Nationalgeographic.co.id - Setiap orang pasti dididik untuk menjadi orang yang baik dan tidak menimbulkan permusuhan. Dengan pola pendidikan ini, semua orang percaya bahwa hal baik akan senantiasa menghampiri.
Namun penelitian berkata lain. Beberapa sikap baik kita justru dapat berbalik arah dan memberikan dampak buruk bagi diri sendiri.
Baca juga: Jadi Sarang Bakteri dan Jamur, Kapan Kita Harus Mencuci Seprai?
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Human Behavior, mengungkapkan bahwa orang baik — mereka yang peka terhadap ketidakadilan atau ketidaksetaraan sosial — justru cenderung menunjukkan gejala depresi bila dibandingkan dengan orang yang egois.
Penelitian yang dipimpin oleh Dr. Masahiko Haruno ini meneliti kaitan antara pola pikir orang yang dianggap pro-sosial — mereka yang rela berkorban demi keadilan dan kesetaraan — dengan gejala klinis terkait depresi jangka panjang.
Sebanyak 350 orang dipilih untuk diteliti mengenai kepribadian mereka. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah mereka pro-sosial atau individualis. Tidak hanya itu, para peneliti juga mengamati keinginan mereka untuk saling berbagi kepada mereka yang kurang mampu secara ekonomi.
Setelah "dipilah" menjadi dua kelompok, partisipan kemudian diperiksa menggunakan MRI untuk mengetahui area otak mana yang aktif dalam situasi tertentu yang sudah dikondisikan oleh para peneliti.
Hasilnya? Pindaian MRI mengungkap adanya perbedaan terhadap kedua kelompok penelitian. Saat memberikan uang kepada mereka yang kurang beruntung secara ekonomi, kelompok pro-sosial menunjukkan adanya aktivitas tinggi pada area amigdala (area otak yang berkaitan dengan perasaan. Termasuk stres).
Baca juga: Anting Yunani Kuno Ditemukan di Situs Arkeologi Yerusalem
Berbeda dengan kelompok pro-sosial, area amigdala kelompok individualis hanya bereaksi tinggi saat orang lain menerima uang lebih banyak. Area hippocamus (area otak yang terlibat dengan respons stres) mereka juga bereaksi.
Melanjuti temuan ini, para peneliti kemudian meminta peserta penelitian untuk mengisi kuesioner mengenai depresi secara umum yang dikenal dengan Inventaris Depresi Beck. Tujuan para peneliti adalah untuk melihat apakah aktivitas otak yang terjadi terkait dengan gejala depresi.
Peneliti kemudian mendapatkan hasil bahwa pola peningkatan aktivitas otak ini terkait dengan kecenderungan depresi. Pola ini juga terjadi pada penelitian yang dilakukan kembali setahun kemudian.
Source | : | Kompas.com,Reader's Digest |
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR