Nationalgeographic.co.id—Charles Darwin pernah menulis bahwa rasa jijik adalah bawaan lahir dan berevolusi, dalam bukunya The Expression of The Emotions in Man and Animals. Dijelaskan bawha nenek moyang kita terdahulu mati karena makanan busuk. Darwin berhipotesis bahwa manusia purba yang memiliki rasa jijik lebih mampu bertahan ketimbang yang tidak memilikinya.
Setelah bertahun-tahun sejak pemikiran Darwin tentang rasa jijik muncul, banyak yang menaruh perhatian pada penelitian psikologis dan perilaku dari rasa jijik. Banyak studi mengatakan bahwa Darwin pada dasarnya benar. Bahwa rasa jijik adalah aspek utama dari sistem kekebalan perilaku, kumpulan tindakan yang dipengaruhi oleh beberapa naluri paling dasar untuk menjaga tubuh kita agar tetap prima.
"Supaya menjaga badan kita tetap sehat, rasa jijik dikaitkan dengan infeksi yang lebih sedikit, jadi itu adalah sebuah emosi yang membantu dalam konteks penyakit," kata Joshua Ackerman, profesor psikologi di University of Michigan dalam tulisan Rebecca Renner di National Geographic.
Pada kasus COVID-19 misalnya, riset jurnal The Impact of The Covid-19 Pandemic on Disgust Sensitivity menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki rasa jijik bernasib baik selama pandemi, mungkin karena mereka cenderung melakukan tindakan yang lebih higienis seperti mencuci tangan.
Baca Juga: Ada Luapan Amarah Di Balik Lirik 'Kuch Kuch Hota Hai' yang Populer
Setelah kemajuan pengetahuan, rasanya rasa jijik lebih kompleks daripada yang dibayangkan oleh Darwin. Ada yang mengatakan bahwa rasa jijik adalah respon bawaan ada juga yang mengatakan itu terjadi karena berbagai pengalaman hidup yang bergantung pada budaya dan lingkungan, dalam Disgust as an Adaptive System for Disease Avoidance Behaviour.
Bagi sebagian orang, rasa jijik yang berlebihan justru mencegah kita mengonsumi hal kotor yang justru membuat kita sehat. Seperti makanan atau minuman yang kaya dengan fermentasi. "Ini bisa jadi pedang bermata dua karena keengganan pada hal-hal asing yang sebenarnya dapat meningkatkan kesehatan dan fungsi kekebalan tubuh kita," tutur Ackerman.
Di tepi hutan hujan Amazon di Ekuador, sebuah tim antropolog melakukan ekspedisi pada tahun 2005 untuk bertemu dengan Shuar. Salah satu orang dalam tim itu adalah Tiara Cepon-Robins, ahli parasit dari Colorado University. Cepon-Robins mulai mempelajari bagaimana budaya, lingkugan dan emosi memengaruhi cara manusia melindungi tubuh mereka dari penyakit.
Banyak sukarelawan mengikuti ekspedisi itu. Beberapa orang pada tim tinggal di gubuk tradisional berlantaikan tanah. Sementara yang lain tinggal di rumah berlantai beton dan beratap logam. Mereka juga berpartisipasi pada kegiatan seperti berburu, memancing, holtikultura, dan berbagai kegiatan lain yang memungkinkan mereka bersentuhan dengan patogen. Termasuk cacing gelang dan cacing cambuk yang tumbuh subur di tanah yang terkontaminasi kotoran. Cepon-Robins pun mensurvei 75 peserta, tetang apa yang membuat mereka jijik.
"Mereka paling muak dengan hal-hal seperti menginjak kotoran dan meminum chicha, minuman yang dibuat dengan mengunyah yuca dan memuntahkannya," kata Cepon-Robins di National Geographic.
Baca Juga: Penyakit Misterius Bikin Beruang di AS Jadi Jinak seperti Anjing
Chica merupakan minuman fermentasi tradisional dan salah satu sumber utama air di Suku Shuar. Namun bukan Chicha yang membuat para responden itu jijik, melainkan si pembuatnya. "Meminum Chicha dari seseorang yang sakit atau memiliki gigi yang busuk adalah hal yang menjijikan bagi mereka," katanya.
Para peneliti kemudian mengumpulkan sampel darah dan feses dari partisipan. Kemudian membandingkan kesehatan mereka dari tingkat rasa jijiknya. Alhasil, individu yang memiliki sensitivitas jijik tinggi lebih sedikit terinfeksi virus dan bakteri. Laporan ini tayang pada Proceedings of The National Academy of Sciences.
Pada responden yang diteliti, mereka tidak dapat menghindar dari hal-hal yang mungkin dianggap kotor oleh sebagian orang dalam budaya industri. Rasa jijik membantu mereka meminimalkan kontak yang mungkin sebagai pembawa penyakit mikroba. Hal itu membuat Cepon-Robins percaya bahwa rasa jijik berevolusi dan melindungi nenek moyang kita dari penyakit. Seperti hipotesis Darwin.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Membedah Target Ambisius Mozambik Memaksimalkan Potensi 'Blue Carbon' Pesisirnya
Source | : | National Geographic,The Expression of The Emotions in Man and Animals,The Impact of The Covid-19 Pandemic on Disgust Sensitivity,Disgust as an Adaptive System for Disease Avoidance Behaviou,Proceedings of The National Academy of Sciences |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR