"Biasanya, orang mengadopsi minimalis untuk kepentingan kesejahteraan psikologis mereka sendiri-untuk mengurangi stres dan menumbuhkan kejernihan mental, misalnya," kata ketua peneliti studi tersebut, Aimee Chabot, kepada DW.
Namun seiring waktu, motivasi para individu dalam mempraktikkan cara hidup minimalis lebih meluas dan merambah kepada hal di luar diri mereka seperti masalah lingkungan atau etika.
Sejauh ini Chabot dan timnya telah melakukan survei terhadap lebih dari 800 orang, kebanyakan dari mereka tinggal di AS. "Hanya sekitar 10 persen dari responden mengatakan bahwa mengurangi dampak lingkungan adalah motivasi utama mereka untuk mempraktikkan gaya hidup minimalis. Namun sekitar 70 persen responden mengatakan dampak lingkungan juga menjadi salah satu alasan mereka melakukannya," katanya.
Konsumsi yang tidak berkelanjutan
Sebuah studi tahun 2015 menemukan bahwa lebih dari 60 persen emisi gas rumah kaca global disebabkan oleh konsumsi rumah tangga. Ini utamanya akibat kegiatan transportasi dan produksi makanan, juga produk-produk lain yang menghasilkan emisi karbon dalam proses produksinya. Konsumsi rumah tangga tentu saja lebih tinggi jumlahnya di negara-negara kaya.
Ketika ekonomi di seluruh dunia berkembang, konsumsi juga bertumbuh. Semakin banyak orang yang memiliki uang untuk dibelanjakan, semakin banyak barang yang mereka beli. Hal yang membuat manusia bahagia tidak melulu bersifat kebendaan dan konsumtif.
Akan tetapi kegiatan konsumtif ini tidak selalu membuat orang menjadi bahagia. Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian, pendapatan yang lebih tinggi dan daya beli yang lebih besar hanya bisa meningkatkan kesejahteraan hingga batas tertentu.
Dan pada suatu titik, semakin banyak orang menjadi kecewa dengan masyarakat materialistis tempat mereka tinggal.
Bahagia berarti hasilkan emisi rendah
Dalam buku yang terbit tahun 2014 berjudul Happier People Healthier Planet, akademisi Teresa Belton berpendapat bahwa faktor-faktor yang mendorong kesejahteraan manusia sebenarnya memiliki dampak yang sangat kecil terhadap lingkungan.
"Hal-hal yang menghasilkan dan melanggengkan kesejahteraan adalah segala hal yang saya sebut sebagai 'aset nonmaterial,'" ujar Belton kepada DW.
"Hubungan yang baik, kontak dengan alam. Menjadi kreatif, memiliki rasa menjadi bagian dari komunitas dan memiliki tujuan dan makna, secara aktif terlibat dalam kehidupan dan hal-hal lainnya, yang tidak - atau sangat sedikit - melibatkan konsumsi kebendaan."
Belton juga mewawancarai lebih dari 100 orang di Inggris yang telah memilih untuk hidup dengan cara lebih sedikit mengkonsumsi benda-benda.
Baca Juga: Suhu Ekstrem di Australia, Puluhan Ribu Kelelawar Mati Kepanasan
Berbeda dengan para peneliti Universitas Duke di AS, ia menemukan bahwa masalah lingkungan adalah motivasi paling umum yang menggerakkan orang.
"Jika kita sebagai individu dan masyarakat memprioritaskan kesejahteraan dengan berfokus pada hal-hal yang benar-benar mendukung kesejahteraan, alih-alih mencari keuntungan materi dan konsumsi material yang ujungnya adalah menghasilkan laba, dunia akan menjadi tempat yang jauh lebih baik dalam segala hal," ujar Belton.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dapatkah Gaya Hidup Minimalis Bantu Selamatkan Bumi?".
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR