Nationalgeographic.co.id—Di balik gemerlap lampu sorot dan riuh tepuk tangan penggemar, industri hiburan Korea Selatan menyimpan sisi gelap yang kelam.
Bunuh diri para bintang muda, seperti Kim Sae Ron, Moonbin, Sulli, Jonghyun, dan Goo Hara, bukan sekadar tragedi individual, melainkan puncak gunung es dari masalah yang lebih besar: budaya cancel culture dan cyberbullying yang merajalela.
Di negeri yang menjunjung tinggi kesempurnaan dan citra ideal, para idola dituntut untuk menjadi sosok tanpa cela, bak dewa-dewi yang tak tersentuh kesalahan. Namun, ketika manusia biasa melakukan kekhilafan, sekecil apa pun itu, hukuman yang dijatuhkan masyarakat bisa sangat kejam.
Karier yang dibangun dengan susah payah hancur dalam sekejap, nama baik dicoreng, dan mental diinjak-injak oleh caci maki warganet yang anonim. Di era media sosial, setiap gerak-gerik idola diawasi dengan ketat, setiap ucapan dipelintir, dan setiap kesalahan diperbesar hingga tak berujung.
Lalu, di mana ruang bagi manusia untuk berbuat salah dan belajar dari kesalahan? Di mana empati dan pengertian di tengah budaya cancel culture yang haus darah? Inilah paradoks yang menghantui industri hiburan Korea Selatan, di mana popularitas dan hujatan berjalan beriringan, dan di mana impian bisa berubah menjadi mimpi buruk dalam sekejap mata.
Citra Idola "Ideal" yang Membebani
Di Korea Selatan, selebritas lebih dari sekadar penghibur. Mereka diharapkan menjadi representasi standar ideal dalam perilaku, penampilan, dan karakter. Standar ini seringkali tidak realistis. Idola K-pop dan aktor/aktris dituntut menjaga citra publik yang sempurna setiap saat.
Ekspektasi ini berasal dari pengaruh besar selebritas di masyarakat Korea. Setiap gerak-gerik idola muda, mulai dari pakaian, media sosial, hingga hubungan pribadi, selalu diawasi. Publik berharap idola bukan hanya menghibur, tetapi juga menjadi panutan ideal bagi generasi muda.
Di sisi lain, seperti dipaparkan Hardika Gupta di laman NDTV, budaya idola Korea berpusat pada kesempurnaan. Idola harus disiplin ketat dalam kehidupan pribadi dan karir. Agensi memberlakukan aturan dan jadwal yang ketat, termasuk batasan kencan, jam malam, pelatihan media, dan pembatasan media sosial.
Selebritas merasa sangat tertekan untuk mempertahankan citra sempurna agar tetap sukses di industri hiburan yang kompetitif. Tekanan ini diperburuk oleh industri yang menuntut dan minim privasi.
Tekanan tanpa henti ini memicu krisis kesehatan mental yang sering terabaikan. Publik menikmati penampilan mereka, namun 'harga' dari citra ideal ini seringkali tersembunyi. Dorongan untuk selalu sempurna telah menyebabkan banyak tragedi.
Baca Juga: Rasisme di Korea Selatan: Didorong Jepang, Dimuliakan Konsep Darah Murni
Bunuh diri selebritas Korea Selatan seringkali diakibatkan oleh pengawasan publik berlebihan, perundungan dunia maya, masalah kesehatan mental, dan tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial. Ini adalah masalah besar dalam industri hiburan.
Cancel Culture dan Cyberbullying yang Beracun
Budaya selebritas Korea Selatan memiliki sisi beracun lain: cancel culture (budaya pembatalan) dan cyberbullying (perundungan dunia maya). Masyarakat Korea menuntut standar moral yang sangat tinggi dari selebritas. Kesalahan kecil saja bisa menghancurkan karir.
Idola dan aktor sering "dibatalkan" karena berbagai isu, dari kesalahan pribadi hingga pelanggaran yang dituduhkan. Ketika seorang selebritas dibatalkan, mereka menghadapi boikot luas, serangan di media sosial, dan penghinaan publik. Budaya beracun ini tidak hanya merusak karir, tetapi juga menambah beban emosional dan mental.
Pengawasan ketat publik dan penggemar K-pop memicu perundungan dunia maya. Perundungan ini marak di platform seperti X (dulu Twitter) dan Instagram. Pengguna anonim dapat melancarkan serangan menyakitkan.
Serangan sering menargetkan penampilan, kepribadian, atau masa lalu idola, bahkan sampai pelecehan ekstrem. Fandom K-pop yang sangat kompetitif seringkali memicu serangan ini, yang dikenal sebagai "perang fandom." Basis penggemar saling menjatuhkan idola satu sama lain.
Perlakuan kejam ini berdampak buruk pada kesehatan mental idola, terutama yang sudah berjuang dengan tekanan popularitas. Penilaian publik yang keras dapat mendorong mereka ke titik terendah.
Tekanan untuk Selalu Sempurna dan Statistik Hitam Korea Selatan
Industri hiburan Korea Selatan lama dikritik karena "kontrak budak." Kontrak ini memaksa idola menjalani jadwal melelahkan tanpa memedulikan kesehatan fisik dan mental. Mereka dipaksa bekerja berjam-jam tanpa istirahat yang cukup.
Di Korea Selatan, kesehatan mental masih dianggap tabu. Banyak idola enggan mencari bantuan profesional karena takut kerentanan mereka akan merusak karir. Masalah kesehatan mental seringkali disembunyikan. Idola diharapkan menanggung beban sendiri demi menjaga citra publik yang "sempurna."
Akibatnya, Korea Selatan memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di dunia, terutama di kalangan generasi muda. Bunuh diri di kalangan selebritas menyoroti masalah sistemik yang menyebabkan tragedi ini. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tingkat bunuh diri di Korea Selatan hampir dua kali lipat rata-rata global.
Pada tahun 2020, tercatat 24,3 kematian akibat bunuh diri per 100.000 orang, jauh di atas rata-rata global 10,5. Statistik Korea mencatat 13.978 kasus bunuh diri pada tahun 2024, atau 27,3 kematian per 100.000 orang. Angka ini naik 8,5% dari tahun 2022 (25,2 kematian per 100.000).
Tekanan sekolah, pekerjaan, dan ekspektasi sosial sering disebut sebagai penyebabnya. Tekanan industri hiburan memperparah masalah ini bagi para idola.
KOMENTAR