Nationalgeographic.co.id—Saat mencabut pelantang telinga atau earphone, Anda mungkin menjumpai pemandangan yang tak asing sekaligus menjijikkan: kotoran telinga yang menggumpal.
Zat lengket ini seolah hanya mengotori perangkat audio, menyumbat telinga, menimbulkan rasa tidak nyaman, dan — dalam kasus parah — mengganggu pendengaran.
Namun, benarkah gangguan ini sesungguhnya memiliki fungsi penting? Apakah kotoran telinga harus rutin dibersihkan?
Ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa zat yang sering kita bersihkan dari earphone itu justru sangat penting bagi kesehatan telinga. Bahkan, upaya mengeluarkannya secara sembarangan bisa menyebabkan kerugian bagi tubuh kita sendiri.
Kotoran telinga terbentuk dari kombinasi sel-sel kulit mati dengan sekresi dari kelenjar minyak dan keringat di dalam telinga. Sekresi adalah proses seluler di mana suatu zat (seperti enzim, hormon, atau lendir) diproduksi dan dikeluarkan oleh sel atau kelenjar untuk digunakan oleh tubuh. Zat yang disekresikan ini kemudian digunakan untuk berbagai fungsi, seperti pencernaan, regulasi hormon, atau sebagai zat pelindung, seperti misalnya kotoran telinga.
Sel-sel kulit di saluran telinga bagian luar bermula dari tengah gendang telinga, lalu bermigrasi ke arah pintu masuk telinga. Di sana, mereka bercampur dengan minyak yang disebut sebum—yang berfungsi melembapkan kulit.
Sebum adalah zat berminyak alami yang diproduksi oleh kelenjar sebasea di kulit. Zat ini berfungsi untuk menjaga kelembapan kulit, melindungi dari paparan lingkungan, dan mencegah infeksi.
Sebum ini dihasilkan oleh kelenjar yang terhubung dengan folikel rambut, lalu bercampur dengan keringat dan sel kulit mati untuk membentuk kotoran telinga. “Fungsinya adalah melumasi kulit di saluran telinga dan menjebak debu serta kotoran, mirip seperti lendir di hidung kita,” ujar Kevin Munro, profesor audiologi dari University of Manchester, Inggris, kepada Live Science.
Selain melembapkan, kelenjar minyak dan keringat juga menghasilkan protein antimikroba yang membantu melindungi telinga dari infeksi bakteri dan jamur. “Saluran telinga kita ibarat lorong atau gua,” kata Munro. “Hangat dan lembap, jadi cocok bagi bakteri untuk berkembang.”
Dalam uji laboratorium, kotoran telinga terbukti mampu menghambat pertumbuhan patogen penyebab infeksi telinga, seperti jamur Candida albicans dan bakteri Pseudomonas aeruginosa serta Staphylococcus aureus.
Ini mungkin karena sifatnya yang sedikit asam—pH kotoran telinga berkisar antara 5,2 hingga 7,0—serta kandungan protein imun, termasuk antibodi dan enzim lysozyme yang mampu menghancurkan dinding sel bakteri.
Enzim lisozim berfungsi sebagai agen antimikroba, terutama terhadap bakteri, dengan cara memecah dinding sel bakteri. Lisozim menghidrolisis (memecah) ikatan pada peptidoglikan, suatu komponen penting dalam dinding sel bakteri, sehingga menyebabkan dinding sel menjadi rapuh dan akhirnya hancur.
Baca Juga: Sains di Balik Rasa 'Pampat' di Telinga Setelah Kita Berenang
Dengan segala fungsinya, para ahli menyarankan untuk tidak menghilangkan kotoran telinga jika tidak menimbulkan masalah. Namun, bila penumpukan kotoran menimbulkan nyeri, gangguan pendengaran, atau sumbatan, sebaiknya segera periksakan ke dokter. Hal ini disampaikan oleh Dr. Satoshi Hara, dokter THT dan dosen di Juntendo University, Jepang.
Penumpukan kotoran telinga umumnya terjadi pada orang berusia di atas 60 tahun. Seiring bertambahnya usia, proses migrasi alami kotoran ke luar telinga melambat dan produksinya meningkat. Selain itu, penggunaan earphone, penutup telinga, atau alat bantu dengar juga dapat menghambat keluarnya kotoran, menyebabkan penumpukan.
Munro menegaskan, penggunaan cotton bud justru berbahaya karena dapat mendorong kotoran masuk lebih dalam dan merusak gendang telinga. Ia juga memperingatkan tentang bahaya metode ear candling, yakni menyalakan lilin berongga di atas telinga. Meski dipercaya dapat menyedot kotoran, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung efektivitasnya, dan metode ini berisiko menyebabkan luka bakar.
Untuk mengeluarkan kotoran telinga dengan aman, dokter atau apoteker dapat menggunakan alat microsuction atau irigator air elektronik bertekanan rendah. Metode semprotan menggunakan syringe kini dihindari karena tekanan air yang terlalu tinggi bisa merobek gendang telinga.
Pasien juga disarankan untuk melakukan persiapan sebelum pembersihan, seperti meneteskan cairan pelunak selama beberapa hari, misalnya tetes karbamid peroksida atau minyak zaitun medis, agar kotoran menjadi lebih lunak dan mudah dikeluarkan.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR