Nationalgeographic.co.id—Pemerintah Provinsi Bali mendadak menjadi sorotan setelah Gubernur Bali Wayan Koster mengeluarkan Surat Edaran (SE) nomor 9 tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih.
Salah satu poin dalam SE tersebut adalah melarang pelaku usaha memproduksi, mendistribusikan, dan menyediakan air minum kemasan plastik sekali pakai di wilayah Bali.
Pemerintah Provinsi Bali menargetkan Pulau Dewata terbebas dari sampah air minum dalam kemasan (AMDK) plastik sekali pakai ukuran di bawah 1 liter pada tahun 2026.
Gubernur Bali I Wayan Koster menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menekan jumlah limbah plastik, yang saat ini menyumbang sekitar 17 persen dari total 3.500 ton sampah harian.
Ia menyoroti pentingnya pendekatan isi ulang (refill) sebagai langkah utama untuk mendorong masyarakat meninggalkan penggunaan kemasan sekali pakai.
"Seluruh proses, baik itu produksi, distributor, termasuk menjualbelikan produk air minum kemasan di bawah 1 liter karena konsep kita adalah refill," kata Koster dilansir Channel News Asia, Selasa (15/4/2025).
Kebijakan ini sontak menuai beragam reaksi, baik dukungan maupun kritik dari masyarakat dan pelaku industri.
Namun, di balik kebijakan yang menuai kontroversi ini, muncul pertanyaan penting: sejauh mana plastik telah memengaruhi kehidupan manusia, dan apa sebenarnya fakta ilmiah di baliknya?
Krisis Sampah Plastik
Polusi plastik kini menjadi salah satu masalah lingkungan paling mendesak di dunia. Produksi plastik sekali pakai yang meningkat pesat telah melampaui kemampuan global untuk mengelolanya secara efektif.
Baca Juga: 400 Juta Jiwa Penduduk Bumi Terancam Kelaparan Gara-Gara Mikroplastik, Kok Bisa?
Dampak polusi plastik paling nyata terlihat di negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, di mana sistem pengelolaan sampah sering kali tidak memadai atau bahkan tidak ada sama sekali. Namun, negara-negara maju pun tidak luput dari masalah ini—terutama di negara dengan tingkat daur ulang yang rendah.
Saking meluasnya sampah plastik, isu ini telah mendorong lahirnya inisiatif global untuk merumuskan perjanjian internasional yang kini sedang dinegosiasikan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sebagian besar sampah plastik yang mencemari lautan—sebagai tempat pembuangan terakhir di Bumi—berasal dari daratan. Limbah ini terbawa ke laut melalui sungai-sungai besar, yang berfungsi seperti ban berjalan, mengangkut lebih banyak sampah plastik saat mengalir ke hilir.
Setelah mencapai laut, sebagian besar sampah plastik tetap berada di perairan pesisir. Namun, begitu terbawa arus laut, sampah tersebut dapat menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Di Pulau Henderson—sebuah atol tak berpenghuni di Kepulauan Pitcairn, yang terletak terpencil di antara Chili dan Selandia Baru—ilmuwan menemukan berbagai benda plastik yang berasal dari Rusia, Amerika Serikat, Eropa, Amerika Selatan, Jepang, hingga Tiongkok.
Seluruh sampah ini terbawa ke Samudra Pasifik Selatan oleh arus melingkar yang dikenal sebagai South Pacific gyre.
Plastik dalam Angka
Berikut adalah beberapa fakta penting mengenai plastik:
Mikroplastik — Ancaman Baru bagi Kesehatan
Begitu masuk ke laut, sampah plastik akan terurai menjadi partikel-partikel kecil akibat paparan sinar matahari, angin, dan gelombang laut.
Baca Juga: Sustainability: Inovasi Penanganan Limbah Plastik Indonesia dengan Teknologi Radiasi
Partikel-partikel kecil ini—yang dikenal sebagai mikroplastik—sering kali berukuran kurang dari lima milimeter dan kini telah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Mikroplastik ditemukan mulai dari puncak Gunung Everest yang tertinggi hingga ke Palung Mariana yang merupakan titik terdalam di Bumi.
Mikroplastik terus terurai menjadi fragmen yang lebih kecil. Bahkan, serat mikroplastik (microfiber) kini ditemukan di sistem air minum kota dan melayang di udara.
Tidak mengherankan jika para ilmuwan kini juga menemukan mikroplastik di dalam tubuh manusia. Partikel-partikel kecil ini telah terdeteksi di dalam darah, paru-paru, bahkan di dalam feses manusia.
Namun, sejauh mana mikroplastik berdampak terhadap kesehatan manusia masih menjadi pertanyaan besar yang tengah diteliti secara intensif oleh para ilmuwan. Mereka berupaya mengungkap dampak jangka panjang paparan partikel mikroskopis ini terhadap tubuh dan sistem biologis kita.
Dampak Plastik pada Satwa Liar
Setiap tahun, jutaan hewan mati akibat sampah plastik, mulai dari burung, ikan, hingga organisme laut lainnya. Sekitar 2.100 spesies, termasuk yang terancam punah, diketahui telah terpengaruh oleh plastik. Hampir setiap spesies burung laut mengonsumsi plastik.
Sebagian besar kematian hewan disebabkan oleh terjerat atau kelaparan. Anjing laut, paus, penyu, dan hewan lainnya terjerat oleh peralatan pancing yang dibuang atau cincin kemasan enam bungkus.
Mikroplastik telah ditemukan pada lebih dari 100 spesies akuatik, termasuk ikan, udang, dan kerang yang sering kita konsumsi. Dalam banyak kasus, partikel-partikel kecil ini melewati sistem pencernaan dan dikeluarkan tanpa dampak buruk.
Namun, plastik juga ditemukan telah menyumbat saluran pencernaan atau menusuk organ-organ, yang menyebabkan kematian. Perut yang penuh dengan plastik mengurangi dorongan makan, menyebabkan kelaparan.
Hewan darat, seperti gajah, hyena, zebra, harimau, unta, sapi, dan mamalia besar lainnya, juga mengonsumsi plastik, yang dalam beberapa kasus menyebabkan kematian.
Tes juga telah mengonfirmasi adanya kerusakan pada hati dan sel serta gangguan pada sistem reproduksi, yang menyebabkan beberapa spesies, seperti tiram, menghasilkan lebih sedikit telur.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa larva ikan mengonsumsi nanoserat pada hari-hari pertama kehidupannya, yang menimbulkan pertanyaan baru tentang dampak plastik pada populasi ikan.
Dengan semua dampak lingkungan tersebut, sudah seharusnya krisis sampah plastik ini menuntut perhatian serius dan tindakan yang lebih luas, tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari masyarakat dan sektor industri.
Dengan semakin banyaknya dampak yang ditimbulkan pada kesehatan manusia dan lingkungan, sudah saatnya kita berpikir ulang tentang kebiasaan konsumsi plastik sekali pakai dan beralih ke solusi yang lebih berkelanjutan.
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News di https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!
Source | : | Channel News Asia,National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Ade S |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR