Apakah letusan Gunung Tambora pada April 1815 benar-benar menjadi penyebab kekalahan Napoleon Bonaparte di Waterloo?
Mengenai gangguan iklim yang disebabkan oleh Tambora, tidak ada keraguan sedikit pun tentang hal itu. Di anak benua India, musim hujan pada tahun 1816 tidak mencukupi dan musim hujan pada tahun 1817 berlebihan. Di Eropa musim semi dan musim panas lebih panas pada tahun 1816. Bahkan Tiongkok pun terkena dampaknya.
Letusan Gunung Tambora secara tidak langsung memengaruhi jutaan orang. Gagal panen terjadi dan jutaan orang menderita kelaparan. Hal itu telah dibuktikan dan ada dua puluh buku sains umum tentang subjek tersebut. “Tetapi tidak ada satu pun yang menyebutkan sedikit pun tentang badai di Waterloo,” tulis Thierry Lentz di laman Napoleon.org.
Berbicara tentang sejarah, Napoleon tentu saja diperlambat oleh badai, tetapi ini saja tidak menjelaskan penyebab kekalahannya kekalahannya. Bahkan sama sekali tidak dapat dibuktikan bahwa badai itu disebabkan oleh letusan Gunung Tambora di tahun 1815. Gunung berapi tersebut seharusnya memakan waktu berbulan-bulan untuk menimbulkan konsekuensi di wilayah terdekat dan kemudian di benua Eropa. Tapi pada saat yang sama, beberapa orang berpendapat bahwa letusan itu memengaruhi wilayah di sekitar Brussels dengan segera.
Siapa pun yang pernah menonton beberapa peragaan ulang tanggal 18 Juni di Waterloo tahu bahwa ada kemungkinan besar hujan. “Dan terkadang hujan lebat terjadi di sekitar waktu tersebut,” tambah Lentz. Hujan turun di bulan Juni, di sekitar sini, saat cuaca menjadi terlalu panas. Dan hujan turun pada tanggal 18 Juni 1815, menghalangi serangan fajar Prancis. Pada saat yang sama, Gebhard von Blücher mulai bergerak untuk menghadapi Napoleon. Namun, terlepas dari apakah kekalahannya disebabkan oleh letusan Tambora atau bukan, Napoleon sama sekali tidak tahu.
Pengaruh letusan Gunung Tambora terhadap perubahan iklim
Studi lain yang dilakukan oleh Matthew J. Genge, ilmuwan bumi di Imperial College London, tidak berfokus pada pertempuran Waterloo. Sebaliknya, Genge bermaksud menunjukkan bahwa abu vulkanik dapat terlontar setinggi ionosfer, seperti yang dijelaskannya dalam jurnal Geology. Studinya bertajuk "Electrostatic levitation of volcanic ash into the ionosphere and its abrupt effect on climate".
Ketika partikel bermuatan listrik mencapai ionosfer, partikel dapat mengganggu iklim dengan menyebabkan pembentukan awan. Dan pada akhirnya menyebabkan hujan. Hal ini membuat Genge berpikir tentang Pertempuran Waterloo tahun 1815. Pada bulan April tahun itu, sekitar dua bulan sebelum pertempuran Juni yang terkenal itu, Gunung Tambora d mengalami letusan dahsyat. Puing-puing dari gunung berapi itu menghalangi matahari dan membuat belahan bumi utara mengalami periode kesejukan yang tidak sesuai musim.
“Namun, hawa dingin itu tidak langsung terjadi,” ungkap Genge dalam penelitian itu. Menurutnya, butuh waktu berbulan-bulan sebelum aerosol sulfat dari letusan itu mencapai Eropa. Memang, tahun 1816—bukan 1815, saat letusan itu terjadi—dikenal sebagai “tahun tanpa musim panas.” Namun, pembentukan awan yang disebabkan oleh levitasi abu ke ionosfer dapat memiliki efek yang lebih langsung, membawa awan badai ke Eropa. “Dan mungkin, ke medan perang Waterloo,” tambah Genge.
Catatan cuaca Inggris dari tahun 1815, pada kenyataannya, mencatat bahwa musim panas tahun itu memiliki hujan yang lebih banyak dari biasanya.
Genge mengemukakan bukti lain yang menunjukkan bahwa letusan gunung berapi dapat menyebabkan pembentukan awan yang tidak biasa segera setelah terjadi. Pada akhir Agustus 1833, gunung berapi Indonesia lainnya, Krakatau, meletus dengan dahsyat. Pada awal September 1833, pengamat di Inggris mencatat keberadaan awan aneh dan bercahaya. Awan itu, menurut Genge, sangat mirip dengan awan mesosfer kutub. Awan mesosfer kutub adalah sejenis awan yang terbentuk hingga 85 km di atas permukaan Bumi. Keberadaan awan-awan ini tak lama setelah Krakatau dapat menunjukkan keberadaan abu vulkanik yang tinggi di atas stratosfer.
Baca Juga: Pauline Bonaparte: Adik Napoleon Bonaparte yang Dijuluki 'Penggoda yang Hebat'
Tentu saja, bahkan jika letusan Gunung Tambora menyebabkan cuaca buruk, belum tentu menjadi penyebab kekalahan Napoleon. Seperti yang dicatat dalam sebuah makalah pada 2005 di Royal Meteorological Society yang bertajuk "The weather of the Waterloo campaign 16 to 18 June 1815: did it change the course of history?" Menurut makalah tersebut, kedua belah pihak yang berkonflik harus berhadapan dengan kondisi cuaca yang sama.
Dan banyak faktor lain—termasuk keputusan taktis yang tidak bijaksana—yang berperan dalam kekalahan Napoleon. “Napoleon mungkin memang menang di Waterloo jika tanahnya kering,” tulis penulis studi tersebut. “Ia mungkin juga menang jika ia mengepung musuh daripada melancarkan serangan frontal yang berani.”
Source | : | All Thats Interesting,Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR