Nationalgeographic.co.id - Bulan Februari memasuki hari-hari terakhirnya. Bagi Anda yang menyadarinya, bulan Februari di tahun 2019 ini terasa tidak lengkap. Bila Anda berpikir bahwa karena tahun ini adalah bukan tahun kabisat sehingga Februari hanya memiliki 28 hari, Anda benar!
Bulan ini hanya berakhir pada tanggal 28. Lantas apa istimewanya tanggal 29 Februari yang "hilang" tahun ini? Untuk mengetahui keistimewaannya, ada baiknya kita terlebih dahulu tahu sejak kapan ia ada.
Munculnya tanggal 29 Februari berkaitan dengan perjalanan manusia memahami pergerakan benda-benda langit saat itu yang menjadi acuan serta waktu.
Baca Juga : Mengapa Kita Cenderung Ingin Mendengarkan Lagu Galau Ketika Sedih?
Peradaban Sumeria memiliki kalender sederhana. Dalam satu tahun terdiri dari 360 hari dan setiap bulan terdiri atas jumlah hari yang sama, yakni 30 hari. Sistem kalender Sumeria itu kemudian diadopsi oleh Mesir Kuno.
Seiring dengan perjalanan waktu, masyarakat Mesir Kuno menyadari adanya kesalahan dalam sistem penanggalan Sumeria. Lantas mereka menambahkan lima hari dalam satu tahunnya, sehingga dalam satu tahun berjumlah 365 hari.
Ribuan tahun setelah sistem penanggalan ini berubah, Kaisar Julius Caesar pun menemukan ada hal yang kurang tepat. Dugaan ini berawal dari perayaan Natal pada tanggal 25 Desember, tanggal yang sama dengan tanggal kelahiran Dewa Matahari.
Saat itu tanggal 25 Desember juga menandakan posisi Matahari yang berada pada titik paling selatan, yakni 23,5 derajat Lintang Selatan—dikenal dengan sebutan equinox.
Lambat laun equinox pun bergeser pada tanggal 21 Desember, artinya perayaan Natal pun ikut bergeser. Hal ini kemudian menandakan adanya ketidaksesuaian penanggalan dengan pergerakan benda-benda langit.
Baca Juga : Mengapa Orang Percaya dengan Kekuatan Gaib? Ini Penjelasan Ilmiahnya
Julius Caesar pun memerintahkan astronom kerajaan, Sosigenes untuk menyelesaikan pergeseran tersebut.
Kemudian pada tahun 45, Sosigenes pun mengusulkan penambahan satu hari pada bulan Februari. "Sejak saat itu, ada tanggal 29 Februari," ucap Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin. dikutip dari Kompas.com, Senin, 25/2/2019.
Sistem penanggalan yang sudah diperbaiki ini, dengan bulan Februari yang berjumlah 29 hari pun diberi nama tahun kabisat.
Kembali berubah pada masa Kaisar Gregorius
Astronom kaisar Gregorius menemukan bahwa equinox mengalami pergeseran jauh, dari awalnya pada tanggal 21 Desember menjadi tanggal 10 Maret. Kaisar pun meminta untuk mengembalikan equinox pada tangal 21 Desember.
Pergeseran itu terjadi karena penambahan hari pada bulan Februari berlebihan. Dalam kalender Julius, satu tahun dihitung 365,25 hari. Hal ini kemudian dinilai tidak cukup akurat karena satu tahun yang sebenarnya dihitung sebagai 365,242 hari.
Baca Juga : Meski Menakutkan, Film Horor Ternyata Memiliki Manfaat Bagi Tubuh
Kalender Julius ternyata terpaut 0,058 hari lebih panjang. Selisih itu yang kemudian terakumulasi selama ribuan tahun hingga menggeser waktu equinox.
Untuk mengatasi hal itu, kriteria tahun kabisat pun diubah. "Dalam kalender Gregorian, kriteria tahun kabisat bukan hanya empat tahun sekali," kata Thomas. Untuk tahun pergantian abad, seperti 1700, 1800, 1900, dan 2000, ada tambahan kriteria. Bilangan tahun tersebut harus habis dibagi 400. Sehingga, tahun 1700, 1800, dan 1900 bukan tahun kabisat. Tahun 1600 dan 2000 adalah tahun kabisat.
"Penyesuaian itu untuk menghapus kelebihan 0,058 yang terjadi setiap tahun," tambah Thomas.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR