Dentang lonceng pagi itu menusuk jantung telinga. Seorang petugas Koperasi Unit Desa Mina Fajar Sidik menghantamkan pemukul besi ke lonceng seperti kepala rudal itu. Suaranya yang bertalu-talu menandai lelang ikan bakal segera dibuka.
Sejak kemarin hari, para nelayan telah merapat di tempat pelelangan ikan (TPI) Mina Fajar Sidik, Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Saat dini hari, nelayan telah menurunkan hasil tangkapannya dari Laut Jawa. Ikan-ikan dimasukkan dalam cepon—keranjang bambu, lalu ditata rapi berderet.
Buat menyambut para pembeli, cepon-cepon kosong telah siap di lantai pelelangan. Di sudut yang lain, ikan, udang, cumi, sotong, rajungan berjajar-jajar.
Kekayaan Laut Jawa, yang tersembunyi di bawah perairan, seakan tumpah-ruah di lantai pelelangan ikan terbesar di Subang itu. Ada ikan pepete yang berkemilau keperakan, ada hiu yang bertutul-tutul. Yang lain: barakuda, tenggiri, tongkol, ikan pari, kakap merah, kerapu, baronang, cumi-cumi, sotong, udang.
Hasil dari Laut Jawa yang dilelang di Tempat Pelelangan Ikan Blanakan, yang dikelola Koperasi Unit Desa Mina Fajar Sidik, mencapai 7,3 ribu ton, senilai Rp96,5 miliar pada 2012. Ini sumbangan terbesar di Kabupaten Subang. Para nelayan di muara Blanakan khawatir dengan rencana pembangunan pelabuhan Cilamaya, yang akan mengurangi daerah tangkapan ikan. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)
Perahu-perahu nelayan lokal dan pendatang hilir-mudik di muara yang keruh. Saat magrib menjelang, perahu-perahu berpendar semarak. Baju-baju lusuh para awak kapal dijemur di atas perahu. Bendera Merah Putih yang geripis berkibar-kibar. Kelelahan membayang di wajah nelayan: kulit gelap, rambut awut-awutan, kumis dan jenggot tumbuh subur.
Secara statistik, pada 2012 saja, produksi ikan dari tempat lelang ini mencapai 7,3 ribu ton, senilai Rp96,5 miliar. Ini nilai terbesar di Subang—nyaris separo dari produksi seluruh kabupaten.
Detak perikanan tangkap itu memutar roda ekonomi di seputar tempat pelelangan. Rumah-rumah berderet: kedai, pasar ikan, dan lapak-lapak yang menjual pernak-pernik kebutuhan rumah tangga.
Satu lagi yang khas, tapi mengoyak batin: rumah-rumah gemerlap untuk gairah asmara semalam. Perempuan-perempuan muda berpakaian sexy memikat: tepi rok dua jengkal di atas dengkul atau celana ketat yang cekak. Mereka meriung di teras-teras berlampu redup. Kongkow-kongkow, bermain kartu, merokok. Satu dua perempuan merajahkan kupu-kupu di punggung dan lengan. Sapaannya penuh godaan halus terselubung.
Kala para nelayan banyak bersandar, musik dangdut menyobek malam, meruntuhkan daun telinga. Sebagian nelayan menumpahkan cita rasa seninya dengan berkaraoke ria di ruangan sempit temaram. Suara-suara sumbang merambat di udara hingga tengah malam.
Di pelelangan ikan Blanakan, nelayanlah yang menjadi juragan dan para pembelinya disebut bakul.
Sambil menyeruput secangkir kopi susu yang hangat, Ujang Suherman, salah seorang bakul, menunggu lelang dibuka. Dia bersepatu boot, dengan rompi yang melapisi kaos berlengan panjang. Lelaki dari Rawameneng, Blanakan, itu saban hari turut perlelangan. "Saya kirim ikannya ke Wadas, Karawang," tuturnya. Hasil pembeliannya diterima seorang juragan di sana, lalu dijual kembali.
Sekali lelang, Ujang menghabiskan Rp 2 – Rp 2,5 juta. "Itu kalau pas musim ikan," ucapnya, "saya mah hanya memakai sepeda motor. Yang pakai mobil bisa sampai Rp 15 juta ke atas, lalu dikirim ke Jakarta."
Dari pengeras suara, Haji Aban Slaker mengumumkan lelang akan dibuka. "Slaker itu istilah di sini, artinya pejabat lelang," jelas Ujang. Dia beranjak meninggalkan cangkir kopinya yang telah kosong. "Saya ikut [lelang] dulu."
!break!
SUARA HAJI Aban bergema parau. Bahasanya ganjil dan campur aduk: Sajuta... bla, bla, bla rek... sajuta lima ratus rek... sajuta bla, bla, bla.... Alunan nadanya monoton. Amat khas. "Itu bahasa Jawa campur bahasa Indonesia," jelas Ujang, yang telah ikut lelang selama 20 tahun. "Saya awalnya juga tidak mengerti."
Dari keranjang ke keranjang, Haji Aban mengendalikan lelang. Para bakul mengerubutinya, mengikutinya. Tanda sepakat antara pejabat lelang dengan bakul melalui bahasa tubuh: melambaikan tangan, mengangguk atau sekadar tatapan mata.
Ikan-ikan yang telah terjual diberi catatan; keranjangnya digulingkan. Ikan-ikan bergelimpangan. Pekerja yang membantu bakul lantas mengusungnya. Hingga tengah hari, suara berat Haji Aban masih membahana dari pelantam.
"Para bakul itu yang akan memasarkan ke luar, bisa ke Jakarta, ke Karawang. Bahkan ada yang ke luar Jawa, seperti Lampung," tutur Hajah Atinah Kurniasih, Ketua KUD Mina Fajar Sidik.
Rupa-rupa hasil laut yang dilelang untuk memasok berbagai kebutuhan. "Cumi-cumi kualitas ekspor akan diolah di pabrik dan diekspor. Ada juga bakul yang mengolah dulu, baru dikirim ke restoran," imbuh Atinah, yang suaranya bersaing dengan pelelang.
Sedikitnya 500 nelayan lokal menjadi anggota koperasi, ungkap Atinah, "Yang aktif sekitar 200." Selain nelayan Blanakan, koperasi yang berdiri sejak 1958 ini juga menerima nelayan dari luar. "Yang menjadi anggota koperasi harus berdomisili di Blanakan, tapi nelayan luar bisa menjual ikannya di sini."
Pasirputih dalam sunyi. Sungai muara ini terhimpit perahu-perahu nelayan. Inilah kehidupan nelayan kita di pesisir Karawang, Jawa Barat. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)
Perputaran uang sangat ditentukan oleh musim dan hasil laut yang dilelang. "Tidak bisa ditentukan, sangat tergantung pada hasil laut dan lelang. Para bakul itulah yang menentukan, juga tergantung pada alat jaring yang dipakai nelayan, dan jenis ikan."
Pada saat cuaca normal, dia mengimbuhkan, sehari lelang bisa mencapai sekurangnya Rp100 juta. Dari hasil lelang, Mina Fajar Sidik menyumbangkan pendapatan ke pemerintah daerah melalui retribusi.
"Retribusinya sekitar 1,8 persen dari hasil produksi per bulan," tutur Atinah, "itu belum pemasukan dari biaya operasional tempat pelelangan per tiga tahun. Jadi tempat lelang ini ada biayanya."
Dia mengungkapkan, nelayan Blanakan umumnya berperahu kecil, yang mencari ikan di pinggiran laut. Sementara itu, nelayan dari daerah lain, seperti Brebes, atau Rembang, Jawa Tengah, umumnya berperahu besar, yang melaut selama dua pekan. Nelayan-nelayan inilah yang meramaikan perputaran uang di tempat pelelangan ikan di Blanakan.
Anggota KUD Mina Fajar Sidik hampir 80 persen adalah nelayan kecil tradisional. "Alat tangkapnya, arat, apolo, jaring udang," tutur Dasam, salah satu nelayan Blanakan. Sisanya, 20 persen adalah nelayan besar. "Itu sekitar 14 kapal."
!break!
Pendapatan KUD Fajar Sidik sebagian besar berasal dari nelayan pendatang dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten. Perahu-perahu nelayan dari luar Blanakan berukuran di atas 20 gross ton dengan alat tangkap berkapasitas besar seperti cantrang dan dogol. "Tentu saja hasilnya lebih besar dibandingkan dengan nelayan kecil Blanakan," lanjut nelayan teladan ini.
Dia berharap KUD bisa memberikan kemudahan, baik pinjaman maupun sarana tangkap nelayan. "Itu harus dilakukan. Sebagian sudah dilakukan, sebagian belum. Contohnya sisa hasil usaha KUD sudah naik 115 persen dari tahun lalu. Juga kenaikan dana sosial, seperti asuransi kecelakaan; dulu hanya Rp100.000 sekarang sudah mencapai Rp 3 juta."
Kepentingan antara nelayan pendatang dan lokal Blanakan itulah yang mesti dijaga untuk keberlanjutan KUD. "Di satu sisi kami butuh nelayan pendatang; di sisi lain nelayan kecil KUD menanggung imbas negatif yang tidak kecil."
Persaingan usaha nelayan membuat Laut Jawa dirundung pemanenan yang berlebihan. Dulu pada 1997 hingga 2000, kenangnya, musim ikan kembung misalnya bisa bertahan hingga sebulan. "Sekarang, satu minggu saja sudah jagoan. Artinya ikan kembung sudah tidak ada. Kalaupun ada, nelayan kecil cuma dapat satu cepon, nelayan besar 50 cepon."
Aneka ikan tangkapan nelayan desa Cilamaya Girang. Ikan-ikan ini akan dikirim ke Jakarta untuk didistribusikan ke tangan konsumen. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)
Daerah tangkap nelayan kecil Blanakan berada sekitar 4 – 6 mil dari pesisir, ke arah barat maupun timur. Kendati berbeda wilayah tangkap, Dasam menegaskan, rebutan daerah tangkap di laut tetap terjadi. Nelayan besar ataupun kecil pasti mencari daerah yang musim ikan. "Akhirnya menangkap di daerah yang sama dan persaingan tetap terjadi."
Laut Jawa memang menanggung beban berat. Jumlah nelayan terlalu banyak, siklus kehidupan ikan banyak yang terputus. Sementara itu, dari daratan limbah peradaban tumpah melalui muara-muara sungai. "Petani kita memakai pestisida sangat banyak. Airnya turun ke sungai, dan sungai bermuara di laut," jelas Dasam.
Dan semenjak 2015, para nelayan Blanakan dan pantai utara Jawa makin gundah. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menerbitkan aturan menteri Nomor 2 Tahun 2015 yang melarang alat tangkap ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets). Itu termasuk jaring cantrang, dogol dan arat yang digunakan sebagian besar nelayan pantai utara.
!break!
Dasam menuturkan bahwa nelayan Blanakan turut berunjuk rasa ke kementerian untuk memerotes kebijakan Menteri Susi itu. "Kami turut berpartisipasi. Ada 60 orang dari sini. Para nelayan menginginkan peraturan itu dicabut."
Tapi Kementerian Kelautan dan Perikanan bersikukuh memberlakukan aturan tersebut. "Responnya normatif," kenang Dasam saat bertatap muka dengan pejabat kementerian di Jakarta.
Dia mengakui jaring pukat tarik dan hela memang tidak ramah lingkungan. "Seharusnya ada solusi dan alternatif jaring yang memang diperbolehkan," imbuhnya, "nelayan kecil kan urusannya perut." Jaring yang ramah lingkungan, tuturnya, harganya mahal dan tidak terjangkau oleh nelayan kecil. Dasam memahami kebijakan itu memang demi kelestarian sumber daya laut.
"Sekarang, ya, menunggu saja," tuturnya sambil mengusap-usap rambutnya, "kalau ditangkap, pasrah."
Peta lokasi rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya di Jawa Barat. (Zulfiq A.N./National Geographic Indonesia)
Di antara rasa gundah terebut, menyisip kekhawatiran dari rencana pembangunan pelabuhan Cilamaya di pesisir Kabupaten Karawang. Dia menyatakan, segala aktivitas di perairan, langsung maupun tidak, pasti berpengaruh terhadap kehidupan nelayan di lepas pantai Jawa Barat.
"Karena, lalu lintas laut akan padat dan mempengaruhi sumber daya ikan. Selain itu, bisa terjadi pencemaran di laut. Makin ramai, limbah makin tinggi," Dasam menuturkan.
Meskipun pelabuhan Cilamaya berjarak cukup jauh pesisir Subang, nelayan Blanakan khawatir jalur laut makin ramai dan membahayakan ekosistem laut.
"Pelabuhan Cilamaya itu sebenarnya tidak jauh dari Blanakan; beberapa menit juga sampai. Nelayan kecil pasti akan kesulitan mencari nafkah. Sementara dari pelabuhan bisa mengharapkan apa? Jadi kuli panggul?"
!break!
KEKAYAAN ALAM Laut Jawa yang terpampang di lantai lelang Blanakan baru memutar ekonomi salah satu muara sungai yang ada di pesisir Subang. Setiap muara menuturkan kisah khas tentang relasi yang intim antara manusia dengan laut.
Nelayan di setiap muara memanen sumber daya laut yang berbeda dengan alat tangkap yang berbeda pula. Dengan begitu, kebutuhan, tantangan dan kehidupan ekonomi setiap muara sangat unik. Tidak ada gambar tunggal kehidupan nelayan pantai utara di Jawa bagian Barat.
Di sebelah barat Blanakan misalnya. Di pesisir Sukajaya, Cilamaya Kulon, Kabupaten Karawang, kehidupan nelayan muara Pasirputih benar-benar bertumpu pada perairan yang akan dijadikan pelabuhan Cilamaya.
Pasirputih merupakan sentra rajungan Karawang, yang pada 2013 lalu dikunjungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kala itu, Presiden berdialog dengan para nelayan, dan melihat pengolahan rajungan Pasirputih.
Upaya penanaman pohon mangrove digelar di sepanjang pesisir utara dekat Tanjungbaru, Karawang, Jawa Barat. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)
Para nelayan memasok bahan baku rajungan, baik rajungan segar maupun rajungan rebusan. Selain nelayan kecil yang pulang-hari, yang melaut antara 1-2 mil, sebagian nelayan Pasirputih mencari rajungan hingga Lampung, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat. Hasil tangkapan akan disetorkan ke juragan, yang lantas diolah di tempat pengolahan.
Sedikitnya ada 18 tempat pengolahan rajungan, disebut miniplant, di Pasirputih, yang pada 2013 produksinya mencapai 393 ton. Satu tempat pengolahan menampung 20-30 tenaga kerja perempuan. Hampir seluruh pengolahan rajungan di Karawang berlokasi di Pasirputih.
Produksi rata-rata pengolahan rajungan per hari sekitar dua kuintal, dan pada musim rajungan bisa 6-7 kuintal. Sahari mengisahkan, daging rajungan dari Pasirputih diekspor ke Singapura, Amerika Serikat ataupun Taiwan.
!break!
Hari-hari ini, kebijakan menteri kelautan dan perikanan juga menjadi perbincangan di Pasirputih. Menteri Susi membatasi tiga komoditas perikanan penting: lobster, kepiting, dan rajungan melalui aturan menteri Nomor 1 Tahun 2015.
Tiga komoditas itu masih bisa ditangkap, asal tidak sedang bertelur dan sesuai dengan ukuran minimum. Lobster yang dapat ditangkap panjang karapasnya mesti di atas 8 sentimeter; kepiting, di atas 15 sentimeter, dan rajungan, lebar karapasnya di atas 10 sentimeter.
"Maksudnya baik, biar tidak habis. Tapi, seharusnya ada solusi alternatif buat nelayan," tutur Sahari, ketua Rukun Nelayan Pasirputih.
Ukuran jaring nelayan kecil tradisional di Pasirputih umumnya tiga inchi, ungkapnya, yang membuat rajungan kecil pasti tertangkap. "Kalau di toko hanya dijual jaring tiga inchi, nelayan pasti membeli ukuran itu. Jaring setidaknya ukuran empat inchi, sehingga rajungan di bawah 10 sentimeter lolos. Masalahnya, siapa yang akan menyediakan jaring empat inchi. Hal-hal kecil seperti itu seharusnya dipikirkan Menteri Susi."
Di pesisir Cikuntul ini, di barat Ciparagejaya, akan dibangun pelabuhan Cilamaya seluas 6 kilometer persegi. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)
Namun, aturan Menteri Susi yang melarang jaring hela dan tarik tidak membuat nelayan Pasirputih gelisah. "Untuk menangkap rajungan, nelayan memakai jaring rajungan dan bubu. Jaring rajungan dan bubu hanya ditebar, dibiarkan, lalu diangkat. Ya, tetap ditarik, tapi memakai tangan, bukan mesin atau kapal," kata Suhaeri, ketua Kelompok Masyarakat Pengawas Mina Jaladri Pasirputih.
Suhaeri bersama kelompoknya malah biasa menangkap kapal-kapal nelayan dari luar Pasirputih yang memakai pukat tarik. "Orangnya kita lepas, tapi jaringnya kita sita," tuturnya, sembari menegaskan hanya polisi yang berwenang menangkap orang.
Di sepanjang lepas pantai Pasirputih, membentang gundukan terumbu dan pulau pasir yang menjadi bagian dari gugusan karang Sendulang. Gugusan ini membentang dari barat ke timur, papar Suhaeri, "Mulai dari Ciparagejaya, Tanjung Baru, Pasirputih, Tangkolak, hingga Cilamaya Girang, di Subang."
!break!
Kawasan perairan berterumbu karang ini mencakup tiga kecamatan di Karawang: Tempuran, Cilamaya Kulon dan Cilamaya Wetan. Seluruhnya, terumbu membentang 2.000 hektare lebih sedikit.
Catatan Dinas Kelautan dan Perikanan Karawang pada 2012 mengabarkan, 50 hektare terumbu dalam keadaan rusak; 889 hektare sedang; dan sebagian besar, 1.152 hektare dalam kondisi baik. Di seputar lepas pantai Pasirputih, yang masuk Cilamaya Kulon, luasan terumbu karang mencapai 1.229 hektare.
Untuk melestarikan gugusan karang tersebut, Kelompok Mina Jaladri melarang pemakaian pukat. "Makanya, nelayan yang memakai pukat tidak berani masuk ke Pasirputih," papar Suhaeri.
Pulau gosong pasir yang berterumbu karang di perairan Pasirputih itu menjadi habitat rajungan. Saat laut berombak cukup besar, nelayan senang melaut karena rajungan banyak yang keluar di lepas pantai Cikuntul, di sebelah barat Ciparagejaya.
Jembatan seadanya menghubungkan dua sisi muara di dekat Tanjung Baru, yang bakal dijadikan pelabuhan Cilamaya. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)
Di sana rajungan paling banyak, karena dasar lautnya berpasir dan berlumpur. "Hasilnya, nelayan kecil bisa mencapai 2-3 kuintal. Sayangnya, di sana akan dibangun pelabuhan Cilamaya," sergah Suhaeri.
Sejak 2012, Suhaeri dan nelayan Pasirputih telah mendengar di Cikuntul akan dibangun pelabuhan bertaraf internasional. "Kita juga pernah diminta mengisi brosur [kuisoiner] oleh konsultan, setuju atau tidak dengan adanya pelabuhan. Kita semua tidak setuju, karena itu lahan kehidupan kami," paparnya, "sampai sekarang saya tidak tahu, hasilnya [kuisoiner] buat apa."
!break!
SIANG ITU, pekan kedua Maret 2015, hawa panas memanggang pesisir Cikuntul, Kecamatan Tempuran. Burung-burung perancah beterbangan bergerombol; burung gagang bayam yang berkaki jenjang menyisir lumpur di tambak-tambak yang kumuh.
Di kawasan pesisir inilah bakal dibangun pelabuhan Cilamaya. Jadi, meski berada di daerah Cikuntul, namanya kadung pelabuhan Cilamaya. Tonggak beton berwarna biru itu tertancap di lahan itu dengan tulisan: JICA BM 30 GPS Maret-2102.
Di beberapa titik lokasi yang akan menjadi kawasan penyangga pelabuhan, seluas 200 hektare, patok-patok tanah telah berdiri tegak. Salah satunya bersetrip warna merah, putih dan hitam.
Tonggak beton yang menandai di lahan Cikuntul, Karawang akan dibangun sarana pendukung pelabuhan Cilamaya. Tonggak beton berwarna biru itu tertancap di lahan dekat pesisir desa Cikuntul. Di situ tertera: JICA BM 30 GPS Maret-2102. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)
"Patok itu milik salah satu spekulan tanah," terang seorang pemuda di Kalen Kalong. Dusun kecil ini tepat bersisian dengan patok itu, yang kelak akan berbatasan dengan kawasan pelabuhan Cilamaya. "Tanah-tanah timbul di pinggir pantai sudah habis [dibeli]," imbuhnya, "Kalen Kalong katanya juga akan digusur."
Lahan-lahan tambak di sisi timur Kalen Kalong hingga barat Ciparagejaya telah dikuasai oleh orang-orang dari luar, seperti dari Bekasi, Jakarta, untuk menyambut pembangunan pelabuhan.
Perahu-perahu nelayan hilir-mudik di perairan Cikuntul. Di situlah lahan tangkap para nelayan, tidak saja dari Pasirputih, tapi juga dari Ciparagejaya, Tangkolak, Kalen Kalong dan sekitarnya.
Pepohanan muda ditanam di atas gundukan tanah untuk menghindari banjir yang kerap melanda Muarabaru. Diciptakan dari nol, Hutan Pendidikan Iklim Blanakan kelak akan rimbun dengan demplot tambak yang ramah lingkungan. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)
Dari peta rencana, Sahari mengetahui bahwa pelabuhan akan dibangun selebar 2 kilometer, sepanjang 3 kilometer. Dengan luas 6 kilometer persegi, tegasnya, "Nelayan mau cari ikan di mana? Apalagi nelayan kecil yang mencari ikan di pinggir laut."
Dia tak bisa membayangkan betapa sibuknya lalu lintas di perairan Cikuntul saat pelabuhan Cilamaya beroperasi. Perahu-perahu nelayan akan berhadapan dengan kapal kargo berukuran besar.
"Masa kita harus menunggu kapal besar lewat? Kalau tertabrak pasti hancur. Ukuran perahu nelayan mah kecil, paling besar 7 gross ton. Jangankan tertabrak, disenggol saja oleng. Apa mau kapal-kapal besar itu bertanggung jawab?"
!break!
PELABUHAN CILAMAYA diyakini sebagai masa depan bagi distribusi produk industri otomotif dan produk lain ke berbagai wilayah dalam dan luar negeri. Dalam 'Booklet Gambaran Umum Kabupaten Karawang 2012,' pelabuhan ini dinyatakan sebagai proyek kunci yang mendorong perkembangan wilayah Metropolitan Jakarta Raya.
Kajian rencana induk pelabuhan dilakukan oleh JICA-Japan International Cooperation Agency selama 2010-2011. Rekomendasinya: pembangunan pelabuhan dan jalan di Karawang dan terminal Kalibaru di DKI Jakarta. Lokasi terbaik pelabuhan terletak di muara Ciparagejaya, antara Kecamatan Tempuran dan Cilamaya Kulon—pesisir desa Cikuntul.
Lokasi ini dipilih dengan menimbang keadaan perairan, daerah penyangga, menghindari permukiman, kebijakan dan peraturan pemerintah, serta akses terhadap jalan tol dan kawasan industri.
Sembari menunggu genangan air surut, para petani menumbuhkan benih padi di pembibitan. Kawasan ini salah satu penghasil beras bermutu di Cilamaya Girang, Subang, Jawa Barat. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)
Untuk menghubungkan pelabuhan Cilamaya dengan jalan tol Jakarta-Cikampek akan dibangun akses mulai dari Klari hingga Tempuran. Jalan baru ini akan menghubungkan kawasan industri otomotif di Karawang barat dengan pelabuhan Cilamaya.
Dengan profil seperti itu, pelabuhan Cilamaya bakal menjadi solusi bagi persoalan kemacetan lalu lintas ke Pelabuhan Tanjung Priok. Pelabuhan Cilamaya sedikitnya akan memangkas kepadatan lalu lintas sampai 30 persen. Kelak, jika berdiri, kepadatan transportasi ke Tanjung Priok akan menyusut hingga 18,7 juta truk per tahun (10 truk per menit).
Proyek raksasa ini merupakan kesepakatan antara Indonesia dengan Jepang. Negeri Matahari Terbit ini bergairah membangun pelabuhan setelah beberapa perusahaannya hendak memindahkan pabriknya ke Indonesia. Kerjasama ini memakai sistem build operation transfer (BOT): perusahaan Jepang akan membangun dan mengelola pelabuhan Cilamaya dalam jangka tertentu, sebelum menjadi aset Indonesia.
Siswa-siswi SDN Cilamaya Girang belajar bersama di bawah naungan pohon-pohon yang mulai rimbun. Sekolah ini diharapkan menjadi sekolah adiwiyata: mendukung murid dan guru yang mencintai lingkungan. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)
Dana pembangunan megaproyek ini mencapai Rp43,5 triliun atau US$3,45 miliar. Pembangunan bakal berlangsung dua tahap. Tahap pertama, US$ 2,39 miliar, yang akan berlangsung pada tahun ini; dan tahap kedua: US$1,06 miliar. Dengan dana sebesar itu, kelak saat beroperasi pada 2020, pelabuhan raksasa ini mampu menampung peti kemas setara 7 juta twenty feet equivalent units (TEUs).
Di atas perairan, pelabuhan Cilamaya akan membentang seluas 6 kilometer persegi dengan akses jembatan, sepanjang sekira 800 meter dari daratan. Perairan sempit antara pelabuhan dengan pantai itu, tutur Suhaeri, sebagai jalur nelayan. "Tapi itu untuk nelayan pinggir. Masalahnya, perahu nelayan yang akan melaut ke Sumatra dan Kalimantan lewat mana? Begitu juga, nelayan cari rajungan ke mana?"
!break!
PEMILIHAN lokasi pelabuhan Cilamaya semestinya juga telah menimbang kawasan objek vital nasional Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ).
Dalam Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004, objek vital nasional merupakan kawasan, bangunan, dan usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan bersifat strategis bagi negara. Dengan begitu, perlu dijaga dan diamankan dari setiap usaha, dari dalam maupun luar negeri, yang berpotensi membahayakan fungsinya.
Blok lepas pantai PHE ONWJ membentang 8.300 kilometer persegi, dari Kepulauan Seribu hingga utara Kota Cirebon, adalah daerah terlarang bagi pelayaran kapal-kapal besar. Di blok ini terdapat 222 anjungan produksi lepas pantai dengan lebih 700 sumur. Bahkan, kapal nelayan hanya bisa melintas sedekat 500 meter.
Penduduk melintasi jalan tanah tak jauh dari tempat pelelangan ikan Blanakan. Subang dan Karawang merupakan lumbung penghasil beras di Jawa Barat. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)
Saban hari, buat memproduksi minyak, puluhan kapal laut lalu-lalang untuk mendukung operasi PHE ONWJ, didukung satu unit penampung minyak, serta kapal tanker.
Kelak, jalur kapal-kapal besar dari pelabuhan Cilamaya bakal memotong rangkaian pipa minyak di bawah laut. Bentangan pipa-pipa minyak mencapai 1.700 kilometer—dua kali panjang Pulau Jawa—dengan delapan jalur pipa besar berukuran 28 inchi.
Di bagian tengah blok ini, terdapat fasilitas produksi yang menjadi tulang punggung produksi migas PHE ONWJ. Kapal-kapal besar dari Cilamaya kelak akan membelah wilayah tengah tersebut.
Kapal-kapal itu berukuran ultra (ultralarge carrier) dengan panjang 400 meter, lebar 40 meter. Draft atau lambung kapal setinggi 14 meter. Sementara itu, anjungan minyak hanya setinggi 12 meter. Kira-kira, perbandingannya: anjungan minyak hanya seujung pena, kapal ultra sebesar kotak pensil.
Seluruh rangkaian pipa tersebut tidak terpendam, tapi tergeletak di dasar laut. Risikonya, jika ada kapal besar berlabuh, jangkarnya bisa merobek pipa. Selama 2011-2014 sedikitnya terjadi insiden 53 kapal mengalami gangguan, bahkan ada yang terdampar di kawasan Blok PHE ONWJ. Hal itu berisiko merusak pipa gas dan fasilitas produksi Pertamina.
!break!
Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat RI Kardaya Warnika mengatakan, karena dekat dengan jaringan pipa dan sumur migas Blok PHE ONWJ, pembangunan pelabuhan Cilamaya sangat rentan mengganggu. Bila operasi ONWJ terganggu, dampaknya akan berantai.
"Pertama, pabrik pupuk Kujang akan berhenti, karena suplai energinya dari ONWJ. Lalu, petani beli pupuk dari mana? Kedua, sekitar 60 persen listrik Jakarta akan padam karena ONWJ menyuplai gas ke PLTGU Muara Karang di Jakarta," papar Kardaya yang juga putra daerah pantai utara ini.
Pasokan pupuk Kujang ke petani yang mandek, bakal mempersulit tekad pemerintah berswasembada beras selama tiga tahun. Lumbung padi di Karawang, Indramayu, dan Subang bakal kesulitan memproduksi beras. Lagipula, akses tol dari Klari sampai Tempuran akan merombak lahan sawah di Karawang seluas 30-60 hektare.
Mungkin ada solusinya: memendam pipa minyak di bawah dasar laut. Namun pendalaman pipa berdampak pada berhentinya operasi sumur-sumur lepas pantai bekas Arco ini.
Selain potensi perikanan, pantai utara Jawa di antara Karawang dan Subang menghasilkan beras bermutu baik. Kawasan ini menjadi lumbung beras Jawa Barat. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)
Ada juga wacana menggeser posisi pelabuhan sejauh 2,9 kilometer. Namun, karena Blok PHE ONWJ membentang dari utara Jakarta hingga utara Cirebon, penggeseran itu tetap rentan.
Bila tetap dibangun, lintasan kapal-kapal kargo akan memaksa aktivitas produksi minyak dan gas bergeser. Pindah lokasi. Untuk itu, perlu membongkar dan membangun anjungan. Pembangunan satu anjungan minyak lepas pantai biayanya mencapai Rp1 triliun.
Lantaran berpindah, operasi Pertamina Hulu Energi tentu akan mati total dalam waktu yang cukup lama, sekira enam bulan. Itu berarti, di tengah-tengah defisit minyak nasional, tidak ada produksi 40.000 barel per hari dan tidak ada pasokan gas 190 mmscfd.
Saat ini kebutuhan bahan bakar minyak nasional nasional mencapai 1,3 juta barel per hari, sementara produksi minyak Indonesia hanya 827 ribu - 840 ribu barel per hari. Itu artinya, ada defisit sekitar 400 ribu - 500 ribu barel.
Mata rantai dampak pelabuhan Cilamaya rupanya bakal terus berputar. Lumpuhnya PLTGU Muara Karang akan menyebabkan kehidupan sosial-ekonomi Jakarta terhenti.
!break!
PELABUHAN Cilamaya memang menciptakan dilema tiada terperi. Para nelayan pantai utara Karawang akan kehilangan daerah tangkapannya. Bagi nelayan Pasirputih, lokasi pelabuhan adalah tempat mencari rajungan. Hilangnya lahan perairan itu akan menyurutkan Pasirputih sebagai sentra rajungan Karawang, yang pernah dikunjungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Nelayan-nelayan yang melaut hingga Kalimantan dan Sumatra akan menempuh jarak lebih jauh, dengan kebutuhan solar yang bertambah. Risiko kecelakaan di laut juga meningkat.
Sementara itu, pemerintah juga masih terus menimbang-nimbang pelabuhan yang sejatinya ditujukan buat investor Jepang ini. Sayangnya, dedikasi itu mengorbankan objek vital nasional PHE ONWJ.
Nelayan di Desa Pasirputih, di pesisir Karawang, Jawa Barat menggantung hidup mereka pada rajungan. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)
Penuh pertimbangan, sehingga malah mempertebal dilema. Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Bappenas masih mengkaji ulang pelabuhan Cilamaya. Kajian itu untuk menimbang berbagai masalah dan tantangan. Pertama, pelabuhan akan bersinggungan dengan pipa minyak Pertamina Hulu Energi. Kedua, proyek raksasa ini dapat mengurangi lahan pertanian produktif.
Sementara itu, Kementerian Perhubungan memastikan pembangunan pelabuhan Cilamaya bisa dilakukan, dengan biaya proyek dari pihak swasta murni, tanpa uang negara. Pada 2014, Jepang menanam investasi di Jawa Barat senilai Rp34 triliun atau US$2,7 miliar. Jawa Barat menjadi target investasi Jepang lantaran wilayahnya dipandang strategis.
Salah satu sasaran investasi itu adalah pelabuhan Cilamaya. Hanya saja, pemerintah provinsi khawatir pelabuhan akan mengurangi sawah yang menyurutkan Karawang sebagai lumbung beras Jawa Barat. Selain itu, pelabuhan juga akan mengganggu produksi minyak dari lepas pantai utara Jawa.
!break!
KAWASAN PESISIR Cikuntul berdampingan dengan lahan pertanian produktif yang subur. Pada musim basah bulan Maret, para petani bergerak ke sawah-sawah. Menebar benih, menanam. Sepeda motor berbaris di tepi sawah. Petani hilir-mudik mengangkuti bibit padi siap tanam.
Lahan sawah yang mengepung dusun Kalen Kalong semarak dengan aktivitas penanaman padi. Harga tanah di daerah ini telah melambung tinggi menyambut pembangunan pelabuhan Cilamaya. Seorang petani yang sedang menanam padi di persawahan Kalen Kalong menuturkan satu hektare tanah bisa mencapai Rp 800 juta.
Lahan-lahan pertanian Kalen Kalong yang ditanami dua kali setahun ini menjadi tumpuan dan harapan hidup warga sekitar. Di atas persawahan inilah kawasan pendukung pelabuhan akan dibangun seluas 205 hektare.
Setiap kali isu pembangunan pelabuhan Cilamaya kembali menghangat, para biyong bergerilya menawar dan membeli tanah-tanah di Cikuntul. "Kalau diitung-itung, sudah tujuh kali tanah leluhur saya ditawar biyong," terang Asep Saefuddin, koordinator Gerakan Masyarakat Tolak Pelabuhan Cilamaya.
Petani mulai menanam petakan sawah di Dusun Bojong Mekarwangi, Desa Cilamaya Girang, Subang, Jawa Barat. Lahan pertanian seluas 625 hektar di desa ini menyumbang sebagian pasokan beras di Subang dan Karawang. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)>
Tanah dan kebun di Sumurgede, Tempuran, itu menjadi tumpuan hidup keluarga besar Asep. "Itu tanah leluhur yang turun-temurun," tutur Asep melalui sambungan telepon, "ada kelapa, mangga, dan lain-lain, yang bisa menopang hidup keluarga saya."
Selama satu tahun terakhir, Asep bersama kawan-kawannya memantau perkembangan rencana pembangunan pelabuhan. Bahkan kabar terakhir, ungkap Asep, kawasan pendukung akan membentang hingga enam kilometer dari garis pantai. "Rumah, tanah dan kebun leluhur saya itu hanya empat kilometer. Kan habis itu. Jadi, ini bukan soal ego kelompok yang tidak ingin menjual tanahnya, tapi tanah pertanian itu masa depan kami."
Asep menuturkan daerah pertanian di Tempuran, Ciparagejaya dan sekitarnya merupakan lumbung padi Karawang. Bersama Kabupaten Subang, Indramayu, Cirebon, Karawang adalah penghasil beras utama untuk Jawa Barat.
Lantaran itu, Gerakan Masyarakat melayangkan aspirasinya ke Presiden Joko Widodo pada 11 Maret lalu saat berdemontrasi di depan Istana Negara. Sebelum menemui Presiden Jokowi, Gerakan Masyarakat menggelar unjuk rasa di Kementerian Perhubungan. Namun, tak ada pejabat kementerian yang menanggapinya.
!break!
Kepada Presiden, Asep bersama sekretaris Gerakan Masyarakat, menyampaikan paparan ihwal lokasi pelabuhan Cilamaya. "Dalam itungan saya, paling sedikit 1.000 hektare lahan sawah produktif akan hilang," ujar Asep memaparkan. "Bapak Presiden kaget."
Anak-anak pesisir Cilamaya Girang, Subang, tetap bersekolah meski bersandal, untuk melewati jalanan becek dan kubangan. Kawasan pantai utara Jawa ini sepantasnya memiliki infrastruktur yang memadai. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)
Asep menegaskan bahwa cita-cita Presiden adalah Nawa Cita yang mencakup ketahanan pangan. "Inilah saatnya Presiden mewujudkan cita-citanya dengan tidak mengorbankan sawah produktif untuk pelabuhan Cilamaya."
Pada kesempatan itu, Asep juga memaparkan, di sekitar Cilamaya terdapat kampung Pasirputih dengan industri rajungan berkualitas ekspor.
"Garis pantai Cilamaya ini berbatasan dengan Pasirputih, dan sedikit lagi dengan Blanakan. Di Pasirputih terdapat terumbu karang dan industri rajungan. Jika pelabuhan Cilamaya dipaksakan, otomatis pasti mengganggu terumbu karang dan industri rajungan," papar Asep, "semuanya dicacat oleh Presiden. Saya melihatnya sendiri beliau menulis."
Tak hanya itu, Asep juga menuturkan keberadaan operasi Pertamina di lepas pantai Karawang dan sekitarnya. "Sejak 1971 sudah ada pipa minyak dan gas yang dihasilkan oleh putra-putri bangsa. Dan itu termasuk Nawa Cita, yaitu ketahanan energi," lanjutnya sembari menegaskan Gerakan Masyarakat tidak sedang membela Pertamina.
"Presiden menanggapi bahwa, 'Saya selaku Presiden Republik Indonesia, sampai detik ini, belum memutuskan apapun terkait dengan rencana pelabuhan Cilamaya. Tolong sampaikan kepada masyarakat dan media'," Asep menuturkan ulang pernyataan Jokowi.
Presiden kepada Asep juga menegaskan: 'Jika ada anak buah saya yang menyatakan pelabuhan pasti dibangun itu sama dengan kebohongan publik. Sampaikan siapa anak buah saya yang sudah pernah turun ke lokasi?' Presiden juga akan mengirimkan tim independen untuk melakukan kajian komprehensif dan feasibility study.
Hari-hari ini, Presiden Jokowi sedang melakukan lawatan kenegaraan ke Jepang, lalu ke Tiongkok. Di sana, Jokowi akan menggelar pertemuan dengan kalangan bisnis Jepang dan Tiongkok.
"Jadi kita tunggu saja, bagaimana ending-nya. Sampai saat ini, saya bersama teman-teman yang satu visi, masih yakin Pak Jokowi memberikan solusi yang tepat, tidak merugikan ketahanan pangan dan menumbuhkan ekonomi nasional dengan adanya pelabuhan. Saya tidak menolak pelabuhan, tapi lokasinya jangan di titik yang sekarang."