Cilamaya yang Tetap Bimbang

By , Senin, 23 Maret 2015 | 18:35 WIB

SUARA HAJI Aban bergema parau. Bahasanya ganjil dan campur aduk: Sajuta... bla, bla, bla rek... sajuta lima ratus rek... sajuta bla, bla, bla.... Alunan nadanya monoton. Amat khas. "Itu bahasa Jawa campur bahasa Indonesia," jelas Ujang, yang telah ikut lelang selama 20 tahun. "Saya awalnya juga tidak mengerti."

Dari keranjang ke keranjang, Haji Aban mengendalikan lelang. Para bakul mengerubutinya, mengikutinya. Tanda sepakat antara pejabat lelang dengan bakul melalui bahasa tubuh: melambaikan tangan, mengangguk atau sekadar tatapan mata.

Ikan-ikan yang telah terjual diberi catatan; keranjangnya digulingkan. Ikan-ikan bergelimpangan. Pekerja yang membantu bakul lantas mengusungnya. Hingga tengah hari, suara berat Haji Aban masih membahana dari pelantam.

"Para bakul itu yang akan memasarkan ke luar, bisa ke Jakarta, ke Karawang. Bahkan ada yang ke luar Jawa, seperti Lampung," tutur Hajah Atinah Kurniasih, Ketua KUD Mina Fajar Sidik.

Rupa-rupa hasil laut yang dilelang untuk memasok berbagai kebutuhan. "Cumi-cumi kualitas ekspor akan diolah di pabrik dan diekspor. Ada juga bakul yang mengolah dulu, baru dikirim ke restoran," imbuh Atinah, yang suaranya bersaing dengan pelelang.

Sedikitnya 500 nelayan lokal menjadi anggota koperasi, ungkap Atinah, "Yang aktif sekitar 200." Selain nelayan Blanakan, koperasi yang berdiri sejak 1958 ini juga menerima nelayan dari luar. "Yang menjadi anggota koperasi harus berdomisili di Blanakan, tapi nelayan luar bisa menjual ikannya di sini."

Pasirputih dalam sunyi. Sungai muara ini terhimpit perahu-perahu nelayan. Inilah kehidupan nelayan kita di pesisir Karawang, Jawa Barat. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Perputaran uang sangat ditentukan oleh musim dan hasil laut yang dilelang. "Tidak bisa ditentukan, sangat tergantung pada hasil laut dan lelang. Para bakul itulah yang menentukan, juga tergantung pada alat jaring yang dipakai nelayan, dan jenis ikan."

Pada saat cuaca normal, dia mengimbuhkan, sehari lelang bisa mencapai sekurangnya Rp100 juta. Dari hasil lelang, Mina Fajar Sidik menyumbangkan pendapatan ke pemerintah daerah melalui retribusi.

"Retribusinya sekitar 1,8 persen dari hasil produksi per bulan," tutur Atinah, "itu belum pemasukan dari biaya operasional tempat pelelangan per tiga tahun. Jadi tempat lelang ini ada biayanya."