Nationalgeographic.co.id - Kala mengunjungi Kota Lama Tanjungbalai di Pulau Karimun, Propinsi Kepulauan Riau, kita akan disuguhi pemandangan bangunan lawas dan suasana ‘waktu seolah berhenti’ yang sangat kental.
Bangunan ‘heritage’ era kolonial yang bernuansa Eropa–Tionghoa–Melayu menjadi pemandangan indah karena sebagian besar bangunan masih lestari walaupun terhimpit oleh bangunan baru pengganti rumah kuno yang telah lapuk dimakan usia.
Menyusuri kota lama tak hanya berarti menikmati sejarah kota dan bangunan kuno, kita tentu akan tergoda untuk memasuki kedai-kedai kopi yang tersebar sepanjang kawasan tersebut, terutama di Jalan Trikora dan Jalan Nusantara.
Ada sekitar 12 kedai kopi lawas yang berdiri sejak pertengahan abad 20, seperti kedai kopi Siang Hwa, kedai kopi Botan, kedai kopi Selamat, kedai kopi Aguan, kedai kopi Cirebon, dan lainnya. Sisanya, kedai kopi yang baru saja beroperasi.
Baca Juga : Keindahan Wae Rebo, Desa di Tengah Pegunungan
Melihat penamaan kedai kopi dalam bahasa dialek, warga etnis Tionghoa banyak menyebut penggunaan kopitiam. Namun dalam aksaranya, mereka menggunakan beberapa jenis, yakni ‘ka fei dian’ (kedai kopi) dan ‘cha shi’ (kedai teh). Konon budaya kedai kopi lebih banyak dibawa ke Karimun oleh orang Hailam (orang Tionghoa dari Malaysia) pada awal abad 20.
Salah satu kedai kopi tertua di kota lama Tanjungbalai adalah Kedai Kopi Botan, yang terletak di Jalan Trikora simpang empat, dekat Pelabuhan Tanjungbalai Karimun.
Saya berjumpa dengan pemiliknya, Dudy Hartono yang lahir di Tanjungbalai 81 tahun silam. Ia mewarisi usaha kedai kopi yang dibangun ayahnya pada tahun 1944.
Pada tahun 1954 ayahnya meninggal, dan Dudy Hartono baru memegang penuh operasional kedai kopi pada tahun 1979. Sejatinya sebelum nama Botan terlanjur tenar, rumah kedai kopi tersebut memiliki nama Toko Simpang Jaya. Namun apa boleh buat, nama Botanlah yang menjadi ciri kedai milik Dudy Hartono yang memiliki nama Tionghoa, Liu Pok Siang.
“Dulu tempat ini, seluas ini terbagi dua ada tempat bilyar dan kedai kopi,” ujar Akong Dudy—saya memanggilnya Akong (kakek). Ia mengaku mengganti nama pemberian orang tuanya pada tahun 1963 saat usianya 18 tahun untuk untuk membuat Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) menjadi Dudy Hartono.
“Mau masuk WNI (warga negara Indonesia), Akong lahir di sini la,” ujar bapak empat anak ini dengan logat khas Tionghoa Melayu Tanjungbalai itu.
Saya sempat bertanya tentang asal usul nama Botan. Ia sempat tertawa sambil menggeser letak kacamata yang bertengger di hidungnya.
“Dulu ada orang main bilyar di sini tanya nama. Nama saya sebut Pok Siang, dia bilang Botan, dia panggil Botan. Johan orangnya, sudah meninggal 2 tahun lalu,” ujar Akong Botan – belakangan saya turut memanggilnya Akong Botan.
“Kalau tak kenal Botan, berarti bukan orang sini,” kata Akong tergelak bersama menantunya, Elsye. Elsye menambahkan,”Ini nama tokonya kan Simpang Jaya. Tapi tak ada yang kenal kalau sebut Toko Simpang Jaya. Semua taunya Botan.” Ia pun menambahkan informasi bawa nama kedai berevolusi memiliki nama Sejahtera, Simpang Jaya, hingga kini dikenal dengan nama kedai kopi Botan.
Kedai Kopi Botan rupanya buka mulai pukul 04.45 pagi hingga pukul 13.30 siang.
“Kedai buka pagi, kebanyak tamu warga yang habis shalat. Ada dua masjid dekat sini, jadi ramai kalau pagi,” ujar Elsye. Lebih lanjut ia menambahkan,” siang jam satu itu sudah siap-siap bersih-bersih tutup, tapi kalau ada tamu yang beri kabar mau datang ya bisa tunggu.”
Baca Juga : Melihat Rumah Adat dan Kain Tenun Khas Kampung Adat Prailiu
Istimewanya, peramu kopi untuk pelanggan yang datang adalah istri Akong Botan—Analisa yang lahir 51 tahun silam, saya memanggilnya Ama (nenek). Ia bergantian dengan anak lelakinya yang dipanggil Willy untuk meracik aneka pesanan para tamu, seperti kopi kosong (kopi tanpa gula), kopi 0 (kopi dengan sedikit gula), dan kopi susu di dapurnya yang berkeramik dengan cita rasa klasik.
Peralatan pembuatan kopi pun khas kopitiam, dengan ceret leher tinggi, dengan mulutnya yang panjang. Tak lupa ada saringan khasnya. Ama rupanya belajar meracik kopi secara autodidak.
“Dulu ada Ama ya Emak, ada adek dulu kan belum nikah. Lihat emak dulu bikin. Saya dulu rumah tak di sini. Ini dulu rumah kayu belum begini, kalau angin datang dia bisa goyang-goyang,” katanya sambil tersenyum. “Adek nikah, saya ke sini. Ini tahun delapan anam baru bangun begini,” kata Ama. Ia tampak sangat piawai menuangkan air kopi panas ke dalam cangkir dan gelas-gelas, sambil sesekali memanggil pelayannya jika racikannya telah siap.
Tempat gulanya yang berupa ‘gentong kecil’ terletak di area tempat Ama menuangkan kopi, ‘gentong’ keramik Tiongkok yang cukup tua. Dari pukul 06.00 pagi sampai jelang jam kantor dimulai, tingkat kesibukan di dapur kedai makin meninggi.
Lima orang pelayannya hilir mudik bergantian melayani tamu. Harga per cangkir kopi hitam di sana adalah Rp5.000, harga per gelasnya Rp7.000. Sedangkan harga secangkir kopi susu Rp6.000 dan per gelasnya Rp8.000. Tak hanya kopi, menu sarapannya pun tersedia, dan tentunya menu klasik.
Menu sarapan yang dipilih pengunjung biasanya roti goreng biasa (dengan olesan selai kaya/serikaya buatan kedai), roti bakar biasa, atau keju. Untuk roti goreng dan roti bakar biasa harganya Rp8.000, sedangkan untuk roti keju harganya Rp14.000.
Sarapan roti srikaya biasanya ditemani oleh dua butir telur setengah matang yang dapat dicampur dengan kecap asin atau merica. Menjadi cocolan yang ciamik untuk roti srikaya. Oiya, mereka juga menjual selai srikaya dalam kemasan dengan harga Rp15.000 hingga Rp60.000.
Cara menikmati roti bakar dan telur setengah matang ala warga Kepulauan Riau yang unik adalah dengan menorehkan selai kaya pada roti, lalu mencelupkan roti ke dalam adukan telur setengah matang. Jangan lupa campurkan juga kecap asin dan merica.
Juara! Gurih, asin, pedas lada bercampur dengan rasa manis srikaya dan kenyalnya roti bakar atau goreng. Lupakan diet karbo dan gula kali ini. Apalagi di kedai ini juga tersedia lontong sayur ‘favorit Balai’ yang diracik oleh Ibu Sumini dengan harga Rp12.000. Sedap betul! Selamat ngopi!
Baca Juga : Tanah Turun 25 Sentimeter Per Tahun, Ibu Kota Iran Akan Segera Tenggelam?
Kalau Anda sempat menikmati sarapan pagi di kedai ini, Anda akan menjumpai banyak pelanggan beraneka etnis, profesi dan usia. Karyawa swasta, pegawai pelabuhan, pegawai negeri seperti polisi dan lainnya, ibu rumah tangga, anak muda, siswa yang bersiap ke sekolah bersama orangtuanya, juga para tentara terutama tentara angkatan laut yang berkantor di dekat kedai.
Belum lagi musim ramai pada akhir pekan, mereka juga sering kedatangan tamu dari Singapura dan Malaysia, mengingat jarak tempuh dari pelabuhan di Singapura dan Malaysia (Johor) yang hanya memerlukan waktu sekitar 1 jam 30 menit saja untuk tiba di Tanjungbalai dengan menggunakan kapal feri.
Nah, seru kan? Selamat mencecapi hidangan di kedai kopi legendaris ini!
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR