Nationalgeographic.co.id - Ketika seseorang merasa lapar, biasanya ia akan melakukan "balas dendam" dengan mengonsumsi makanan dalam jumlah banyak. Padahal, menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti University of Sheffied, rasa lapar tidak selalu berkaitan dengan jumlah makanan yang kita konsumsi.
Penelitian yang ditayangkan dalam jurnal Critical Review in Food Science and Nutrition, tim peneliti melihat 462 penelitian terkait jumlah konsumsi kalori dan nafsu makan. Tim peneliti menemukan bahwa 225 penelitian (48,7 persen) menunjukkan adanya hubungan antara rasa lapar dan jumlah kalori yang dikonsumsi, sedangkan 237 penelitian yang tersisa (51,3 persen) tidak menunjukkan adanya hubungan tersebut.
Baca Juga : Peristiwa Sejarah Bertepatan dengan Perubahan Iklim, Saling Berkaitan?
Penulis utama penelitian, Bernard Corfe, mengatakan bahwa untuk menjelaskan rasa lapar adalah hal yang rumit, tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. “Wilayah sensorik sangat mudah terpicu dengan visual dan penciuman dari segala jenis makanan,” katanya. “Industri makanan saat ini dikotori dengan produk yang dipasarkan atas dasar nafsu makan pada produk makan mereka.”
Aroma pizza tetap membuat Anda merasa lapar, meskipun Anda sudah menyantap makanan yang kaya akan serat dan protein, atau pun segenggam kacang almond. Wangi sebuah coffee shop juga tetap dapat menggiring langkah Anda masuk ke dalam, walaupun perut masih dalam keadaan penuh.
Bedakan lapar fisik dan lapar emosi
Sebuah pandangan lain mengenai rasa lapar datang dengan dasar bahwa rasa lapar juga bisa dipicu oleh emosi. Bukan karena kita lapar secara fisik, atau ketiga perut dalam keadaan kosong.
Sebagian orang memilih—tanpa sadar—makan untuk menghilangkan stres, rasa bosan, atau hanya formalitas sebagai pelengkap kegiatan menonton. Nah, hal inilah yang disebut sebagai emotional eating, dorongan makan yang muncul untuk memenuhi kebutuhan emosi, bukan untuk memenuhi kebutuhan fisik.
Memilih makanan sebagai alasan untuk membuat perasaan menjadi lebih bahagia, atau menghilangkan kebosanan memang baik. Namun, jika kita menggunakan makanan sebagai jalan keluar dari masalah kita, hati-hati, kita akan terperangkap dalam siklus emotional eating yang tidak sehat, seperti yang dijelaskan oleh Naomi Ernawati Lestari, S.Psi., M.Psi, psikolog di Light House Indonesia.
Lantas, bagaimana cara kita membedakannya? Lapar emosi biasanya muncul secara tiba-tiba. Misalnya, hanya karena sedang melewati sebuah kafe, kemudian muncul dorongan ingin makan di sana. Rasa ingin makan dan lapar emosi itu ingin dipenuhi sesegera mungkin.
Ingat-ingat, apakah kita sering beralasan sedang ngidam saat ingin makan sesuatu padahal kita tidak dalam kondisi hamil? Itulah salah satu tanda lapar emosi.
Baca Juga : Sembilan Bagian Tubuh yang Tak Lagi Dibutuhkan Manusia Saat Ini
Sialnya, setelah kita membeli makanan atau minuman tersebut dan mengonsumsinya, kita tetap merasa ingin membeli makanan yang lain. Alhasil, lapar emosi pun membawa dampak perasaan bersalah.
Berbeda dengan lapar fisik yang muncul secara bertahap dan masih bisa ditahan, kita akan makan makanan yang memang menurut kita mengenyangkan. Kita juga mengontrol porsi sesuai kebutuhan kita, dan akan berhenti makan bila merasa lapar. Selain itu, lapar fisik juga tidak membuat kita merasa menyesal karena makan.
Source | : | Berbagai Sumber |
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR