Nationalgeographic.co.id— Kotak kayu jati nan elok ini begitu misterius. Museum R.A. Kartini di Rembang, Jawa Tengah, memajangnya di tengah ruang pameran utama. Sejauh ini publik mengetahuinya sebagai kotak jahit yang dibingkiskan oleh sang adik sebagai hadiah pernikahan Kartini.
Kotak itu berukir wayang di setiap sisinya, namun ciri-ciri tokohnya tidak begitu jelas sehingga multitafsir dan ambigu. Ukiran sisi muka pada tutup atasnya diduga menampilkan sosok Kangsadewa dan Kakrasana, sementara sisi dalamnya mungkin Srikandi dan Sembadra. Sisi dalamnya berbalut kain satin yang ditata dengan elegan.
Apakah benar bahwa kotak itu berfungsi untuk menyimpan peralatan jahit milik Raden Ayu Kartini (1879-1904)? Rumah Kartini, sebuah komunitas sosial yang meneliti dan mengumpulkan arsip sejarah dan seni di Japara, berupaya menyingkap kembali teka-teki riwayat sejati kotak kayu ini.
Baca Juga : Terbukti, Sampah Plastik Bungkus Mi Instan Ini Tak Terurai Selama 19 Tahun di Lautan
Muhammad Afif Isyarobbi, pendiri Rumah Kartini, mengungkapkan bahwa surat-surat Kartini menyajikan banyak sekali informasi yang memperkuat riwayat kotak dan seni ukir di kotanya. Setiap sisi kotak menampilkan tokoh-tokoh pewayangan yang berbalut ragam hias. Kain satin yang melapisi sisi dalam kotak itu menunjukkan fungsinya sebagai penyimpan peranti berharga, alih-alih penyimpan alat jahit-menjahit.
Afif menambahkan kendati terdapat unsur akulturasi, ragam hias Jepara tampak lebih dominan—daun beserta relung yang berirama diukir secara detail dan halus. Unsur ragam hias awan yang membingkai dua tokoh wayang pada kotak itu merupakan bagian ragam hias budaya Cina. “Dari beberapa surat yang saya baca,” demikian ungkap Afif terkait ukiran ragam hias, “Mbah Kartini terinspirasi dari Gong Senen, rumah-rumah tua di Japara saat itu, dan Masjid Mantingan.”
Lewat penelusuran surat-surat Kartini yang dikirimkan kepada Nyonya Rosa Manuel Abendanon-Mandri (1857-1944) pada periode September 1901 hingga Maret 1902, Afif dan timnya menyingkap bahwa sejatinya kotak itu merupakan “kotak perhiasan”, alih-alih “kotak jahit”. Perancangnya pun bukan adik Kartini, melainkan Kartini sendiri. Lalu, untuk apa Kartini merancangnya?
Baca Juga : Adakah Hubungan Antara Salatiga, Arthur Rimbaud, dan Soekarno?
Daniel Frits Maurits Tangkilisan, peneliti pada komunitas Rumah Kartini, mengungkapkan bahwa Kartini-lah yang menawarkan gagasan untuk membuat kotak perhiasan itu. Kartini pula yang membingkiskannya untuk “Ma-Ri”—nama yang tertulis dalam aksara Jawa pada tutup atas kotak.
Daniel menemukan setidaknya terdapat empat pucuk surat, yang berkisah seputar kotak perhiasan yang dirancang Kartini untuk “Ma-Ri”. Siapakah “Ma-Ri” yang dimaksud Kartini?
“Ma-Ri” yang dimaksud sejatinya adalah Marie Fortuyn Drooglever, calon menantu Abendanon-Mandri. Jadi, Kartini mengirimkan kotak perhiasan ini kepada sang nyonya itu sebagai bingkisan pernikahan Marie dan Geldolph Adriaan Abendanon.
Kelak, perempuan penerima bingkisan kotak perhiasan itu dikenal sebagai Marie Abendanon, yang wafat dalam usia 90 tahun pada 1971. Lewat surat-menyurat, tampaknya hubungan emosional keluarga Abendanon dan keluarga Kartini begitu dekat. Dia memandang Nyonya Abendanon sebagai sahabat, sekaligus sosok ibu baginya dan bagi adik-adiknya. Perempuan itu merupakan istri dari Jacques Henri Abendanon, seorang Direktur Kementerian Pengajaran, Ibadat, dan Kerajinan di Hindia Belanda.
Baca Juga : Bukan Hotel, Bangunan Megah dan Mewah Ini Ternyata Stasiun Kereta Bawah Tanah
Pada 21 September 1901, Kartini menulis kepada Nyonya Abendanon. Berikut ini kutipan bagian paragraf pertamanya, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
“Kami memastikan bahwa kotak perhiasan untuk calon menantu perempuan Anda—putri pertama Anda—akan segera rampung! Kita akan memiliki kotak perhiasan yang diukir dengan beberapa tokoh wayang—sebuah cerita wayang di bagian tutup dan setiap sisi layaknya kotak bagi sang Ratu. Menarik bukan? Bukankah akan lebih elok apabila berukirkan 'Marie' yang ditulis dalam aksara Jawa? Selain kian bergaya, nama calon putri Anda pun kelak akan kekal.”
Percakapan berlanjut pada surat yang ditulisnya pada 10 Januari 1902, “Saya pikir sangat membanggakan apabila Anda menyukai kotaknya. Saya mengerjakannya dengan cinta dan, sejujurnya, juga dengan sedikit rasa sedih karena membayangkan perempuan yang kelak memiliki kotak cantik ini dan pasangannya yang berbahagia, sementara saya tetap duduk sembari bekerja beralaskan tikar.”
Bulan berikutnya ia mengirimkan surat lagi. “Saat ini apakah kotak itu tengah dalam perjalanan ke calon menantu Anda, Marie; siapakah dia, Anda belum menceritakannya? Maukah Anda menceritakannya pada kesempatan mendatang? Saya hanya berharap dia akan terpesona oleh bingkisan dari calon mertuanya,” tulis Kartini pada 18 Februari 1902.
Surat selanjutnya segera menyusul. Berikut ini paragraf pembuka pada surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 5 Maret 1902:
“Nyonya yang baik,
Bersama ini kami memasukkan cerita wayang terkait beberapa tokoh yang diukir pada kotak untuk calon menantu perempuan Anda. Jangan menganggap cerita itu sebagai karya sastra, karena pena saya pastilah tak memenuhi syarat. Kami mencoba untuk memenuhi permintaan Anda untuk menceritakan secara singkat kisah tokoh-tokoh wayang itu. Apabila ada hal lain yang ingin diketahui, saya selalu siap memberikannya untuk Anda. Saya hanya memberikan lima penjelasan dari enam bagian yang ditampilkan—bagian yang keenam, yaitu sisi depan yang memiliki kunci, masih belum jelas. Penyebabnya, gambar-gambar [acuan] itu tidak sengaja telah musnah dan tak seorang pun dari kita bisa mengingat sosok mana yang terwakili di dalamnya. Saya benar-benar menyesal. Ketika membuat kotak itu, kami mengupayakan untuk memberi nama semua tokoh wayang yang ditampilkan, lengkap dengan deskripsinya untuk Anda. Akan tetapi, kekacauan pada beberapa bulan silam telah membuat kami tidak dapat menuntaskannya.”
Selain perkara kotak perhiasan, ungkap Daniel, dalam surat itu Kartini juga mencoba melukiskan jiwa seniman yang telah mendarah daging pada orang Jepara.
“Apakah Anda tahu siapa yang selalu menggambar wayang untuk kami? Anda tidak akan pernah bisa menebak. Seorang pemain gamelan kami. Luar biasa, betapa cakap dan rapinya dia! Tampaknya, kemampuan menggambarnya itu merupakan bawaan dari Japara—[...] anak laki - laki menggambar tokoh wayang dengan indah di pasir, dinding, jembatan, dan pagar jembatan. Dinding di belakang rumah kami terus-menerus ditutupi dengan coretan tokoh wayang. Jika pagar jembatan dilabur hari ini maka besok mereka sudah penuh dengan figur wayang—digambar dengan arang atau sepotong kecil bata merah oleh monyet-monyet telanjang dan berlumpur itu. Tentu saja, mudah bagi kami untuk menemukan seseorang yang bisa membuat sketsa di lingkungan kami—jika kami menginginkan sesuatu, kami cukup bertanya dan menjelaskan apa yang kami inginkan.”
Kami menampilkan tiga dari delapan halaman tulisan tangan atau holograf Kartini pada surat tertanggal 5 Maret 1902. Dalam surat itu, Kartini menceritakan beberapa hal yang menarik untuk didiskusikan kembali. Selain kotak perhiasan berukir wayang, ia juga mengungkapkan pertautan tradisi Cina dan Jawa hingga kegalauannya lantaran marak pesanan ukiran ragam hias Eropa yang merusak citarasa ukiran ragam hias Japara. Di surat itu pula Kartini menceritakan upayanya membujuk seniman untuk mengukir wayang—yang saat itu tabu ditampilkan dalam ukiran. Mengapa Kartini menulis surat secara melintang? Barangkali, kolom yang tak begitu lebar membuat mata tak lelah membaca.
Sayangnya, kisah Kartini tentang kotak perhiasan Marie tidak tercantum dalam buku yang melegenda ke seantero Nusantara, Habis Gelap Terbitlah Terang, karya Armijn Pane yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1938.
Armijn memang menyeleksi, menerjemahkan, dan menyunting sebagian surat-surat Kartini yang dihimpun Jacques Henrij Abendanon dalam Door Duisternis Tot Licht (DDTL) yang terbit pada 1911, untuk dimasukkan dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Dalam teka teki kotak Kartini, sejatinya Armijn tidak bersalah karena Abendanon pun ternyata tidak mencantumkan surat-surat terkait riwayat kotak itu. Abendanon sengaja menghilangkan beberapa bagian kalimat atau paragraf dalam surat-surat Kartini. Salah satu kemungkinannya, ia tidak begitu tertarik mengungkapkan sisi pribadi atau keluarganya dalam publikasi kumpulan surat itu. Pun, belakangan kita tahu bahwa beberapa kawan korespondensi Kartini hanya rela meminjamkan sebagian surat mereka atau menolak sama sekali untuk meminjamkannya kepada Abendanon.
Baca Juga : Benarkah Benda Asing Ini Jadi Penyebab Jatuhnya Pesawat Ethiopian Airlines?
“Abendanon memang tidak memasukkan semua surat ke Door Duisternis Tot Licht,” ungkap Daniel. “Armijn menerjemahkan DDTL namun membuang lebih banyak bagian.
Daniel menyarankan referensi terbaru buku tentang surat-surat Kartini yang bertajuk Kartini: The Complete Writings 1898-1904, yang terbit pada 2014. Buku itu merupakan hasil penelitian Joost Cote, sejarawan Monash University di Melbourne, yang meneliti tentang kehidupan Kartini selama sekitar dua dasawarsa. “Mbah Joost,” kata Daniel, tekun mengumpulkan dan menyunting seluruh tulisan Kartini, termasuk temuan surat-surat Kartini oleh peneliti lain pada 1980-an. Buku itu telah menjadi rujukan bagi Daniel dan timnya saat menyelisik surat-surat Kartini, khususnya seputar teka teki kotak berukir wayang itu.
Daniel pun melihat bahwa ukiran wayang dalam kotak itu menunjukkan pendobrakan takhayul yang dilakukan Kartini. Pasalnya, semasa hidup Kartini, menampilkan wayang di luar ranah pertunjukan wayang adalah perkara tabu.
Kartini adalah anak keempat dari delapan bersaudara—sekaligus anak perempuan pertama. Orangtuanya adalah R.M. Samingoen dan R.Ay. Ngasirah (garwa ampil). Kehidupan Kartini begitu singkat, namun pemikirannya jauh melampaui orang-orang semasanya: kesetaraan hak, emansipasi perempuan, menemukan kesejatian seni orang Japara, mengangkat industri kreatif rakyat, dan makelar kriya Jawa bagi pasar Eropa.
Sejak kapan kotak perhiasan Marie kembali ke Rembang? Sampai saat ini Museum Kartini Rembang dan Rumah Kartini tengah menyelisik arsipnya. Namun, satu hal yang pasti, ukiran ragam hiasnya mewakili fakta budaya. “Kotak ini mewakili kepiawaian seniman ukir Japara yang ketenarannya pernah mencapai Eropa,” kata Daniel. Dia juga menambahkan, “Ukiran kotak ini juga adalah representasi fakta bahwa apa yang selama ini dicap dan dikotakkan dalam textbooks oleh pakar-pakar seni ukir sebagai motif ukir Japara ternyata salah!”
Dari surat Kartini pada awal 1902, menurut Daniel, kita bisa membaca situasi ekonomi rakyat Japara saat itu yang kian terpuruk. Ekonomi kota kecil ini menurun sejak bandar dipindahkan ke Semarang, dan kian menurun setelah status karesidenan diturunkan menjadi di bawah Semarang.
Di situlah “peran Kartini sebagai makelar kriya Jawa bagi orang Eropa,” ujarnya. Sementara itu Suami-istri Abendanon adalah salah satu pendiri Vereeniging Oost en West yang memasok dan memasarkan produk-produk buatan Kartini ke pasar Eropa. “Nah, kotak ini melambangkan peningkatan taraf ekonomi rakyat Japara sebagai hasil kerja keras Kartini dan adik-adiknya dalam mengangkat industri kreatif.”
Pada Pameran Nasional karya Perempuan pada 1898 di Den Haag, gerai Jawa menampilkan proses membatik. Kartini turut menulis sebuah pengantar bertajuk Handschrift Japara atau tulisan tangan dari Japara. Sejak pameran itu ketertarikan orang Eropa akan eksotisme Jawa pun meningkat. Daniel tidak mengada-ada, ia mengungkapkan, “Nyata dalam artikelnya Van een vergeten uithoekje atau Dari Sudut yang Terlupakan, nasionalisme Kartini yang luar biasa besar.”
Esai tersebut ditulis oleh Kartini pada 1903, yang memaparkan tentang seni ukir khas Japara yang begitu memesona dan bagamana seniman-seniman ukirnya memahat karya mereka. “Van een vergeten uithoekje sudah saya terjemahkan lengkap,” kata Daniel. “Ini penerjemahan yang membuat saya menitikkan air mata haru dalam prosesnya!”
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR