Kelak, perempuan penerima bingkisan kotak perhiasan itu dikenal sebagai Marie Abendanon, yang wafat dalam usia 90 tahun pada 1971. Lewat surat-menyurat, tampaknya hubungan emosional keluarga Abendanon dan keluarga Kartini begitu dekat. Dia memandang Nyonya Abendanon sebagai sahabat, sekaligus sosok ibu baginya dan bagi adik-adiknya. Perempuan itu merupakan istri dari Jacques Henri Abendanon, seorang Direktur Kementerian Pengajaran, Ibadat, dan Kerajinan di Hindia Belanda.
Baca Juga : Bukan Hotel, Bangunan Megah dan Mewah Ini Ternyata Stasiun Kereta Bawah Tanah
Pada 21 September 1901, Kartini menulis kepada Nyonya Abendanon. Berikut ini kutipan bagian paragraf pertamanya, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
“Kami memastikan bahwa kotak perhiasan untuk calon menantu perempuan Anda—putri pertama Anda—akan segera rampung! Kita akan memiliki kotak perhiasan yang diukir dengan beberapa tokoh wayang—sebuah cerita wayang di bagian tutup dan setiap sisi layaknya kotak bagi sang Ratu. Menarik bukan? Bukankah akan lebih elok apabila berukirkan 'Marie' yang ditulis dalam aksara Jawa? Selain kian bergaya, nama calon putri Anda pun kelak akan kekal.”
Percakapan berlanjut pada surat yang ditulisnya pada 10 Januari 1902, “Saya pikir sangat membanggakan apabila Anda menyukai kotaknya. Saya mengerjakannya dengan cinta dan, sejujurnya, juga dengan sedikit rasa sedih karena membayangkan perempuan yang kelak memiliki kotak cantik ini dan pasangannya yang berbahagia, sementara saya tetap duduk sembari bekerja beralaskan tikar.”
Bulan berikutnya ia mengirimkan surat lagi. “Saat ini apakah kotak itu tengah dalam perjalanan ke calon menantu Anda, Marie; siapakah dia, Anda belum menceritakannya? Maukah Anda menceritakannya pada kesempatan mendatang? Saya hanya berharap dia akan terpesona oleh bingkisan dari calon mertuanya,” tulis Kartini pada 18 Februari 1902.
Surat selanjutnya segera menyusul. Berikut ini paragraf pembuka pada surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 5 Maret 1902:
“Nyonya yang baik,
Bersama ini kami memasukkan cerita wayang terkait beberapa tokoh yang diukir pada kotak untuk calon menantu perempuan Anda. Jangan menganggap cerita itu sebagai karya sastra, karena pena saya pastilah tak memenuhi syarat. Kami mencoba untuk memenuhi permintaan Anda untuk menceritakan secara singkat kisah tokoh-tokoh wayang itu. Apabila ada hal lain yang ingin diketahui, saya selalu siap memberikannya untuk Anda. Saya hanya memberikan lima penjelasan dari enam bagian yang ditampilkan—bagian yang keenam, yaitu sisi depan yang memiliki kunci, masih belum jelas. Penyebabnya, gambar-gambar [acuan] itu tidak sengaja telah musnah dan tak seorang pun dari kita bisa mengingat sosok mana yang terwakili di dalamnya. Saya benar-benar menyesal. Ketika membuat kotak itu, kami mengupayakan untuk memberi nama semua tokoh wayang yang ditampilkan, lengkap dengan deskripsinya untuk Anda. Akan tetapi, kekacauan pada beberapa bulan silam telah membuat kami tidak dapat menuntaskannya.”
Selain perkara kotak perhiasan, ungkap Daniel, dalam surat itu Kartini juga mencoba melukiskan jiwa seniman yang telah mendarah daging pada orang Jepara.
“Apakah Anda tahu siapa yang selalu menggambar wayang untuk kami? Anda tidak akan pernah bisa menebak. Seorang pemain gamelan kami. Luar biasa, betapa cakap dan rapinya dia! Tampaknya, kemampuan menggambarnya itu merupakan bawaan dari Japara—[...] anak laki - laki menggambar tokoh wayang dengan indah di pasir, dinding, jembatan, dan pagar jembatan. Dinding di belakang rumah kami terus-menerus ditutupi dengan coretan tokoh wayang. Jika pagar jembatan dilabur hari ini maka besok mereka sudah penuh dengan figur wayang—digambar dengan arang atau sepotong kecil bata merah oleh monyet-monyet telanjang dan berlumpur itu. Tentu saja, mudah bagi kami untuk menemukan seseorang yang bisa membuat sketsa di lingkungan kami—jika kami menginginkan sesuatu, kami cukup bertanya dan menjelaskan apa yang kami inginkan.”
Kami menampilkan tiga dari delapan halaman tulisan tangan atau holograf Kartini pada surat tertanggal 5 Maret 1902. Dalam surat itu, Kartini menceritakan beberapa hal yang menarik untuk didiskusikan kembali. Selain kotak perhiasan berukir wayang, ia juga mengungkapkan pertautan tradisi Cina dan Jawa hingga kegalauannya lantaran marak pesanan ukiran ragam hias Eropa yang merusak citarasa ukiran ragam hias Japara. Di surat itu pula Kartini menceritakan upayanya membujuk seniman untuk mengukir wayang—yang saat itu tabu ditampilkan dalam ukiran. Mengapa Kartini menulis surat secara melintang? Barangkali, kolom yang tak begitu lebar membuat mata tak lelah membaca.
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR