Partisipasi ini bisa beragam bentuknya, mulai dari menyumbangkan uang, meluangkan waktu untuk menjadi sukarelawan, hingga sekadar menerima dan mendukung orang lain yang membutuhkan.
"Tindakan memberi di tingkat masyarakat tampaknya sama bermaknanya dengan secara harfiah memberi kepada seseorang yang berada tepat di sebelah Anda yang membutuhkan bantuan," papar Brekke.
Lebih dari sekadar kepuasan spiritual, tindakan altruisme ini juga memiliki dasar neurobiologis, jelas Brekke. Berempati dan memberi kepada orang lain bukan hanya terasa baik secara batiniah, tetapi juga memicu respons positif dalam tubuh kita.
Ketika kita berempati dan memberi, otak kita melepaskan bahan kimia seperti serotonin dan oksitosin. Biokimiawi ini menghasilkan perasaan puas, sejahtera, dan terhubung dengan orang lain. Jadi, membantu sesama bukan hanya tindakan moral, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi kesehatan mental dan emosional kita.
Individualisme dan Identitas
Pertanyaan yang lebih kompleks muncul mengenai keberlangsungan empati dan niat baik setelah peristiwa traumatis kolektif seperti kebakaran hutan, dan ini sebagian berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat Amerika.
Menurut Jorja Leap, seorang profesor kesejahteraan sosial dan direktur eksekutif Kemitraan Penelitian Keadilan Sosial UCLA, "Masyarakat arus utama Amerika adalah tentang individualisme yang kuat."
Nilai ini ditanamkan sejak dini, di mana kekuatan dan kepribadian individu sangat dihargai, bahkan lebih dari konsep komunitas. Mulai dari penaklukan perbatasan hingga eksplorasi luar angkasa, atau ambisi politik, fokusnya selalu pada pencapaian individu.
Akibatnya, meskipun bencana seperti gempa bumi atau perang dapat memicu persatuan, sinisme mungkin muncul kemudian.
Leap mengilustrasikan hal ini dengan contoh konflik berkelanjutan terkait asuransi kebakaran dan pembangunan kembali rumah komunitas di Los Angeles.
Leap juga menambahkan, "Kita bisa menunjukkan altruisme dan respons yang kuat, namun kemudian beralih menjadi sinis. Terkadang, sinisme ini berfungsi sebagai mekanisme perlindungan diri. Saya percaya sinisme seringkali merupakan kamuflase dari rasa takut."
Alison Holman, seorang profesor di UC Irvine School of Nursing dan UCI's School of Psychological Science, juga seorang ahli dalam meneliti dampak trauma, baik individual maupun kolektif, termasuk kebakaran hutan di California Selatan.
Sejalan dengan Brekke dari USC, Holman meyakini bahwa identitas memainkan peran sentral dalam memicu empati dan altruisme saat krisis.
Holman menjelaskan, "Masyarakat arus utama Amerika adalah tentang individualisme yang kuat."
Penelitian yang dilakukannnya telah menunjukkan bahwa identifikasi dengan korban adalah pendorong utama perilaku pro-sosial. Ketika seseorang merasa 'Saya juga tinggal di daerah itu,' 'Saya juga kehilangan rumah,' atau 'Saya mengerti rasanya terancam,' rasa identifikasi ini dapat memotivasi mereka untuk membantu.
Fenomena identifikasi ini jelas terlihat di Los Angeles saat ini. Namun, pertanyaan yang lebih besar adalah apakah fenomena ini akan menghasilkan perubahan jangka panjang dalam diri individu dan peningkatan keterlibatan masyarakat pasca-kebakaran, terutama di era perubahan iklim yang diperkirakan akan meningkatkan frekuensi bencana.
KOMENTAR