Nationalgeographic.co.id—Kasus Codeblu, seorang food vlogger yang dituduh melakukan pemerasan setelah ulasan negatifnya terhadap sebuah toko kue, mengguncang dunia kuliner daring.
Ia diduga meminta sejumlah uang, mencapai ratusan juta rupiah, sebagai imbalan untuk menghapus ulasan tersebut. Insiden ini memicu perdebatan sengit tentang etika pengulas makanan di era digital.
Lebih dari sekadar skandal selebriti internet, kasus ini menyentuh isu fundamental tentang transparansi, akuntabilitas, dan kepercayaan dalam industri kuliner. Di era media sosial, di mana setiap orang bisa menjadi kritikus, batasan antara ulasan jujur dan pemerasan menjadi kabur.
Untuk memahami lebih dalam dinamika ini, kita perlu menelusuri sejarah panjang ulasan makanan, dari anonimitas para kritikus klasik hingga popularitas food vlogger masa kini.
Perjalanan ini akan membawa kita pada pemahaman yang lebih baik tentang evolusi peran pengulas makanan dan tantangan yang mereka hadapi di era digital. Simak selengkapnya dalam artikel ini.
Awal mula ulasan restoran
Pengulas restoran profesional muncul seiring dengan perkembangan surat kabar. Alexandre Balthazar Laurente Grimod de La Reyniere, seorang Prancis, menerbitkan Gourmands’ Almanac setiap tahun pada awal abad ke-19. Buku ini dianggap sebagai panduan restoran pertama.
Populer di masanya, buku ini mendorong orang mencari tempat makan terbaik, memanfaatkan kereta api dan mobil untuk berpetualang kuliner. Meski begitu, buku ini lebih mirip catatan perjalanan kuliner daripada ulasan restoran modern.
Perusahaan ban Michelin mengikuti jejaknya dengan menerbitkan panduan hotel dan restoran pertama di tahun 1900. Mereka mulai memberikan "bintang" bergengsi pada edisi 1926.
Uniknya, seperti dilansir laman Fine Dining Lovers, Michelin membuat ulasan restoran untuk mendorong orang membeli ban mereka agar lebih sering berkendara, meningkatkan brand awareness sekaligus mempercepat penggantian ban.
Di Amerika Serikat, Duncan Hines mengikuti langkah serupa pada tahun 1935 dengan Adventures in Good Eating. Ia sangat terkenal sampai namanya dipakai oleh perusahaan makanan. Di Inggris, Raymond Postgate menerbitkan panduan kuliner pertama, The Good Food Guide, pada tahun 1951.
Baca Juga: Meski Sudah Kenyang, Mengapa Kita Masih Ingin ‘Ngemil’ Makanan Manis?
Ulasan restoran di surat kabar
Paruh kedua abad ke-19 adalah masa kejayaan surat kabar. Surat kabar menjadi sumber berita harian yang murah dan mudah diakses. Ulasan restoran pertama di The New York Times muncul pada 1 Januari 1859, dengan judul "How We Dine". Penulisnya anonim, menggunakan nama samaran "seorang reporter Times yang berpendirian kuat."
Artikel itu dibuka dengan gaya modern, penulis menceritakan tugas dari editornya: "Makan di satu tempat hari ini dan tempat lain besok. Saya ingin Anda makan di mana saja. Dari Restoran Astor House hingga tempat makan kecil di kota, supaya Anda bisa membuat laporan tentang semuanya. Kasir akan membayar semua pengeluaran Anda." Ini terdengar seperti tugas pengulas restoran profesional.
Fakta bahwa saat itu belum ada istilah khusus untuk pekerjaan ini (ulasan restoran) menunjukkan bahwa ini adalah ulasan media massa pertama. Kode anonimitas masih dipegang teguh oleh pengulas serius.
Jika identitas kritikus diketahui, restoran bisa memberikan perlakuan khusus. Karena itu, kritikus terbaik seperti dari Michelin atau Marina O’Laughlin dari The Guardian (yang fotonya selalu menampilkan piring menutupi wajah) tidak mau identitasnya diketahui.
Ruth Reichl bahkan populer dengan metode menyamar saat makan ketika mengulas. Tapi sekarang, karena setiap pengunjung bisa jadi pengulas, "kritikus" justru memakai topeng orang biasa.
Zagat, Yelp, dan ulasan crowd-sourced
Ulasan crowd-sourced muncul dalam bentuk panduan Zagat, sebelum internet mengubah semua orang menjadi pengulas. Pada tahun 1979, Tim dan Nina Zagat mengumpulkan peringkat restoran dari pengunjung (awalnya teman-teman mereka), lalu mengolahnya menjadi peringkat numerik dan kutipan terpilih.
Hasilnya diterbitkan dalam panduan tahunan yang awalnya untuk New York, lalu diperluas ke kota-kota kuliner utama dunia. Internet, khususnya kecepatan ponsel pintar, memungkinkan kita menerima ulasan real-time dari siapa saja, di mana saja, kapan saja.
Dunia terasa semakin kecil seiring berkembangnya budaya kuliner. Meski begitu, kritikus berpengaruh seperti Craig Claiborne, Alan Richman, Jay Rayner, Giles Coren, Sam Sifton, Jonathan Gold tetap ada.
Pembaca seringkali lebih menikmati ulasan pedas dan negatif. Beberapa tahun terakhir, tokoh kuliner televisi juga ikut berpengaruh. Jika Anthony Bourdain makan di warung mi di Kuala Lumpur, warung itu bisa langsung jadi terkenal.
Namun, kebanyakan orang tetap mengandalkan opini banyak orang. Situs web seperti Yelp memungkinkan siapa saja memposting ulasan tentang apa pun. Kualitas ulasan ini bermacam-macam, dan konsumen harus memutuskan sendiri apakah setuju dengan 726 pengulas informal Le Cirque.
Konsumen cenderung memilih berdasarkan rating rata-rata, tapi apakah kritikus profesional akan memberi Le Cirque, salah satu restoran terbaik di New York, rating rata-rata 3,5 dari 5 bintang?
Ulasan crowd-sourced harus disikapi dengan hati-hati. Pada akhirnya, jika ada pengulas yang Anda percaya karena merasa selera dan pendapatnya cocok dengan Anda, mengikuti ulasannya tetap jadi pilihan terbaik.
KOMENTAR