Nationalgeographic.co.id - “Mistel… mistel… mistel..!” Saya segera mengedarkan pandangan ke segala arah. Rupanya panggilan tersebut berasal dari bocah yang berdiri di pintu rumahnya. Anak-anak lainnya juga mengelu-elukan kami dengan panggilan “mister”.
Sapaan itu seharusnya ditujukan untuk pejalan mancanegara, bukan kepada kami. Saya bersama puluhan peserta Jelajah Sepeda Flores-Timor, semuanya asal Nusantara—hanya ada dua peserta bule.
Banyak pejalan mancanegara yang kerap melintasi Jalan Trans-Flores. Mereka menjelajahi dengan mobil, motor, bahkan sepeda.
Saat mengawali kayuhan dari Labuanbajo, saya bertemu dengan sepasang pesepeda asal Jerman yang juga baru memulai penjelajahannya di Flores. Pulau ini kian sohor untuk berkereta angin setelah ajang balap sepeda Tour de Flores, yang diikuti peserta dari belasan negara. Bisa jadi, itulah yang menyebabkan anak-anak menyapa kami dengan sebutan mister.
Baca Juga : Senyawa Plastik Ditemukan Pada Telur Burung di Pedalaman Arktika
Dari halaman rumahnya, seorang mama berteriak kepada kami karena keheranan mendengar sebutan itu.
“Makan apa kau?” ujar si mama.
“Makan singkong sama ubi, Mama!” kelakar Rokhmat, salah seorang marshall dalam jelajah sepeda ini.
“Masih orang kita rupanya, bukan mister,” sahut si mama. Kemudian dia menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa kita sama-sama orang Indonesia.
Bukan hanya anak-anak, tetapi remaja, pemuda, dan orang tua juga menyapa kami dengan hangat. Biasanya warga menyapa dengan pekik “selamat pagi”, “selamat siang,” atau “selamat sore,” sesuai waktu perjumpaan. Ada juga yang menyapa, “Hati-hati di jalan, Oom. Semoga selamat sampai tujuan!”
Saya mengayuh sembari berjuang di lintasan menanjak menuju Kelimutu. Saat itu bersamaan dengan perayaan 17 Agustus, yang merupakan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Pekik “Merdeka!” menjadi warna sapaan yang akrab di kuping hingga kami tiba di Larantuka pada dua hari kemudian. Warga berdiri di tepian jalan untuk menyambut kami. Mereka melambaikan tangan kepada kami seraya berseru, “Merdeka! Merdeka!”—kami bak pejuang yang pulang dari kejayaan perang.
Baca Juga : Habitatnya Terganggu, Kawanan Gajah Liar Serang Permukiman Warga
Kami menerima sambutan yang bukan hanya sapaan. Saat pesepeda menumpang makan siang di halaman rumah warga Manggarai Timur, datang seorang ibu sambil mengantar beberapa gelas kopi dalam nampan. Tiga kali si ibu mondar-mandir mengantar wedang buat kami.
“Orang Flores seram di luar tapi dalamnya baik hati,” ucap Dani, warga Labuanbajo yang menjadi tim pendukung dalam jelajah sepeda ini. Kami berbincang tentang semangat warga dalam menyapa para pesepeda di sepanjang jalan.
Tetapi ada saatnya maksud baik warga malah mengendurkan semangat. Saat kami menuju Kota Ende, seorang warga berseru hingga dua kali, “Ayo semangat, kota tinggal tiga kilo lagi!” Langit mulai menggelap malam, kami menjadi rombongan peserta paling belakang. Tomi Pratomo, yang sudah berkali-kali mengikuti Jelajah Sepeda, melihat GPS-nya sembari menggerutu, “Ah, bohong bapak itu di GPS masih sembilan kilometer lagi kok.”
Saat kami melahap tanjakan panjang, sering pengendara sepeda motor mengabarkan tak jauh lagi di depan jalan akan menurun. Pada kenyataannya, jalan menanjaknya masih panjang terbentang. Bagi sanubari-sanubari yang lelah, harapan itu menurunkan moral alih-alih membuat semangat. “Kalau penduduk bilang sudah dekat, aku ga mau percaya lagi,” tutur Rokhmat.
Baca Juga : Morandi, Pria yang Hidup Sendiri Selama 29 Tahun di Pulau 'Surga'
“Rute kita akan menanjak ke ketinggian 800 meter, lalu turun ke ketinggian 200 meter, kemudian naik lagi ke ketinggian 1.200 meter,” ucap Marta Mufreni selaku Road Captain Jelajah Sepeda Flores Timor. Dia menjelaskan kondisi medan etape pertama dari Labuanbajo, Kabupaten Manggarai Barat, menuju Ruteng, Kabupaten Manggarai. Jarak terbentang sejauh 128 kilometer. “Perkiraan saya akan ada tiga kelompok sesuai dengan kekuatan masing-masing pesepeda dan ini akan jadi patokan di etape selanjutnya,” imbuhnya.
Benar saja. Begitu keluar dari Pelabuhan Labuanbajo tanjakan sudah menanti di depan. Pada 20 kilometer pertama, tanjakan masih cukup landai. Selepas itu tanjakan mulai curam. Di Desa Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, jalan sudah mulai berkelok-kelok. Akibatnya, beberapa peserta memutuskan untuk dievakuasi. Sementara, peserta lain masih terus menikmati kelokan-kelokan jalan Trans-Flores sampai puncak bukit di Desa Golo Desat. Di sini kami mengaso untuk santap siang.
Rombongan terbagi tiga. Saya berada di rombongan paling belakang, tiba setelah tengah hari. Sementara rombongan paling depan sudah gowes lagi sekitar satu jam lalu dan disusul rombongan kedua yang berangkat pada setengah jam lalu. Selepas makan siang, pesepeda yang dalam perjalanan sebelumnya dievakuasi, kini melanjutkan bersepeda. Kami bersama-sama meniti jalan menurun menuju Lembor.
Setelah menelan turunan sejauh 22 kilometer, kami memasuki Desa Siru yang berpanorama dataran persawahan nan luas. Kendati dataran melandai, kayuhan sepeda kami tidak serta merta menjadi ringan. Pasalnya, angin berembus kencang dari depan dan samping sehingga membuat perjalanan serasa menanjak.
Hari sudah semakin sore, namun jarak yang kami tempuh baru setengahnya. Tanjakan panjang tak berkesudahan menanti kami semenjak ketinggian 400 sampai 1.200 meter. Selepas menempuhnya, sebagian besar peserta berhenti di SPBU di Desa Daleng, Lembor. Atas alasan waktu, jarak, dan kondisi medan yang berat, rombongan kami memutuskan untuk dievakuasi menuju ke Ruteng. Tidak semua peserta dievakuasi, rombongan pesepeda paling depan dapat melahap rute berat ini hingga Ruteng.
“Ini jelajah paling berat, lebih berat dari jelajah sepeda Sulawesi,” ucap Octovianus Noya, kawan peserta dari Jakarta. Peserta lain juga mengamini pernyataan Oom Octo, sapaan akrabnya. Dia menyarankan, “Lain kali kalo Kompas ngadain jelajah sepeda ke Flores lagi, rute ini dibagi dua ya.”
Baca Juga : Coral Triangle, Ibu Kota Kehidupan Para Makhluk Laut di Asia
Di etape-etape berikutnya, tanjakan panjang dan turunan panjang menyambut silih berganti. Begitu juga dengan jurang yang dalam dan tebing yang terjal di kiri kanannya. Walau tanjakan dan turunan ini sudah diperhalus dengan ribuan kelokan, tetap saja masih terasa berat. Secara fisiografi, Pulau Flores merupakan wilayah pegunungan vulkanik. Ada kawasan dataran rendah, namun tak terlalu luas. Dan, persawahan di Lembor adalah dataran paling luas yang kami lewati sepanjang perjalanan bersepeda di Flores.
Turunan panjang dengan kelokan tajam dan berpasir di etape kedua malah memakan korban tiga pesepeda. Tepatnya, perlintasan dari Ruteng menuju Kampung Bena, Kabupaten Ngada. Dua orang mengalami lecet di dengkul. Seorang lagi menjadi korban yang paling parah, namanya Intan Ungaling. Dengkul, siku, dan kepalanya terluka. Perempuan malang itu diganjar empat jahitan untuk menutup luka di kepalanya.
Bentang alam yang saya saksikan selama menempuh medan berat ini sungguh sebanding—bahkan bisa dibilang melebihi. Ketika saya melewati kawasan konservasi Taman Wisata Alam Ruteng di Kabupaten Manggarai Timur, cecuitan burung-burung menyemangati perjalanan kami. Johannes Harwanto, dari komunitas Ancol Cycling Team, berujar, “Mendengar kicauan burung di gunung-gunung itu membuat saya merinding.”
Kami menyongsong matahari terbit dan merayakan Hari Kemerdekaan Republik di puncak Kelimutu, yang terkenal dengan danau tiga warnanya. Ini pengalaman paling berkesan buat saya dan puluhan peserta lainnya. Merinding bulu kuduk saat mendengar alunan Indonesia Raya dan pekikan merdeka yang membahana dari puluhan peserta di puncak Kelimutu.
Pantai-pantai yang kami lintasi sungguh istimewa. Sehamparan pantai di Nangapanda, Kabupaten Ende, telah menawan hati para pesepeda. Mereka rela berhenti sejenak berfoto dengan hamparan batu hijaunya.
Pantai Koka di Desa Wolowiro, Kabupaten Sikka, tak kalah memukau. Di pantai ini terdapat dua teluk kecil yang dipisahkan sebuah bukit. Kedua pantai ini memiliki pasir putih yang halus dengan air yang jernih. Kami bersantap siang dan berlama-lama menikmati kemolekan pantai ini.
Panorama yang tak kalah indah adalah Teluk Konga di Kabupaten Flores Timur. Kami memutari teluk ini saat perjalanan dari Maumere menuju Larantuka. Pesepeda banyak yang mengabadikan kegenitan Teluk Tonga dari arah selatan, barat, dan utara.
“Selama mengikuti beberapa kali jelajah sepeda Kompas sepertinya pulau Flores paling berkesan,” ujar Dimas Basudewo. “View yang indah!” Sepanjang perjalanan, Dimas merasakan kehangatan warga. “Dari mulai numpang istirahat malah dibuatkan kopi, mau membeli makanan di warung malah disuruh makan masakan yang mereka buat.”
Dimas telah menjajal Jelajah Sepeda Bali-Komodo dan Jelajah Sepeda Banjarmasin Balikpapan. “Kadang sampe capek untuk menjawab salam atau pertanyaan dari mereka ketika di perjalanan.”
Kami menyeberang selat untuk menapaki Nusa Cendana, Timor. Dari Kupang, perjalanan panjang masih terbentang dalam panggangan sinar matahari sejauh 343 kilometer, hingga Atambua. Jelajah Sepeda Flores-Timor merupakan petualangan sepeda kesembilan yang sudah diadakan oleh harian Kompas. Pesertanya orang-orang profesional—pengusaha, karyawan swasta, jurnalis, dosen, hingga polisi—yang semuanya disatukan dalam hobi bersepeda. “Kami sudah jelajahi Sabang sampai Merauke. Itu wujud di mana kami mengenal Tanah Air lebih kuat,” ucap Budiman Tanuredjo, Pemimpin Redaksi Kompas.
Baca Juga : Ingin Menurunkan Berat Badan? Konsumsi Saja 5 Jenis Teh Berikut Ini
Saat tiba di Jakarta kami masih saling bercerita tentang pengalaman bersepeda di Flores. Keramahan penduduk dan keindahan alam Pulau Flores memang memberi kesan cukup dalam bagi kami semua.
Ketika berbagi cerita dengan Ismet, yang pernah bersepeda seorang diri menjelajahi Pulau Flores, dia berkata, “Kalau mau ngeliat Indonesia yang sebenarnya ya Flores itu.”
Penulis | : | Warsono |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR