Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi terbaru tentang perubahan iklim yang menuai kontroversi memproyeksikan bahwa ambang batas pemanasan global sebesar 2 derajat Celsius (setara 3,6 derajat Fahrenheit) kemungkinan besar akan terlampaui bahkan sebelum tahun 2030.
Sebuah studi perubahan iklim yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change menyatakan bahwa suhu permukaan global telah meningkat sebesar 1,7°C (3°F) di atas rata-rata suhu pra-industri pada tahun 2020.
Namun, sejumlah ilmuwan mempertanyakan temuan ini, dengan menyebut adanya kelemahan dalam metodologi penelitian tersebut.
Pemanasan global sebesar 2°C dianggap sebagai ambang batas krusial—karena jika terlampaui, risiko terjadinya kerusakan iklim yang menghancurkan dan tak dapat diubah akan meningkat secara signifikan. Dalam Perjanjian Paris 2015, hampir 200 negara berkomitmen untuk membatasi kenaikan suhu global di angka ideal 1,5°C dan tetap aman di bawah 2°C.
“Gambaran besarnya adalah bahwa waktu kita untuk mengurangi emisi demi meminimalkan risiko perubahan iklim berbahaya telah maju setidaknya satu dekade,” kata penulis utama studi ini, Malcolm McCulloch, ahli terumbu karang dari University of Western Australia, dalam konferensi pers pada Kamis (1 Februari). “Ini merupakan perubahan besar dalam cara pandang terhadap pemanasan global.”
Salah satu persoalan besar dalam ilmu iklim adalah penetapan garis dasar suhu pra-industri—periode sebelum pembakaran bahan bakar fosil memicu pemanasan. Sebelum abad ke-20, catatan suhu laut sangat terbatas dan tidak seragam, karena hanya berasal dari jutaan observasi yang dikumpulkan oleh pelaut untuk kepentingan navigasi.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa pemanasan global sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1860-an, sekitar empat dekade lebih awal dibandingkan estimasi Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB.
Menurut studi tersebut, pada tahun 1990, suhu global sudah meningkat sebesar 0,9°C (1,6°F) dibandingkan era pra-industri versi mereka. Sebagai perbandingan, IPCC mencatat kenaikan hanya sekitar 0,4°C (0,7°F) pada periode yang sama.
Jika laju pemanasan saat ini terus berlanjut, studi itu memproyeksikan suhu global akan mencapai 2°C pada akhir dekade 2020-an, dan meningkat menjadi 2,5°C (4,5°F) pada tahun 2040.
Kritik dari Komunitas Ilmiah
Sejumlah ilmuwan iklim menyampaikan kritik terhadap temuan studi ini. Para peneliti dalam studi tersebut berasumsi bahwa lautan bersifat tercampur merata, dan bahwa suhu air yang diukur melalui spons laut berasal dari kedalaman yang utamanya dipengaruhi oleh panas matahari.
Baca Juga: Menjalin Masa Depan: Mengurangi Jejak Karbon untuk Menyelamatkan Bumi dari Krisis Iklim
Namun, banyak ilmuwan lain menilai bahwa lautan merupakan sistem kompleks yang suhu airnya tidak seragam.
“Skeptisisme sangat diperlukan di sini. Menurut saya, sulit dipercaya bahwa catatan suhu instrumental salah hanya berdasarkan spons purba dari satu wilayah dunia,” ujar Michael Mann, direktur Earth System Science Center di University of Pennsylvania, kepada Live Science. “Secara jujur, ini tidak masuk akal bagi saya.”
Camille Parmesan, ahli ekologi dari University of Texas, Austin, sekaligus salah satu penulis utama Laporan Penilaian ke-6 IPCC, juga mengkritik metodologi studi ini. Menurutnya, suhu satu bagian laut tidak bisa dijadikan acuan untuk keseluruhan samudra dunia. “Tidak bisa disimpulkan bahwa suhu di Karibia mewakili suhu laut global,” katanya.
David Thornalley, profesor ilmu kelautan dan iklim di University College London, menambahkan bahwa studi tersebut keliru dalam mengkalibrasi data spons dengan suhu permukaan laut global, alih-alih menggunakan suhu di wilayah Karibia tempat spons itu berasal.
“Studi ini gagal mendukung klaim globalnya dengan bukti yang kuat, dan kesalahannya sangat besar,” kata Jochem Marotzke, profesor ilmu iklim dan direktur Max Planck Institute for Meteorology di Jerman. Ia menambahkan bahwa mengklaim suhu Karibia sejak 1860-an hanya dipengaruhi matahari—bukan campuran air laut—juga tidak masuk akal.
Meski begitu, para peneliti tetap bersikeras bahwa tren suhu laut di Karibia mewakili tren global, dengan merujuk pada studi tahun 2018.
Walau kesimpulan studi ini diragukan, beberapa ilmuwan menyatakan bahwa penelitian tersebut tetap bisa menjadi potongan informasi penting dalam memahami iklim global—terutama karena perubahan iklim yang cepat terus terjadi, terlepas dari metode pengukuran yang digunakan atau di mana pun garis dasar suhu ditetapkan.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Nature,Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR