Nationalgeographic.co.id—Rumah tua itu berwarna serbaputih. Dindingnya putih. Pagar panggungnya putih. Langit-langitnya juga putih.
Jika dilihat sepintas lalu, tak ada yang istimewa dari rumah tersebut. Namun jika kita perhatikan dan selidiki lebih detail, rumah itu menyimpan nilai multikultural yang kaya. Bangunan rumah itu bergaya panggung Melayu. Lantainya diimpor dari Eropa. Ornamennya bergaya Cina. Dan yang tinggal di rumah tersebut adalah keluarga keturunan Arab.
Rumah itu biasa disebut sebagai Rumah Letnan Arab. Letnan Arab atau Kapita Arab adalah gelar yang diberikan Kesultanan Ternate kepada perwakilan komunitas Arab. Para pemimpin komunitas Cina dan Arab mendapat kehormatan dan masuk dalam struktur Kesultanan Ternate sebagai perwakilan dan penyambung antara komunitas dengan Kesultanan. Kini, yang menghuni rumah tersebut adalah turunan kelima dari Letnan Arab.
Rumah Letnan Arab berada di Kampong Arab Ternate. Yang menarik, Kampong Arab ini berada di dalam Kampong Cina Ternate. Selain Kampong Arab, dulu ada juga Kampong Palembang di dalam Kampong Cina Ternate ini. Hanya saja, kini orang-orang Palembang sudah pergi dan tak menghuni kampung itu lagi. Wilayah Kampong Palembang kini sudah berganti wajah menjadi pusat perniagaan dengan banyak bangunan pertokoan dan bank yang berdiri di atasnya.
Baca Juga: Selidik Kampong Cina Ternate, Kampung Tua di Jantung Kepulauan Rempah
Dahulu para pedagang dari Cina, Arab, Melayu, India, Palembang, dan Makassar terbiasa hidup berbaur bersama orang-orang asli Ternate. Namun setelah kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Belanda, para pedagang dari Asia itu kemudian dipaksa untuk tinggal secara berkelompok sesuai komunitas etnis masing-masing di tempat-tempat yang terpisah satu sama lain, yang kini dikenal sebagai kampong-kampong.
VOC sejak awal memiliki niat buruk memonopoli perdagangan rempah dari Ternate. Padahal, sebelum bangsa Eropa itu datang ke Ternate, para pedagang asli Ternate sebenarnya telah terbiasa menjalin transaksi rempah dengan pedagang-pedagang dari Nusantara, Tiongkok, India, dan Arab. Tak ada dari mereka yang memiliki niat rakus untuk memonopoli perdagangan rempah dari Ternate ini seperti bangsa Eropa.
“Pembagian kampong-kampong ini baru terjadi pada awal abad ke-17. Awal ketika Benteng Oranje mulai dibangun (oleh VOC). Jadi ketika Benteng Oranje dibangun, 1606, di situlah para pedagang-pedagang tadi dikumpulkan di sekitar benteng,” tutur Maulana Ibrahim, dosen arsitektur di Universitas Khairun dan pendiri Ternate Heritage Society di acara "Avontur Daring Kampong Cina Ternate dan Sekitarnya: Perjalanan yang Mengungkap Kisah di Balik Toponimi Kampung-kampung Tua di Jantung Kepulauan Rempah" pada Sabtu (13/2/2021) sore.
Baca Juga: Ko Ngian: Imlek di Bangka, Harapan Baru Buang Debu-Debu yang Kotor
VOC membagi wilayah masing-masing kampong dengan lokasi-lokasi yang dekat dari Benteng Oranje. Pembagian kampong-kampong ini dilakukan oleh VOC agar mereka bisa dengan mudah mengawasi dan mengontrol para pedagang dari Asia tersebut.
“Jadi kota Ternate tuh dibagi-bagi seperti orang membagi pizza. Di bagian utara Banteng Oranje adalah jatahnya Kampong Makassar,” Maulana mencontohkan.
Meski wilayah tempat tinggal para warga pendatang itu dipisah-pisahkan oleh VOC dengan dibagi per kampong, pergaulan antarmereka sangatlah cair dan rukun, dan itu terus terejawantahkan hingga sekarang. Vice Chairman Ternate Heritage Society, Aiye Lee, dalam acara avontur daring yang sama menceritakan bahwa setiap ada perayaan hari besar Islam, warga keturunan Cina di Ternate rajin mengantarkan makanan untuk warga keturunan Arab. Begitu pula saat ada perayaan hari besar Tionghoa, orang-orang keturunan Arab juga rutin mengantarkan makanan untuk warga keturunan Cina tersebut.
Aiya Lee menekankan, toleransi beragama masyarakat Ternate sangatlah tinggi sejak dulu hingga sekarang. Ia mencontohkan, “Pas Imlek kemarin, ada pengajian di Gang Habib I (yang terletak di dalam Kampong Cina). Pengajian sengaja setop jam 9 malam. Kemudian di-prepare (dipersiapkan) untuk acara Imlek jam 10.” Perayaan Hari Tahun Baru Imlek pada 2021 di Ternate ini menggambarkan betapa indahnya nilai-nilai kebersamaan masyarakat di sana.
Baca Juga: Cengkih Ternate, Keuntungan yang Menggiurkan Para Penjelajah Samudra
Dalam acara avontur daring ini, seorang peserta sempat bertanya apakah ada identitas penanda yang membedaan wilayah komunitas Kampong Arab dan Cina di Ternate. Maulana Ibrahim menjawab, penanda indetitas antarkampong itu justru bisa sangat berbahaya. Penanda ini seolah memperkuat stereotipe antaretnis di sana.
“Kalau kita kembali memberikan penanda, apa bedanya kita dengan VOC?” ujar Maulana.
Yang selama ini sudah berlangsung di Ternate, warga dari berbagai etnis bisa hidup membaur satu sama lain. Mereka bisa hidup rukun berdampingan dengan nilai-nilai kekeluargan dan toleramsi yang luhur.
Baca Juga: Seniman-Seniman Lukis Pertama di Dunia Berasal dari Indonesia?
Maulana Ibrahim menyebut contoh teranyar soal pembauran warga antaretnis di Kampong Cina Ternate yang di dalamnya ada Kampong Arab itu. “Kini di sebelah kiri Rumah Letnan Arab ada rumah tiga lantai milik warga keturunan Cina,” katanya.
Kemudian Aiya Lee menimpali, “Sekarang di seberang rumah tiga lantai milik orang keturunan Cina itu ada rumah dengan arsitektur Melayu yang ditinggali oleh orang keturunan India.”
Kecuali saat datangnya kolonial Eropa, sejak dulu hingga nanti tampaknya kehidupan warga di Ternate akan senantiasa berlangsung baik tanpa perlu sekat etnis, tanpa perlu batas wilayah.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR