Nationalgeographic.co.id—Dengan tubuh setinggi manusia, kepala bertanduk, dan kaki bersisik yang mirip milik dinosaurus, Kasuari Selatan tampak seperti makhluk yang langsung melompat keluar dari zaman prasejarah.
Burung raksasa asal Australia dan Papua ini bukan hanya salah satu burung terbesar di dunia, tetapi juga dikenal sebagai yang paling berbahaya.
Dipersenjatai cakar tajam seperti velociraptor, kasuari menyimpan jejak masa lalu evolusioner yang mengagumkan—menghubungkan burung modern dengan leluhur reptil purba mereka.
Burung besar yang tidak bisa terbang ini memiliki kaki berotot dan kuat, serta kaki bersisik berpenampilan purba dengan cakar yang mampu memberikan tendangan mematikan.
* Nama: Kasuari Selatan (Casuarius casuarius)
* Habitat: Indonesia, Papua Nugini, dan timur laut Australia
* Makanan: Buah-buahan, biji, jamur, serangga, siput, ikan, katak, burung kecil, mamalia kecil, dan bangkai
Kasuari Selatan merupakan salah satu burung purba paling menakjubkan di Bumi.
Penampilannya yang besar, warna kepala yang mencolok, dan cakar mirip raptor menjadikannya burung yang kerap disebut sebagai “burung paling berbahaya di dunia.”
Hidup di hutan hujan tropis, kasuari adalah burung tak terbang terberat di Australia dan berada di peringkat kedua di dunia setelah unta (Struthio camelus).
Tingginya bisa mencapai 1,7 meter. Mereka termasuk kelompok ratit—bersama unta, emu, dan kiwi. Berdasarkan bukti fosil dan kajian genetik, kasuari telah ada dalam bentuk tertentu selama puluhan juta tahun.
Baca Juga: Pertama dan Paling Akurat, 'Dinosaurus Ompong' Dipamerkan di Museum
Salah satu ciri paling purba pada kasuari adalah kakinya. Tiap kaki memiliki tiga jari, dengan jari dalam yang memegang cakar seperti belati sepanjang hingga 12 cm.
Cakar ini tidak hanya untuk penampilan — tendangan kasuari sangat kuat, mampu melukai atau bahkan membunuh ancaman termasuk manusia.
Kaki mereka yang berotot mendukung gerakan cepat dan kuat, memberi mereka kemampuan menyerang predator seperti buaya dan ular sanca.
Penampilan kasuari juga sangat mencolok. Kepala dan lehernya tanpa bulu, dihiasi warna biru-merah yang cerah, sedangkan tubuhnya ditutupi bulu kasar berwarna hitam yang menyerupai rambut—memberi perlindungan dari semak berduri di dalam hutan.
Di lehernya menggantung “wattle” berwarna cerah—lipatan daging yang diyakini untuk menyampaikan sinyal sosial.
Misalnya, ketika kasuari menggelengkan kepala dan mengayunkan wattle-nya, hal itu bisa menjadi tanda agresi teritorial.
Pada bagian atas kepala terdapat struktur keras menyerupai helm, disebut “casque.”
Fungsi casque masih dipelajari, tetapi penelitian menunjukkan bahwa struktur ini berperan sebagai "jendela termal"—melepas panas saat suhu tinggi dan menahan panas saat dingin.
Casque juga kemungkinan membantu memperkuat dan menyebarkan suara rendah khas kasuari agar bisa terdengar dari jarak jauh.
Berbeda dari banyak hewan lain, pada kasuari justru pejantan yang merawat anak. Mereka mengerami telur selama ~50 hari, lalu merawat anak-anaknya hingga sekitar sembilan bulan setelah menetas.
Meskipun punya julukan menakutkan, kasuari pada dasarnya pemalu dan cenderung menghindari manusia.
Baca Juga: Benarkah Elasmosaurus Bukan Termasuk Dinosaurus Melainkan 'Hanya' Reptil?
Namun, serangan tetap bisa terjadi jika mereka merasa terancam. Pada tahun 2019, seorang pria di Florida tewas akibat diserang kasuari peliharaan—menjadi kematian pertama akibat serangan kasuari dalam hampir 100 tahun.
Meski dijuluki sebagai “burung paling berbahaya di dunia”, kasuari selatan sebenarnya cenderung menghindari manusia dan bersifat pemalu di alam liar.
Namun, dalam situasi tertentu—seperti ketika merasa terancam atau sedang menjaga anaknya—kasuari bisa menjadi sangat agresif.
Kematian tragis akibat kasuari
Sifat agresif ini menjadi sorotan dunia pada tahun 2019, ketika seorang warga Florida bernama Marvin Hajos tewas setelah diserang oleh salah satu kasuari peliharaannya. Burung tersebut menyerang dengan cakar tajamnya, yang mampu mencabik dan menimbulkan luka fatal.
Hajos, yang saat itu berusia 75 tahun, diketahui memelihara sekitar 100 hewan eksotik di propertinya. Dua minggu setelah insiden tersebut, pada Sabtu, 27 April, kasuari yang menyebabkan kematiannya dilelang bersama koleksi hewan lain, sesuai keinginan almarhum.
Pelelangan itu terbuka untuk umum, tetapi pers dilarang hadir. Bahkan, siapa pun yang mencoba merekam video akan dikeluarkan dan rekamannya akan dimusnahkan.
Penyelenggara, Gulf Coast Livestock Auction, menyatakan bahwa kebijakan ini diambil atas permintaan keluarga Hajos, yang tidak ingin informasi lebih lanjut disebarkan ke media.
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa, meski tampak eksotik dan menawan, hewan liar seperti kasuari tetap membawa potensi bahaya—terutama bila dipelihara di luar habitat aslinya tanpa pemahaman penuh terhadap perilaku alaminya.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR