Nationalgeographic.co.id - Evolusi bahasa mengubah kera-kera telanjang yang tidak berdaya menjadi suatu kekuatan yang mendominasi dunia. Evolusi bahasa secara mendasar mengubah cara manusia mengirimkan informasi dan pengetahuan.
Bagian terpenting dari bahasa adalah kemampuan untuk berkomunikasi tentang hal-hal yang tidak ada, yang terjadi di masa lalu, atau yang akan terjadi di masa depan. Fitur dalam bahasa ini dikenal sebagai “referen atau acuan yang dipindahkan (displaced reference)”.
Baca Juga : Demi Foto Selfie Pengunjung, Lumba-lumba Dipaksa Naik ke Daratan
Referen yang dipindahkan umum dalam bahasa-bahasa di seluruh dunia dan kita mengalaminya dalam hidup sehari-hari. Bahkan, kini kita jarang berbicara mengenai momen yang sedang terjadi, kecuali pada saat-saat tertentu seperti ketika kita berkomentar tentang cuaca, meminta garam di atas meja makan, atau berbicara dengan anak-anak yang sangat muda.
Referen yang dipindahkan melepaskan belenggu pembicara dari masa sekarang. Dengan demikian, besarnya informasi yang tersedia bagi individu (atau spesies) yang memiliki kemampuan displaced reference menjadi jauh lebih besar daripada individu (atau spesies) yang benar-benar tinggal di “di sini, sekarang” - yang merupakan bagian terbesar dari kerajaan hewan kera.
Sejauh ini, selain manusia, hanya serangga sosial (seperti semut, lebah, rayap, dan tawon) yang memiliki kemampuan displaced reference. Sungguh luar biasa bagaimana lebah madu (dan otak kecil mereka) dapat berkomunikasi dengan lebah lain dalam sarang, tentang, misalnya, lokasi sumber makanan yang jauh.
Penemuan fakta ini menerima Hadiah Nobel dalam Fisiologi dan Kedokteran untuk Karl von Frisch pada 1973. Referen yang dipindahkan dalam serangga sosial memunculkan banyak pertanyaan menarik–yang belum terjawab–tentang kecerdasan hewan dan apa sistem kecerdasan minimal untuk kapasitas kognitif tertentu.
Namun, secara biologis, lebah dan serangga lain jauh dari manusia dan tidak banyak memberi petunjuk tentang bagaimana evolusi bahasa telah berperan di antara leluhur kita. Para ilmuwan benar-benar tidak memiliki petunjuk tentang bagaimana kapasitas ini terjadi pada manusia karena kurangnya contoh pada vertebrata, mamalia, atau primata non-manusia, termasuk kera besar–kerabat terdekat kita. Namun orang utan liar memberikan potongan puzzle terhadap teka-teki evolusi bahasa.
Di hutan hujan pegunungan rendah Sumatra tim kami mensimulasikan suatu pertemuan alami dengan pemangsa untuk mempelajari respons vokal dari orang utan liar betina. Kami melakukan simulasi ini dengan menempatkan seorang peneliti manusia untuk menyamar sebagai kucing hutan dan merangkak melintasi dasar hutan di depan orang utan betina.
Kami mengamati bahwa, meski menunjukkan segala jenis stres (termasuk buang air kecil dan besar), orang utan betina menahan diri untuk tidak merespons secara vokal terhadap “pemangsa”. Sebagai gantinya, mereka menunggu hingga 20 menit untuk mengkomunikasikan kekhawatiran mereka kepada anak-anak mereka, lama setelah predator meninggalkan tempat kejadian. Dalam beberapa percobaan ada penundaan rata-rata tujuh menit sebelum orang utan betina secara vokal mengekspresikan kegelisahan mereka.
Data ini (dan pengetahuan umum sederhana jika kita membayangkan diri kita berhadapan dengan harimau Sumatra liar!) menunjukkan bahwa menanggapi secara vokal di hadapan pemangsa akan menjadi risiko besar bagi keselamatan orangutan. Jika betina itu segera merespons dengan mengeluarkan peringatan, pemangsa bisa mendeteksi mereka dan mungkin mencoba menyerang, terutama terhadap bayi orang utan.
Sebagai gantinya, para ibu ini menunggu cukup banyak waktu sebelum memberi tanda vokal tentang bahaya yang kini telah berlalu. Maka, pertanyaan yang muncul dalam pikiran adalah: mengapa para betina memberi tanda kekhawatiran mereka sama sekali? Jika mereka tidak merespons secara vokal pun, mereka tidak akan menghadapi bahaya sama sekali, kan?
Tidak diragukan lagi itu benar; tapi jika para ibu ini tidak mengekspresikan kekhawatiran mereka, bayi mereka akan tetap tidak menyadari salah satu bahaya paling mematikan di hutan hujan tersebut. Sebaliknya, betina menunggu cukup lama sampai aman untuk bersuara, tapi tidak terlalu lama sampai bayi mereka tidak bisa menghubungkan kesulitan vokal ibu mereka dengan apa yang baru saja terjadi, dan memahami bahwa itu sangat berbahaya. Orang utan betina sedang mengajar anak-anak mereka tentang bahaya di hutan dengan merujuk pada sesuatu yang telah terjadi di masa lalu (yang baru terjadi).
Pada 1970-an, upaya awal untuk melepaskan orangutan yang diselamatkan dan memperkenalkan kembali mereka ke hutan yang sama gagal total. Hampir semua hewan yang dilepaskan menjadi mangsa kucing hutan, pada dasarnya karena kurangnya pengetahuan tentang kelangsungan hidup di hutan hujan.
Bayi orang utan tinggal bersama ibu mereka selama anak-anak manusia tinggal bersama ibu mereka. Telah ditunjukkan bahwa periode yang sangat panjang ini memastikan bahwa para ibu mewariskan berbagai pengetahuan, keterampilan, dan alat kepada anak-anak mereka. Temuan baru kami menunjukkan bahwa pengajaran tentang pemangsa adalah aspek penting dari ini.
Baca Juga : Selain di Selat Sunda, Tsunami 'Senyap' Juga Pernah Terjadi di Nusa Tenggara
Melebarkan temuan ini ke evolusi bahasa manusia, orangutan mencontohkan bagaimana nenek moyang kita mungkin berkomunikasi melampaui masa kini dan sekarang tentang masa lalu, dan mungkin masa depan, bahkan sebelum mereka mengucapkan kata pertama mereka. Bersama dengan banyak bukti, kera besar membantu para ilmuwan membangun gambaran yang lebih jelas tentang leluhur kuno kita saat mereka bergerak menuju bahasa yang lengkap.
Dengan menunjukkan kepada kita bahwa kita, bagaimana pun juga, tidak begitu berbeda dari mereka, kera besar membantu kita belajar dari mana kita berasal, menentukan siapa kita dan, semoga, memutuskan ke mana kita akan pergi sebagai pelayan cerdas dari planet kita yang berharga.
Artikel ini diterjemahkan dari edisi Bahasa Inggris oleh Ahmad Nurhasim.
Adriano Reis e Lameira, Marie Curie Fellow, School of Psychology and Neuroscience, University of St Andrews
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR