Nationalgeographic.co.id—Aksi kampanye menggunakan tagar "Save Raja Ampat" sedang meramaikan linimasa media sosial Indonesia. Salah satu pencetus awal tagar ini adalah Greenpeace Indonesia yang menemukan kenyataan kelam adanya aktivitas pertambangan nikel di beberapa pulau kecil di Raja Ampat di Papua—wilayah yang kerap disebut-sebut sebagai surga terakhir di dunia.
"Total itu ada sekitar 16 izin penambangan nikel di Raja Ampat yang kita tahu. Terus 5 itu sudah aktif," ujar Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, kepada National Geographic Indonesia pada Kamis, 5 Juni 2025.
"Dari 5 yang aktif itu, yang sudah melakukan kegiatan eksploitasi itu 3, yang 1 sudah eksplorasi, dan 1 lagi belum ada aktivitas sama sekali," beber Iqbal.
Iqbal menggarisbawahi, "Dari hasil kajian kami bahwa penambangan ini akan merugikan masyarakat dan lingkungan hidup, maka kita susunlah campaign ini agar mendapat perhatian orang-orang bahwa Raja Ampat saat ini sedang dalam ancaman besar."
Kampanye terbaru yang mereka lakukan adalah aksi dua hari lalu. Pada 3 Juni 2025, aktivis Greenpeace Indonesia bersama empat anak muda Papua dari Raja Ampat sempat menghebohkan publik dengan menggelar aksi damai sebuah konferensi nikel internasional di Jakarta. Aksi digelar untuk menyuarakan dampak buruk pertambangan dan hilirisasi nikel yang membawa nestapa bagi lingkungan hidup dan masyarakat.
Ketika Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, Arief Havas Oegroseno, berpidato dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta, aktivis Greenpeace menerbangkan banner bertuliskan “What’s the True Cost of Your Nickel?”, serta membentangkan spanduk dengan pesan “Nickel Mines Destroy Lives” dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining”.
Bukan hanya di ruang konferensi, aktivis Greenpeace Indonesia dan anak muda Papua juga membentangkan banner di exhibition area yang terletak di luar ruang konferensi.
Pesan-pesan lain yang berbunyi “What’s the True Cost of Your Nickel”, “Nickel Mines Destroy Lives”, dan “Save Raja Ampat the Last Paradise” terpampang di antara gerai-gerai dan para pengunjung pameran.
Melalui aksi damai ini, Greenpeace ingin mengirim pesan kepada pemerintah Indonesia dan para pengusaha industri nikel yang meriung di acara tersebut, serta kepada publik, bahwa tambang dan hilirisasi nikel di berbagai daerah telah membawa derita bagi masyarakat terdampak.
Industri nikel juga merusak lingkungan dengan membabat hutan, mencemari sumber air, sungai, laut, hingga udara, dan jelas akan memperparah dampak krisis iklim karena masih menggunakan PLTU captive sebagai sumber energi dalam pemrosesannya.
Baca Juga: Sisi Gelap Pertambangan Nikel di Sulawesi: Dampaknya pada Hutan dan Masyarakat
“Saat pemerintah dan oligarki tambang membahas bagaimana mengembangkan industri nikel dalam konferensi ini, masyarakat dan bumi kita sudah membayar harga mahal," kritik qbal.
"Industrialisasi nikel–yang makin masif seiring tren naiknya permintaan mobil listrik–telah menghancurkan hutan, tanah, sungai, dan laut di berbagai daerah, mulai dari Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Obi. Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di bumi."
Dari sebuah perjalanan menelusuri Tanah Papua pada tahun lalu, Greenpeace menemukan aktivitas pertambangan di sejumlah pulau di Raja Ampat, di antaranya di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Ketiga pulau itu termasuk kategori pulau-pulau kecil yang sebenarnya tak boleh ditambang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
Menurut analisis Greenpeace, eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas. Sejumlah dokumentasi pun menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir–yang berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat–akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah.
Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lain di Raja Ampat yang terancam tambang nikel ialah Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau yang bersebelahan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst yang gambarnya terpacak di uang kertas Rp100.000.
Raja Ampat, yang sering disebut sebagai ‘surga terakhir di Bumi’, terkenal karena kekayaan keanekaragaman hayati baik di darat maupun di lautnya. Perairan Raja Ampat merupakan rumah bagi 75 persen spesies coral dunia dan punya lebih dari 2.500 spesies ikan. Daratan Raja Ampat memiliki 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung. UNESCO juga telah menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai global geopark.
Ronisel Mambrasar, anak muda Papua yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat mengatakan, “Raja Ampat sedang dalam bahaya karena kehadiran tambang nikel di beberapa pulau, termasuk di kampung saya di Manyaifun dan Pulau Batang Pele. Tambang nikel mengancam kehidupan kami. Bukan cuma akan merusak laut yang selama ini menghidupi kami, tambang nikel juga mengubah kehidupan masyarakat yang sebelumnya harmonis menjadi berkonflik.”
Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan industrialisasi nikel yang telah memicu banyak masalah. Aktivitas pertambangan ini telah menghancurkan lingkungan hidup, merampas hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, dan memperparah kerusakan Bumi yang sudah menanggung beban krisis iklim.
Mereka menegaskan, sesumbar tentang keuntungan hilirisasi, yang digaungkan sejak era pemerintahan Jokowi dan kini dilanjutkan Prabowo-Gibran, sudah seharusnya diakhiri.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR