Nationalgeographic.co.id—Saat hujan turun, kita sering melihat cacing tanah merayap keluar ke trotoar atau jalanan. Tapi apa yang sebenarnya menyebabkan mereka keluar dari tanah, tempat yang selama ini jadi lingkungan aman mereka?
Banyak orang mengira cacing keluar ke permukaan untuk menghindari tenggelam di liang tanahnya. Namun menurut Thea Whitman, ilmuwan tanah dari University of Wisconsin–Madison, anggapan ini tidak sepenuhnya tepat. "Cacing tidak punya paru-paru seperti kita," ujarnya kepada Live Science.
Sebaliknya, cacing bernapas dengan menyerap oksigen melalui kulit mereka—dan mereka bisa melakukannya baik dari udara maupun dari air.
Pernapasan cacing mirip seperti amfibi karena cacing tanah bernapas melalui permukaan kulitnya. Di permukaan kulit cacing ada banyak sekali pembuluh darah dan menghasilkan lendir. Ini dikarenakan cacing hidup di dalam tanah, sehingga permukaan kulit yang basah menyerap oksigen.
Oksigen bisa langsung menyatu dengan darah untuk diedarkan ke seluruh tubuhnya. Gas hasil respirasi berupa gas karbondioksida dikeluarkan kembali melalui permukaan kulit.
Bentuk dari cacing tanah adalah memanjang dan terbagi menjadi beberapa segmen. Pada segmen-segmen tersebut ada beberapa pasang setaea. Setaea adalah bulu-bulu yang melekat pada ciacing tanah. Organ pernapasan cacing sangat unik karena terletak pada kulitnya.
“Saya pernah memelihara cacing di dalam air selama beberapa hari, dan mereka tetap hidup,” kata Kevin Butt, ahli ekologi cacing tanah dari University of Central Lancashire, Inggris.
Faktanya, studi pada tahun 1956 menemukan bahwa lima spesies cacing tanah mampu bertahan hidup antara 31 hingga 50 minggu di tanah yang benar-benar jenuh air. “Selama air tersebut mengandung oksigen, cacing masih bisa bernapas,” jelas Whitman. Namun, studi pada 2008 menunjukkan bahwa kebutuhan oksigen mungkin tetap memengaruhi perilaku naik ke permukaan pada beberapa spesies cacing.
Dalam studi tersebut, ditemukan bahwa spesies cacing yang membutuhkan kadar oksigen lebih tinggi cenderung lebih sering muncul saat hujan, sementara spesies yang tidak membutuhkan kadar oksigen tinggi tetap tinggal di bawah tanah. Dengan kata lain, respons terhadap hujan bisa berbeda tergantung jenis cacingnya.
Ada pula teori lain yang menyebut bahwa getaran dari tetesan hujan dianggap oleh cacing sebagai tanda bahaya—mirip dengan getaran yang ditimbulkan oleh predator seperti tikus tanah. “Ide dasarnya adalah, cacing mungkin keluar ke permukaan untuk melarikan diri dari apa yang mereka kira sebagai ancaman,” kata Whitman.
Namun, Kevin Butt menganggap teori ini kurang meyakinkan. Menurutnya, pergerakan tikus tanah tidak teratur dan tidak berirama, sehingga cacing dapat membedakannya dari ritme getaran hujan.
Baca Juga: Penemuan Sains: Cacing Beku Hidup Kembali setelah 46.000 tahun
Kemungkinan lain, kata Whitman, adalah air hujan bisa bersifat merusak bagi cacing—misalnya jika air bersifat asam atau membawa zat kimia berbahaya seperti logam berat. Meski studi 2008 tidak menemukan bukti bahwa senyawa berbahaya dalam air hujan menyebabkan cacing keluar, Whitman mencatat bahwa para peneliti kadang menggunakan larutan tertentu untuk "memancing" cacing ke permukaan.
“Campuran bubuk mustard dan air yang disiramkan ke tanah dapat mengiritasi kulit cacing dan membuat mereka keluar, sehingga lebih mudah untuk dikumpulkan dan diteliti,” ujarnya.
Menurut Butt, penjelasan yang paling masuk akal justru lebih sederhana: cacing tanah keluar saat hujan karena permukaan tanah menjadi lebih basah dan memungkinkan mereka bergerak lebih cepat dibandingkan menggali di tanah.
“Mereka membutuhkan lingkungan lembap untuk bertahan hidup, dan hari yang basah memberi mereka kesempatan untuk bepergian di atas tanah,” jelas Whitman. "Perjalanan ini bisa bertujuan untuk kawin atau bermigrasi ke tempat lain." Penjelasan ini juga dapat menjelaskan fenomena menarik yang disebut foot trembling atau getaran kaki, yang dilakukan oleh beberapa burung dan reptil.
Alih-alih menggali tanah seperti tikus tanah, hewan-hewan ini menghentakkan kaki di permukaan tanah untuk menciptakan getaran yang menyerupai hujan. Getaran tersebut memancing cacing untuk keluar—dan menjadi mangsa.
Tradisi yang dikenal sebagai worm grunting, worm fiddling, atau worm charming juga memanfaatkan respons cacing terhadap getaran ini. Dengan menggunakan tongkat atau gergaji, orang menciptakan getaran di tanah untuk menarik cacing ke permukaan, biasanya untuk dijadikan umpan pancing.
Bahkan, kegiatan ini kini menjadi ajang kompetisi, seperti dalam festival tahunan “Worm Gruntin’ Festival” di Sopchoppy, Florida.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR