Nationalgeographic.co.id—Dekade silam, seni tari reog sempat menjadi kontroversi akibat klaim pariwisata negeri tetangga. Klaim itu tak sepenuhnya salah sebab, menurut para ahli, kesenian itu bisa tiba dan menjamur di negeri jiran karena dibawa pendatang Indonesia yang menetap.
Reog sendiri merupakan kesenian yang berasal dan berkembang di Ponorogo, Jawa Timur. Kesenian ini, menurut Andi Farid Hidayanto dalam Jurnal Eksis (Vol.8 Maret 2012), identik dengan irama gamelan yang membangkitkan semangat dan aroma yang merangsang daya tarik.
Andi lewat Topeng Reog Ponorogo dalam Tinjauan Seni Tradisi menulis, pagelaran reog juga mengandung unsur kekuatan mistik dan mengandung nilai sindiran terhadap kejadian di masyarakat.
Baca Juga: Menyusuri Majapahit dengan Panduan Peta National Geographic Indonesia
Nilai sindiran diduga sebagai unsur asal-usul lahirnya tarian Reog Ponorogo itu sendiri, yakni sebagai bentuk sindiran Demang Ki Agung Kutu Suryongalam dari Wengker kepada Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V.
Bagi Ki Agung bersama masyarakat Wengker (kini Ponorogo), raja tidak memenuhi kewajibannya untuk melayani rakyat dan memimpin negeri. Sebab kala sang raja terlalu menuruti masukkan sang permaisuri, Ratu Dwarawati dari Champa.
Maka lewat kesenian, dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit harimau Jawa yang ditunggangi burung merak. Barongan itu melambangkan sang raja yang ditunggangi permaisuri.
Sindiran pada Majapahit juga dilambangkan dengan tokoh Jathilan—penari lelaki berias wanita yang menunggang kuda. Penggambaran ini ditujukan pada tentara kerajaan Majapahit yang telah kehilangan keberaniannya melawan pasukan musuh.
Seiring dengan perkembangannya, jathilan kini diperankan oleh perempuan untuk mempertegas kesan cantik, anggun, dan bergairah.
Kecenderungan sikap raja ini meruncing hingga melahirkan beberapa pemberontakan di Majapahit yang berbuah berakhirnya adikuasa. Sehingga, kesenian ini ketika Majapahit digantikan dengan Kesultanan Demak menjadi tari kesenian rakyat.
Selama masa kolonialisme Belanda, berdasarkan catatan harian tokoh Reog Ponorogo KH Mujab Tohir, kesenian ini dinggap sebagai pengaruh merugikan pemerintah. Akibatnya kesenian ini tidak memperoleh bimbingan dan fasilitas pemerintah.
Baca Juga: Kisah Surat Wiyoto, Melindungi Hidup Merak Hijau Demi Lestarikan Reog Ponorogo
Terpaksa, kesenian itu terpecah dan terorganisir dengan buruk. Akibatnya timbul persaingan antar kelompok reog hingga konflik politik yang menimbulkan korban. Terlebih, pemerintah juga tak memberi keamanan untuk kesenian reog.
Kegunaan reog menjadi kesenian untuk aksi massa politik kembali berkembang setelah masa kemerdekaan. Sururli Mukarromah dan Shinta Devi dalam jurnal Verleden (Vol.1 Desember 2012) menulis, Pemilu 1955 sebagai pemantik awalnya.
"Masa tahun 1950 sampai 1959 sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik, karena partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara melalui sistem parlementer," tulis mereka dalam Mobilisasi Massa Partai Melalui Seni Pertunjukan Reog di Ponorogo tahun 1950-1980.
"Hampir semua partai berpacu untuk memperoleh massa sebanyak-banyaknya dengan cara manggandeng kesenian untuk menarik massa."
Karena kampanye kerakyatannya yang sejalan dengan filosofinya, Reog Ponorogo didominasi oleh PKI dalam Barisan Reog Ponorogo (BRP). Partai lainnya seperti NU, PNI, Masyumi, dan Partai Buruh, juga turut menggunakan cara serupa, meski tak sebesar PKI.
Namun semenjak kejadian G30S 1965 yang berbuah pelarangan PKI, juga berdampak pada kesenian Reog Ponorogo dengan bubarnya BRP. Selama tiga tahun kesenian ini bagai mati suri karena takut dianggap sebagai partisan partai komunis.
Baca Juga: Tradisi Kesenian Ronggeng Pangandaran yang Berjuang Menantang Zaman
Secara perlahan pada 1969, Reog Ponorogo mencoba tampil kembali di hadapan masyarakat pada PON VII. Penggagas bergeraknya kembali kesenian itu adalah Kasni Gunopati.
"Orang-orang tidak berani main reog lagi karena takut. Selain itu banyak yang sudah
tua. Yang pertama berani mendirikan reog lagi saya," ujar Kasni Gunopati dikutip dari Majalah Tempo edisi 10 November 1979.
Organisasi-organisasi Reog Ponorogo yang bertahan pasca G30S kemudian bersatu dalam INTI (Insan Taqwa Illahi) untuk menghidupkan kembali kesenian. Anggotanya berupa 'pentolan reog' yang juga bertugas untuk pengamanan pemilu di masa berikutnya.
Selain itu organisasi ini berperan agar menjaga kesenian Reog Ponorogo dari tunggangan partai politik yang memecah belah. Usaha menjaganya, mereka mengeluarkan peraturan tersendiri, yakni agar Reog Ponorogo hanya boleh dimiliki perseorangan atau desa.
Hutan Mikro Ala Jepang, Solusi Atasi Deforestasi yang Masih Saja Sulit Dibendung?
Source | : | Tempo,ancient-origins.net,ResearchGate |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR