dari MIT menganggap bahwa gagasan tersebut tidak masuk akal.
Dia mengatakan bahwa tidak mungkin orang Romawi yang telah mempelajari material bangunan selama berabad-abad berujung tidak mencampurkan produk akhir dengan baik di saat membangun.
Menurutnya, pasti ada alasan di balik cerita tersebut.
Masic dan tim, yang dipimpin oleh insinyur sipil MIT Linda Seymour, kemudian mempelajari sampel beton Romawi berusia 2.000 tahun dari situs arkeologi Privernum di Italia.
Sampel-sampel tersebut kemudian diperiksa dengan mikroskop elektron pemindaian area luas, spektroskopi sinar-X dispersif energi, difraksi sinar-X serbuk, dan pencitraan Raman confocal untuk memperoleh pemahaman lebih baik mengenai gumpalan kapur.
Pemahaman standar tentang beton pozolan adalah bahwa beton ini menggunakan kapur mati.
Pertama, batu kapur dipanaskan pada suhu tinggi untuk menghasilkan bubuk kaustik yang sangat reaktif yang disebut kapur tohor, atau kalsium oksida.
Mencampur kapur tohor dengan air menghasilkan kapur mati, atau kalsium hidroksida: campuran yang sedikit kurang reaktif dan kurang kaustik.
Menurut teori, kapur mati inilah yang dicampurkan orang Romawi kuno dengan pozzolana.
Baca Juga: Mengapa para Gadis Remaja Kehilangan Minat pada Sains dan Teknologi?
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR