Tidak ada jadwal peledakan di hari tersebut. Pasalnya, batu pegunungan cukup lunak sehingga alat bor bisa bekerja tanpa dibantu dinamit. Ustael melihat ke terowongan yang ke arah Georgia itu. "Kami masih belum menemukan emas," katanya bercanda. Batuan ditumpahkan dari traktor ke dalam truk, dan suaranya yang keras nyaris menenggelamkan suaranya. "Jalur Sutra akan hidup lagi."
Tidak ada lowongan kerja di Akhalkalaki. Di sana juga tidak ada emas. Tidak ada logam yang berkilauan di perbukitan terjal di dekat kota yang terletak di Georgia selatan tersebut. Di tempat itulah rel kereta api lama dari ibukota Georgia Tbilisi berakhir. Mulai dari Akhalkalakilah rel kereta api yang baru dengan panjang 95 kilometer akan dibangun, menyusur ke selatan melalui terowongan buatan Ustael, menuju Kars. Sementara itu, rel kereta api lainnya yang sudah ada, sepanjang 120 km, akan diperbaiki. Pekerjaan dimulai dengan santai.
Akhalkalaki adalah wilayah Georgia, tetapi kebanyakan penduduknya beretnik Armenia—dan sangat miskin. Kegiatan sejumlah pabrik di Akhalkalaki berhenti setelah Uni Soviet runtuh, komponen-komponen mesin pabrik sudah diobral dalam era kapitalisme baru ini. Sejak pertanian kolektif ditutup, lahan yang dulu subur kini ditumbuhi gulma. Para penjarah memotong kawat aluminium dan kawat tembaga yang dulu digunakan untuk menggerakkan gerbong kereta dan menjualnya ke Iran juga Turki. Perekonomian sangat terpuruk pada 2007 ketika Rusia menutup markas militernya di sana.
Tidak ada pekerjaan di Akhalkalaki sehingga orang berangkat menuju Moskwa untuk bekerja sebagai tukang sapu jalan berseragam jingga sehingga mengirim uang ke kampung halaman. Sementara itu, Banyak penduduk yang tetap tinggal di kampungnya merasa diabaikan oleh pemerintah pusat Georgia. Protes sering dilancarkan. Sangat sedikit orang di Akhalkalaki dan di wilayah Javakheti di dekatnya yang bisa berbahasa Georgia, sementara sekolah-sekolah di sana tak satupun yang mengajarkan bahasa Georgia. Pada 1990-an diperkirakan bahwa Javakheti mungkin akan menjadi wilayah yang memisahkan diri dari Georgia, seperti Abkhazia dan Ossetia Selatan di bagian utara. Kedua wilayah itu memproklamirkan kemerdekaan pada awal 1990-an, tetapi boleh dikatakan tetap tidak dikenal dunia internasional.
!break!
Sekarang Georgia mengandalkan rel kereta api BTK untuk mendongkrak denyut ekonomi dan membantu mempersatukan kantong-kantong wilayah Armenia yang bergolak tersebut dengan bagian lain negara itu. Ketika rencana pembukaan rel kereta api itu diumumkan untuk yang pertama kali, warga Georgia keturunan Armenia menentang pembangunannya dengan alasan, hal itu tidak adil karena tidak mengikutsertakan Armenia. Tetapi sekarang di Akhalkalaki muncul sedikit harapan bahwa rel kereta api yang baru dapat memperbaiki kondisi ekonomi pasca-komunis yang sudah berlangsung lama.
Grigoriy Lazarev berjaga-jaga di pasar terbuka di Akhalkalaki. Dia membeli kentang dengan cara konsinyasi dari petani setempat, membarternya dengan jeruk, kemudian menjual buah itu di pasar dengan harga 40 tetri sekilo. Dia pasti berminat bekerja membangun rel kereta api. "Aku ahli mesin, tukang las, dan menguasai masalah teknis," katanya. "Berjualan jeruk tidak sesuai dengan kata hatiku." Dia berdiri di dekat tumpukan jeruk di bagasi Moskvitch-nya yang berwarna hijau, menengok ke kanan dan ke kiri, melihat banyak orang yang juga berjualan jeruk. Di masa pemerintahan Soviet, jalanan ini tertib, kata Lazarev. Tetapi, semua orang sekarang berjualan." Usianya 58 tahun, giginya hanya tinggal beberapa buah saja, cukup untuk mengunyah makanan lunak seperti buah jeruk. Anaknya dua, dan beberapa keping tetri bergemerincing di saku jaketnya.
Ketika Lazarev mengemudikan mobil selama dua jam ke kota Kartsakhi untuk melamar pekerjaan di proyek rel kereta api, para kontraktor menolak mempekerjakannya. Dia mengunjungi perkemahan yang dibangun di pinggiran kota Akhalkalaki; di sini para pekerja terampil dari Turki dan Azerbaijan akan segera berkumpul. Kamu tidak bisa mengoperasikan ekskavator Komatsu, kata mereka. Kamu tidak bisa berbahasa Georgia.
Para menteri di Tbilisi menyatakan, Akhalkalaki akan menjadi tempat didirikannya stasiun penting pada Jalur Sutra Besi; di tempat itulah kereta api bertukar rail gauge (lebar antar-rel) antara ukuran Eropa dan Rusia. Bagi penduduk Akhalkalaki, sulit membayangkan manfaat yang bisa mereka petik dari proyek tersebut. Di Lazarev misalnya, ratusan penduduk setempat mengajukan petisi untuk bisa bekerja di proyek rel kereta api, tetapi pekerjaan tersebut masih tetap tidak bisa mereka dapatkan.
!break!
Sesungguhnya, keadaan sudah membaik sejak Mikheil Saakashvili menjabat sebagai Presiden Georgia—penduduk Akhalkalaki akan mengakui hal itu. Di bawah pemerintahan Eduard Shevardnadze, listrik hanya mengalir lima jam sehari—ketika mereka sudah tidur—cukuplah untuk memanggang roti untuk sarapan. Kehidupan saat itu sangat bersahaja: tidak ada TV, jalanan jelek, jarang ada kontak dengan pemerintahan di Tbilisi, dan kayu bakar dijatah untuk menyalakan tungku di rumah sekadar agar orang tidak membeku di tempat tidur. Sekarang ada beberapa jalan yang kondisinya baik dan listrik mengalir setiap hari, meski belum tersedia air ledeng di semua rumah. Suhu di Akhalkalaki seringkali dingin, sekalipun di dalam ruangan, dan stres yang terus-menerus melanda membuat orang berkeliaran di jalan dengan lemas, berbeda sekali dengan Nart yang kuat, raksasa dalam dongeng yang menghuni Kaukasus sebelum manusia tiba dan yang mengilhami mereka untuk memahat pegunungan menjadi kerajaan dan kemudian menjadi negara.
Meskipun baru berumur 19 tahun, negara Georgia masih harus berjuang menjalani masa remajanya. Tujuh tahun yang lalu, Revolusi Mawar mengilhami semua bentuk aspirasi negara muda: menjadi anggota NATO, menjadi bagian dari Uni Eropa, mempersatukan wilayah Abskhazia dan Ossetia Selatan yang memisahkan diri di bawah satu pemerintahan federal yang mantap, dan memperbaiki hubungan dengan Rusia. Saakashvili menginginkan itu semua dan ingin mewujudkannya dengan cepat. Jika bukan karena tetangga utaranya (Rusia), mungkin sekali semua keinginan Saakashvili itu sudah terlaksana.
Sudah lama Rusia merasa memiliki hak atas Georgia karena Rusialah yang mengangkat harkat para bangsawan Georgia pada abad ke-19, mempersatukan sekian banyak principality menjadi lembaga pemerintahan tunggal, menjadikannya benteng Kristiani alih-alih bersekutu dengan Ottoman atau Persia. Rusia juga merasa memiliki hubungan batin yang kuat dengan tanah yang ditampilkan dengan romantis dalam karya Aleksandr Pushkin dan Leo Tolstoy. Namun, kebajikan adalah masalah sudut pandang. Segera setelah Alexander I berupaya merebut Georgia pada 1801, Ratu Georgia yang sudah menjanda menyambut utusan tsar dengan pisau belati, menikamnya hingga tewas.
Belum lama ini ketegangan memuncak di Rusia akibat keinginan Georgia untuk memihak Barat, menutup perbatasan antara kedua negara pada 2006. Rusia khawatir, jika Georgia berhasil masuk ke lembaga Barat yang begitu dihormatinya, hal tersebut dapat memicu pemikiran bebas di wilayah Kaukasus utara—termasuk wilayah Rusia seperti Dagestan, Ingushetiya, dan Chechnya—yang masih terus digoncang ledakan dan pembunuhan yang mengancam wilayah kekuasaan Rusia.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR