Mikroba tersebut tidak cocok untuk mengurai tanaman. Kotoran panda juga mengungkap hal ini. Para peneliti dalam penelitian tersebut menemukan bahwa kotoran tersebut berisi potongan bambu yang tidak tercerna.
Kebangkitan evolusi panda
Ciri-ciri yang tidak sesuai ini tampaknya merupakan sisa evolusi dari masa lalu leluhur panda raksasa. Petunjuk dari catatan fosil menunjukkan bahwa nenek moyang panda raksasa modern tidak hanya mengonsumsi daging tetapi juga tumbuhan.
Kemudian, sekitar 7 juta tahun yang lalu, bukti fosil menunjukkan bahwa satu nenek moyang mulai mencicipi sedikit bambu. Salah satunya adalah yang disebut Ailurarctos,
“Hal ini menandai titik awal transisi dari omnivora menjadi herbivora,” menurut Li. Transisi itu mungkin dipercepat oleh perubahan ketersediaan makanan.
“Pandangan yang populer saat ini adalah bahwa perubahan lingkungan menyebabkan penurunan tajam sumber daya makanan. Nenek moyang panda raksasa bersaing ketat dengan karnivora lain,” kata Li.
Setelah mulai melengkapi makanannya dengan bambu, Ailurarctos memiliki keunggulan adaptif. Hewan itu mampu bertahan dari kelangkaan dengan menghuni ceruk ekologi ini.
“Proses evolusi panda raksasa yang berubah dari omnivora menjadi eksklusif bambu adalah kasus klasik dari bertahan hidup. Tetapi belum tentu yang terbaik dalam biologi evolusi,” kata Li.
Susunan evolusi mereka mungkin tampak kurang cocok dengan makanan intensif bambu. Namun panda raksasa juga telah mengembangkan beberapa adaptasi agar sesuai dengan situasi tersebut.
Misalnya, gen yang membuat panda bisa merasakan rasa umami dari daging telah dinonaktifkan dalam DNA panda. Hal ini berarti panda mungkin tidak memiliki selera makan alami untuk daging segar, kata Li.
Panda juga memiliki metabolisme yang sangat lambat. Hal tersebut membantu mereka bertahan hidup dengan pola makan rendah energi berupa bambu. Faktanya, panda hanya menghabiskan 38% energi harian mamalia darat lain yang berukuran sama.
Baca Juga: Diplomasi Panda, Taktik Tiongkok untuk Tingkatkan Citra Internasional
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR