Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi penelitian terbaru yang dipublikasikan pada tanggal 12 Februari 2025 dalam jurnal Conservation Letters memberikan peringatan penting mengenai kondisi lahan gambut di seluruh dunia.
Studi ini mengungkapkan bahwa ekosistem lahan gambut, yang meskipun hanya mencakup sekitar 3 persen dari permukaan bumi, memegang peranan krusial sebagai penyimpan karbon global.
Lahan gambut diketahui menyimpan karbon dalam jumlah yang luar biasa besar, mencapai 600 miliar ton, melebihi total karbon yang tersimpan di seluruh biomassa hutan di dunia jika digabungkan.
Meskipun sangat penting dalam penyimpanan karbon, penelitian ini menemukan bahwa tingkat perlindungan terhadap lahan gambut masih sangat rendah, yaitu hanya 17 persen dari total lahan gambut global yang telah dilindungi.
Yang lebih mengkhawatirkan, tingkat perlindungan ini sangat bervariasi antar jenis lahan gambut. Lahan gambut boreal, misalnya, hanya mendapatkan perlindungan sebesar 11 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan lahan gambut beriklim sedang dan tropis yang masing-masing memiliki tingkat perlindungan 27 persen.
Perbandingan ini sangat kontras dengan ekosistem penting lainnya yang lebih terlindungi, seperti hutan bakau (42 persen), rawa asin (50 persen), dan hutan tropis (38 persen). Ketidakseimbangan ini menggarisbawahi urgensi untuk meningkatkan upaya konservasi lahan gambut secara global.
Penelitian tersebut juga menyoroti peran penting masyarakat adat dalam pelestarian lahan gambut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setidaknya 27 persen dari lahan gambut dunia berada di tanah masyarakat adat, dan komunitas-komunitas ini telah lama menjadi penjaga ekosistem tersebut.
Namun, ironisnya, lebih dari 85 persen lahan gambut yang berada di tanah masyarakat adat tidak termasuk dalam kategori kawasan lindung yang diakui secara formal. Temuan ini membuka peluang besar untuk memperkuat perlindungan lahan gambut dengan mengakui dan mendukung peran serta kepemimpinan masyarakat adat dalam pengelolaan dan konservasi.
Pendekatan ini dapat diwujudkan melalui berbagai cara, termasuk pengakuan otoritas lokal, pembentukan atau penguatan lembaga pengelolaan berbasis masyarakat, peningkatan partisipasi masyarakat adat dalam tata kelola lahan gambut, dan dukungan terhadap inisiatif konservasi yang dipimpin oleh masyarakat adat, seperti Kawasan Lindung dan Konservasi Adat (Indigenous Protected and Conserved Areas).
Studi ini juga mengidentifikasi sepuluh negara yang memiliki proporsi lahan gambut terbesar di dunia, yang secara kolektif mencakup 80 persen dari total lahan gambut global. Negara-negara tersebut adalah Kanada, Rusia, Indonesia, Amerika Serikat, Brasil, Republik Demokratik Kongo, Tiongkok, Peru, Finlandia, dan Republik Kongo.
Secara khusus, seperti dilansir laman Down To Earth, lima negara teratas saja memiliki 70 persen dari seluruh lahan gambut di dunia. Konsentrasi lahan gambut di negara-negara ini menyoroti pentingnya kerjasama internasional dan tindakan terkoordinasi untuk memastikan konservasi ekosistem penting ini.
Baca Juga: Ekosistem Lestari Siak: Kala Masyarakat Bersinergi Mengubah Bencana Menjadi Laba
Sayangnya, penelitian ini juga mengungkapkan bahwa hampir seperempat dari lahan gambut dunia saat ini menghadapi tekanan yang signifikan akibat drainase dan degradasi lahan yang meluas.
Aktivitas-aktivitas seperti pertanian komersial, kehutanan, pertambangan, pembangunan infrastruktur, dan ekstraksi gambut untuk bahan bakar dan hortikultura menjadi penyebab utama degradasi ini.
Selain itu, perubahan iklim global juga memberikan dampak negatif tambahan pada lahan gambut di seluruh dunia, memperburuk kondisi ekosistem yang sudah rentan ini.
Menurut Kemen Austin, direktur sains di Wildlife Conservation Society sekaligus penulis utama studi ini, penelitian ini memberikan "tolok ukur nyata" untuk memahami posisi kita dalam konservasi dan pengelolaan lahan gambut secara global.
Ia menekankan bahwa penelitian ini dengan jelas menunjukkan bahwa ekosistem lahan gambut "tidak memiliki tingkat perlindungan yang mendekati kebutuhan mereka," menggarisbawahi perlunya tindakan segera dan signifikan untuk mengatasi kesenjangan perlindungan ini.
Studi ini juga menyoroti peran Situs Ramsar, sebuah instrumen internasional untuk konservasi lahan basah, dalam perlindungan lahan gambut. Saat ini, Situs Ramsar mencakup sekitar seperlima dari total lahan gambut yang dilindungi secara global, dan hampir dua perlima dari lahan gambut yang dilindungi di wilayah tropis.
Meskipun demikian, penelitian ini mencatat bahwa Situs Ramsar seringkali kekurangan komitmen pemerintah yang kuat, yang tercermin dari tidak adanya undang-undang domestik, kerangka hukum yang jelas, atau rencana pengelolaan yang efektif di banyak situs tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa penetapan sebagai Situs Ramsar saja tidak cukup untuk memastikan perlindungan lahan gambut yang efektif, dan diperlukan upaya lebih lanjut untuk memperkuat implementasi dan penegakan komitmen konservasi di situs-situs ini.
Secara keseluruhan, temuan penelitian ini menyoroti peluang besar untuk memperluas dan memperkuat perlindungan serta pengelolaan berkelanjutan lahan gambut global.
Peluang ini mencakup peningkatan dukungan terhadap kepengurusan adat, serta pemanfaatan instrumen kebijakan internasional seperti kontribusi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contributions/NDCs) di bawah Perjanjian Paris dan Strategi serta rencana aksi keanekaragaman hayati nasional (National Biodiversity Strategies and Action Plans/NBSAPs) di bawah Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal.
Upaya-upaya ini dapat membantu mengatalisasi tindakan nyata dan mengamankan pendanaan yang diperlukan untuk konservasi lahan gambut secara efektif di tingkat global.
KOMENTAR