Cilamaya yang Tetap Bimbang

By , Senin, 23 Maret 2015 | 18:35 WIB

Mungkin ada solusinya: memendam pipa minyak di bawah dasar laut. Namun pendalaman pipa berdampak pada berhentinya operasi sumur-sumur lepas pantai bekas Arco ini.

Selain potensi perikanan, pantai utara Jawa di antara Karawang dan Subang menghasilkan beras bermutu baik. Kawasan ini menjadi lumbung beras Jawa Barat. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Ada juga wacana menggeser posisi pelabuhan sejauh 2,9 kilometer. Namun, karena Blok PHE ONWJ membentang dari utara Jakarta hingga utara Cirebon, penggeseran itu tetap rentan.

Bila tetap dibangun, lintasan kapal-kapal kargo akan memaksa aktivitas produksi minyak dan gas bergeser. Pindah lokasi. Untuk itu, perlu membongkar dan membangun anjungan. Pembangunan satu anjungan minyak lepas pantai biayanya mencapai Rp1 triliun.

Lantaran berpindah, operasi Pertamina Hulu Energi tentu akan mati total dalam waktu yang cukup lama, sekira enam bulan. Itu berarti, di tengah-tengah defisit minyak nasional, tidak ada produksi 40.000 barel per hari dan tidak ada pasokan gas 190 mmscfd.

Saat ini kebutuhan bahan bakar minyak nasional nasional mencapai 1,3 juta barel per hari, sementara produksi minyak Indonesia hanya 827 ribu - 840 ribu barel per hari. Itu artinya, ada defisit sekitar 400 ribu - 500 ribu barel.

Mata rantai dampak pelabuhan Cilamaya rupanya bakal terus berputar. Lumpuhnya PLTGU Muara Karang akan menyebabkan kehidupan sosial-ekonomi Jakarta terhenti.

!break!