Nationalgeographic.co.id—Ketika kita mengetik frasa “hidup bersama” di peramban Google, kita akan mendapatkan lebih dari tiga juta laman. Apa yang terjadi apabila kita mengetik di mesin peramban itu dengan frasa “hidup bersama perubahan iklim”? Kita tidak akan menemukan satu laman pun untuk saat ini.
Kita memiliki beragam pilihan untuk nasib Bumi. Kita berpeluang menghancurkan Bumi, namun kita berpeluang pula untuk melestarikannya. Kapan kita memberi peluang untuk Bumi menentukan pilihannya? Apakah Bumi akan senantiasa menyediakan kehidupan untuk penghuninya?
Sebuah kepastian apabila Bumi berputar pada porosnya, sehingga siang dan malam tercipta. Sebuah ketentuan alam apabila Bumi mengelilingi matahari dalam keteraturan. Di seantero jagad raya, sejauh ini hanya Bumi yang menyediakan tempat ternyaman untuk kehidupan.
Semenjak manusia menggelayuti Bumi, riwayat planet ini tidak pernah menjumpai hari-hari yang sama. Apakah Bumi akan senantiasa menyediakan kehidupan untuk penghuninya?
Baca Juga: 2050: Kerugian akibat Banjir Jakarta Diprediksi Naik Lima Kali Lipat
Percepatan evolusi Bumi mungkin telah ditentukan oleh spesies terganasnya—kita. Kini, kita memasuki Antroposen—sebuah era geologi yang ditandai begitu dominannya pengaruh manusia. Perubahan iklim, sebuah terminologi baru yang muncul karena pemikiran antropogenik, salah satunya disebabkan oleh perilaku kita yang mencemari Bumi. Fenomena ini telah memunculkan kerentanan kita. Perubahan iklim mungkin telah memunculkan pagebluk yang berkecamuk belakangan ini, juga memicu tenggelamnya kota-kota pesisir pada akhir abad ini.
Bagaimana kita menghadapinya? Lebih dari setengah populasi manusia di Bumi berada di perkotaan. Kota menyerap 76 persen penggunaan energi dunia. Tiga dekade mendatang, dua per tiga orang di Bumi akan menghuni kawasan ini. Kota-kota dunia juga rentan terhadap banjir dan suhu tinggi.
Bagaimana kita bersiasat? Kita masih diberi kesempatan untuk mengurangi polusi, memperbaiki prasarana kota yang menua, dan membuat kota lebih menarik bagi warga.
Baca Juga: Perubahan Iklim Penyebab Punahnya Mamut, Kungkang, dan Megafauna Lain
Semakin banyak kota yang berkembang di sekitar stasiun kereta, semakin mengurangi perjalanan dengan mobil. Kita bisa menumbuhkan pepohonan rindang yang menurunkan suhu kota dan penggunaan energi. Kita bisa menggunakan lampu LED “adaptif” yang menggunakan lebih sedikit energi. Kita bisa membangun jalur sepeda yang aman sehingga mendorong orang pergi-pulang kerja dengan bersepeda alih-alih bermobil. Kita pun bisa mengelola air secara berkelanjutan.
Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, menambahkan pesannya dalam peluncuran program #PeluangBumi. Alam tak akan selamanya hadir memenuhi kebutuhan manusia, ungkap Didi, apabila kita tidak mengubah perilaku dan cara kita hidup darinya. Menurutnya kita membutuhkan "perubahan untuk memberi peluang baru untuk Bumi sebagai tempat yang lebih baik untuk kehidupan masa depan."
"Bumi adalah rumah bagi kita para manusia bergenerasi melewati berbagai era. Hari ini kita memasuki era di mana tingkah laku perbuatan manusia akan menjadi penentu bagi arah masa depan Planet ini," ujarnya. "Melalui program Peluang Bumi, kami ingin memulai kembali dari hal yang paling dasar tentang inspirasi dan edukasi konsep keberlanjutan sembari terus mengupayakan memberi peluang baru bagi Bumi dan generasi masa depan manusia."
Kita memang memiliki peluang menghancurkan Bumi, tetapi kita juga memiliki peluang untuk melestarikannya. Apakah Bumi masih meraih kemungkinan harapannya sebagai tempat bernaung segala bentuk kehidupan?
Kita tidak perlu menunggu perjanjian iklim global untuk mengubah gaya hidup yang lebih ramah kepada lingkungan. Mari kita menciptakan peluang bagi Bumi yang bernapas kembali.
Apabila ada ungkapan belajar dari pengalaman, sejatinya pengalaman itu sudah bermula menempa kita. Peluang Bumi, peluang kita, peluang masa depan umat manusia.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR