Kebanyakan petani yang menghadapi masalah serangga mengandalkan pestisida. Perusahaan kimia berhasil menemukan lusinan mitisida yang efektif. Bahan kimia kini umum digunakan, tetapi tidak seorang pun peneliti lebah, peternak lebah komersial, atau penggemar lebah yang saya ajak bicara yang mendukung memasukkan racun ke sarang lebah. Di samping itu, berdasarkan laporan para ilmuwan, banyak varroa yang sudah resistan terhadap mitisida komersial.
Penanganan lain yang kemungkinan nontoksik sedang digodok oleh Beeologics, anak perusahaan raksasa agrobisnis Monsanto, yang menggunakan RNAi (huruf terakhir singkatan dari “interferensi”). Molekul RNA dalam sel membawa informasi dari gen—yaitu segmen tertentu molekul DNA—ke mesin sel yang membuat protein, unsur kimiawi penyusun kehidupan. Setiap protein memiliki susunan yang unik, seperti halnya gen dan RNA yang terkait. Pada interferensi RNA, sel disasar dengan zat yang dirancang untuk menyerang varian RNA tertentu. Apabila RNA tersebut lumpuh, putuslah hubungan antara gen dan proteinnya. Dalam versi Beeologics, lebah akan diberi makan air gula yang mengandung RNAi, yang melumpuhkan RNA tungau. Secara teori air gula yang direkayasa tersebut tidak akan berdampak pada lebah. Apabila tungau menyedot hemolimfa lebah, tungau tersebut juga akan mengisap RNAi—dan hal itu pasti berdampak padanya.
!break!Kekurangannya, ujar Marla Spivak, peneliti lebah, RNAi masih merupakan alat dengan tujuan tunggal. “Jika kita menargetkan satu area tertentu,” pendapatnya, “organisme pasti menemukan cara untuk mengakalinya.” Menurutnya, untuk mencegah kiamat lebah dibutuhkan lebah yang “lebih sehat dan lebih kuat”, yang mampu melawan tungau dan penyakit sendiri, tanpa bantuan manusia.
Secara paralel, dua kelompok peneliti—Spivak dan mitranya, serta John Harbo dan rekannya di pusat penelitian USDA di Baton Rouge, Louisiana—berupaya melakukan pemuliaan lebah yang tahan terhadap tungau. Meskipun pendekatan mereka berbeda, keduanya menargetkan sasaran yang sama: lebah “higienis”.
Semua larva Apis mellifera berkembang dalam lubang khusus di sarang madu, yang diisi lebah dewasa dengan makanan lalu ditutup dengan lilin. Tungau masuk ke lubang tersebut sebelum ditutup, lalu bertelur. Setelah menetas, anak tungau itu akan mengisap pupa lebah yang diam tanpa daya. Ketika lebah dewasa keluar, tungau sudah memenuhi punggung atau perutnya. Berbeda dengan kebanyakan lebah madu, lebah higienis dapat mendeteksi tungau di dalam lubang tertutup, mungkin berdasarkan bau, kemudian membuka tutupnya dan membuang pupa lebah yang terserang, menghentikan siklus reproduksi tungau.
Baik Spivak maupun Harbo berhasil dalam usaha pemuliaan lebah higienis pada akhir 1990-an. Beberapa tahun setelah itu, para ilmuwan menyadari bahwa lebah higienis kurang efektif karena tungau berkembang semakin banyak. Masih belum ditemukan cara mengatasi hal itu, sebagian karena dasar genetika perilaku higienis belum dipahami. Masalah serupa dihadapi oleh sasaran pemuliaan lain: lebah yang merawat tubuh. Dengan menggosokkan kaki tengahnya ke tubuh, lebah madu merawat dirinya dan lebah lain. Jika lebah menggosok diri sebelum tungau menempel, dia dapat mengenyahkan hama tersebut. Jelas yang diinginkan adalah lebah higienis yang sering merawat tubuh. Namun, peternak khawatir mereka akan menghasilkan lebah yang kebanyakan bersolek, seperti remaja yang baru puber. Dan selalu ada kekhawatiran bahwa pemuliaan satu sifat akan melemahkan sifat bermanfaat lainnya—lebah higienis, misalnya, akan menjadi agresif atau menghasilkan madu lebih sedikit.
!break!Pada akhirnya, pemecahan masalah ini membutuhkan biologi molekuler, demikian pendapat Martin Beye, ahli genetika di Heinrich-Heine-Universität Düsseldorf, Jerman. Bagi ahli genetika, mengawinkan dua lebah yang memiliki sifat yang diinginkan tanpa pemilihan gen ibarat melempar dadu. Jauh lebih efektif jika kita mengidentifikasi gen tertentu yang menimbulkan sifat yang diinginkan tersebut dan menyisipkannya. Konsorsium yang beranggotakan lebih dari seratus peneliti mengurai genom lebah madu tahun 2006. Beye salah satunya. Langkah berikutnya, dalam pandangannya, adalah mengidentifikasi gen yang memengaruhi perilaku tertentu—dan, jika perlu, memodifikasinya.
Meskipun para ilmuwan telah membuat serangga transgenik sejak awal 1980-an, semua upaya untuk menyisipkan gen ke Apis mellifera gagal. Beye menugaskan pencarian metode ini kepada seorang peneliti muda, Christina Vleurinck. Vleurinck harus mengambil telur dari sebuah koloni, menyuntikkan bahan genetis (dalam hal ini gen yang membuat jaringan tertentu bersinar di bawah lampu pendar), lalu mengembalikan telur tersebut ke sarangnya. Berulang kali dicoba, tetapi efek gen baru itu tidak muncul-muncul. Menusuk telur dengan jarum sering mengakibatkan kerusakan embrio. Lebah pekerja dengan cepat menyingkirkannya.
Rasanya seperti menghadapi ribuan kritikus kecil, masing-masing berhak menghentikan kegiatannya. Bersama Beye dan dua rekan lainnya, Vleurinck perlahan mengembangkan teknik yang berhasil. Namun, masih perlu kerja bertahun-tahun sebelum metode ini dapat digunakan untuk mengembangkan lebah yang lebih baik. Dan melepaskan lebah rekayasa genetika pasti memancing kontroversi. “Ini sesuatu yang baru,” kata Beye. “Kita harus berhati-hati.”
!break!
Semua ini membuat Phil Chandler, pengarang The Barefoot Beekeeper, menggeleng-geleng. Sosok antikemapanan ini berpendapat bahwa sangat banyak ilmuwan, bahkan yang bermaksud baik sekalipun, yang justru menjadi bagian dari masalah. “Kita tidak bisa memecahkan masalah ini dengan menggunakan cara berpikir yang menyebabkannya,” kata Chandler. Dia mengacu pada “salah anggapan kronis” bahwa manusia dapat mengendalikan alam. Lebah yang lebih baik hanya dapat dibuat, menurutnya, oleh lebah itu sendiri. Musuh terbesar lebah madu, dalam pandangannya, bukanlah tungau atau virus, melainkan industri pertanian. Banyak ilmuwan yang mengakui hal tersebut. Bedanya adalah cara menyikapinya.
Saya bertemu Chandler di dekat Biara Buckfast, pada pertemuan peternak lebah. Banyak orang di sekelilingnya yang setuju dengan diagnosisnya. Namun, mereka terlihat bingung ketika dia mengatakan bahwa hal terbaik yang dapat dilakukan terhadap varroa adalah... tidak melakukan apa-apa. Jaga agar lebah sehat dan cukup makan, tetapi biarkan evolusi bekerja. Selama sepuluh tahun atau lebih, peternak lebah akan kehilangan sebagian besar lebah mereka, akunya. Namun, seleksi alam pada akhirnya akan menghasilkan lebah yang kebal.
Chandler tidak optimistis tentang masa depan Apis mellifera; Densley, peternak lebah Biara Buckfast, khawatir, tapi lebih berbesar harapan. Untuk mencerahkan suasana, saya menceritakan soal proyek RoboBee Harvard University: upaya untuk menciptakan robot kecil yang dapat menyerbuki tanaman. Pada prinsipnya, teknologinya sudah kita kuasai. Robot otonom mengenali bunga berdasarkan warna, terbang statis di atasnya, lalu memasukkan alat untuk mengambil serbuk sari. Mungkin meringankan beban lebah yang sebenarnya, komentar saya.
Chandler terlihat ragu. Densley pun seperti kurang antusias. “Saya belum siap menghadapi lebah robot,” katanya. “Rasanya saya lebih suka yang ada saat ini.” Dia, seperti para penggiat lebah lainnya, menunggu keajaiban.
---
Buku terbaru Charles C. Mann 1493: Uncovering the New World Columbus Created. Anand Varma, biolog yang memelihara lebah demi artikel ini, fokus pada foto ilustrasi ilmu pengetahuan.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR