Seharusnya hujan sudah mulai turun di pertangahan November 2015. Di beberapa wilayah di Sumatra Bagian tengah, hujan telah datang dua minggu berselang. Pestapora berkah hujan menenggelamkan kabut asap kedalam buliran air dan jatuh kembali ke bumi.
Tapi hawa panas justru menyengat rimba gambut Semenanjung Kampar, Riau. Belahan timur Sumatra itu seakan berada ditengah kepungan uap panas yang menguar dari tanah, tapi tak mau pergi lantaran masih disungkup lapisan tipis kabut asap di atmosfir.
Saya melangkah tertatih, gambut menenggelamkan kaki hingga ke lutut. Saya seperti berjalan diatas lumpur yang sewaktu-waktu dapat mencelakakan.Beruntung bila bertemu kayu tumbang yang masih kering untuk dijadikan titian. Sayangnya, tak banyak kayu yang masih kuat dan keras. Hampir semuanya sudah termakan usia, lapuk dan rapuh. Saya membayangkan mengambang di sebuah ceruk raksasa, diatasnya jebakan maut bertebaran, siap melumat.
Tak ada angin berembus. Burung-burung bahkan tak bersedia melintas. Mungkin mereka masih menunggu udara panas ini berlalu. Saya berada di sebuah lapangan terbuka yang menyisakan kayu-kayu lapuk.
Dataran itu tampak luas, sementara tutupan hutan masih sangat jauh di depan. Saya terhenyak beberapa kali kekubangan gambut yang agak dalam. Saya berharap dapat menuntaskan perjalanan ini sebelum matahari tenggelam. Jika tidak, maka akan berkemungkinan besar tidur tanpa pengaman. Tenda utama tim survey keragaman hayati Fauna&Flora International (FFI), lembaga dimana saya bekerja, menjorok di dalam hutan. Pukul 3 siang ini bagaikan bergerak lambat, matahari memanggang ubun-ubun.
Saya coba berteriak untuk memberi tahu keberadaan kami kepada tim di tengah hutan. Ini biasa saya lakukan dalam perjalanan yang tidak membutuhkan kesunyian. Namun, jangankan menerima jawaban, gemanyapun bahkan tak terdengar. Dataran terbuka ini sama sekali tak memantulkan suara.!break!
Dari lapangan terbuka dimana saya berada, batas hutan tampak jelas. Pepohonan berjejer tak beraturan tapi membentuk garis tegas. Namun setiap langkah sepertinya tak kunjung mendekatkan saya dengan lokasi itu. Saya mulai frustasi.
Tepian Bagan Pulai di Sungai Serkap, sebuah cabang sungai dari Sungai Kampar yang panjang, sudah satu jam saya tinggalkan. Mungkin butuh waktu tak lama lagi mencapai zona rimba berkanopi.Saya duduk di menghela nafas sembari membayangkan petualangan ini akan membagi kisah-kisah seru. Alih-alih beristirahat dengan tenang, tubuh saya dilanda dedar.
Entah kenapa pikiran saya mulai terpengaruh oleh hal-hal yang tidak menyenangkan. Padahal Manager Restorasi Ekosistem Riau (RER) Kampar Timur, Muhammad Iqbaldan saya baru saja menempuh perjalanan empat jam menyisir sungai Serkap.
Sungai ini membawa saya pada satu dunia yang berbeda. Dimana kebahagiaan baru saja membuncah, ketika menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan liar menentukan nasibnya sendiri.
Di hilir, alur sungai Serkap memang agak lebar, tapi tetap saja membutuhkan kepiawaian mengendalikan tinting, sejenis perahu bermesin terbuat dari baja.Suara mesin tinting seolah mengusik ketengan rimba gambut. Burung berkelepak, ikan berkecipak dan segerombolan babi hutan memandang curiga dari kejauhan. Di atas langit, siluet elang dan tutupan kanopi tampak jelas berlatar awan putih benderang.
Kami sempat singgah sebentar di pos penjagaan kawasan RER. Para penjaga pos menawarkan kopi untuk kami seruput bersama. Beberapa orang nelayan tampak mengikuti aliran air, turun ke muara.
Beberapa minggu yang lalu, para penjaga pos terusik lantaran buaya sinyulong (Crocodylus Schlegelii)sempat singgah memakan makanan sisa di birai mandi.
“Kami ngeri, tempat mandi sudah pindah ke atas” ungkap salah seorang penjaga pos sembari menunjuk hulu sungai.!break!
Padahal, buaya sinyulong bukanlah dari jenis yang berbahaya. Menurut Iqbal, sinyulong merupakan jenis yang memangsa ikan serta hewan-hewan kecil di air. Jenis ini jarang dilaporkan menyerang manusia. Kalaupun ada konflik, biasanya terjadi lantaran buaya tersesat masuk ke perkampungan lantas diburu dan dibunuh.
Sinyulong, lanjut Iqbal, merupakan jenis buaya berukuran kecil dengan moncong panjang dan sempit.
“Moncong inilah yang berfungsi untuk menangkap ikan serta hewan buruan lain. Bentuk moncongnya dirancang guna masuk ke celah sempit dimana mangsa berada. Jadi mustahil jika sinyulog menyerang manusia,” papar Iqbal.
Para penjaga pos melongo mendengar penjelasan Iqbal. Mereka mendapat pengetahuan baru. Pengetahuan yang akan menyebar dari mulut ke mulut, mungkin juga pada para nelayan yang kerap singgah. Para penjaga tak perlu khawatir diserang sinyulong bermoncong panjang, cukup memberi kabar supaya sinyulong dapat melanjutkan kehidupannya.
Sungai Serkap mulai berbelok-belok sebelum melintasi Tasik Tengah, danau alami ditengah sungai. Di pinggiran tasik, beberapa rumah panggung berjejer jarang-jarang. Mereka yang tinggal disana adalah penjaga rumah walet. Burung walet berkeliaran dimana-mana, suaranya mencicit nyaring meramaikan tasik yang senyap.
Melewati Tasik Tengah, Sungai Serkap hanyalah sebuah alur kecil dipenuhi bakung. Berbeda dengan bakung yang selama ini saya kenal, bakung rawa memiliki daun yang lebih lebar. Aliran sungai yang sempit tak jarang membuat dedaunan bakung menampar wajah dari sisi kiri dan kanan.
Kami harus tetap siaga menghindari tamparan bakung. Tak jarangakar bakung justru melilit kipas baling-baling mesin tinting. Kami harus berupaya melepas lilitan itu supaya tinting dapat berjalan dengan mulus.
Suhu terasa sangat ekstrim, air dibawah kami sangat sejuk. Ingin rasanya berendam kedalamnya jika tak harus berburu waktu. Warna air tampak kecokelatan,tumbuhan lapuk larut didalamnya. Ini menjadi semacam pewarna alami yang menyejukkan.Sementara dibagian atas, udara terik seakan melelehkan tubuh kami. Walau telah terlindung pakaian, hawa panasnya masih sangat membuat gerah.
Iqbal sempat menuturkan pikiran segarnya mengolah bakung untuk dijadikan bahan bakar. Ide ini mungkin menarik karena potensi bakung cukup besar. Tapi tentu membutuhkan kajian yang cukup dalam.!break!
Di Bagan Pulai, kami menambatkan tinting. Perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju tenda utama. Tak sampai dua menit, saya merasakan pusing dan mual. Sahabat saya, Donny berpengalaman berjalan di rawa gambut menyarankan untuk segera muntah.Saya mengikuti sarannya, mengorek sedikit kedalam kerongkongan lantas memuntahkan cairan dari lambung.
Ekosistem gambut memang unik karena selalu digenangi oleh air. Kondisi ini membuat tingkat keasaman gambut lebih tinggi. Pelapukan berlangusung lama, karenanya bekas tumbuhan mati akan menjadi cadangan bahan organik yang lama terurai lantaran pengurai enggan hidup dalam kondisi miskin oksigen di dalam tanah.
Walau demikian, kata Iqbal, kawasan gambut dikaitkan dengan tingkat keragaman genetik yang tinggi. Karena keunikannya, maka keragaman hayati yang dikandung oleh kawasan gambut juga khas.
“Ini yang sedang kita teliti,” kata Iqbal sesampainya kami di tenda utama penelitian.
Sejauh ini, tim riset sudah menemukan beragam spesies. Beberapa sampel yang mereka dapatkan dilapangan sudah kembali dilepas ke alam setelah proses identifikasi.
Saya penasaran dengan cerita Iqbal tentang berbagai jenis mamalia yang ada di kawasan ini. Saya mencoba mengikuti tim penjebak kelelawar. Malam segera akan tiba. Cahaya matahari sudah redup ketika tim ini bekerja.
Mereka sedang memasang jebakan harpa, sebuah jebakan yang direntangkan disela-sela pohon. Jebakan harpa sendiri terbuat dari benang nilon yang diikat membujur dan rapat. Benang-benang ini disangga oleh besi penopang dibagian atas dan bawah. Sementara itu, tiang penyangga terbuat dari kayu. Di bagian bawah, sebuah penampung kain bewarna putih tersangkut di tiang kayu, gunanya menampung kelelawar yang jatuh.
Tim ini mengikatkan jebakan harpa diantara dua pohon yang cukup besar. Menurut mereka, kelelawar biasanya lewat diantara celah tersebut.
Saya berpapasan dengan tim survey burung yang baru saja kembali menuju tenda utama. Tanpa banyak suara, tim ini melewati jebakan harpa. Saya mahfum dengan kondisi itu, tim survey burung memang tak banyak bersuara jika sedang bekerja. Suara bagi mereka hanyalah kicauan burung dan suara gesekan dedaunan yang tertiup angin.
Saya sudah bersiapkembali ke tenda utama dengan pencahayaan seadanya bersama tim jebakan harpa ketika tim survey herpet (hewan melata) lewat. Tim ini akan mencari jenis-jenis hewan melata yang aktif bergerak dimalam hari. Tapi saya sudah sangat kelelahan untuk terlibat pencarian itu. Tim survey herpet membawa lampu-lampu besar sebagai penerang. !break!
Sesungguhnya saya sudah meniatkan menanti tim survey herpet kembali untuk mendengar kisah-kisah mereka dari dalam hutan gambut itu. Tapi kantuk mendera tanpa ampun, saya pulas tertidur diatas lantai beralaskan karung goni.
“Setelah semua survey selesai, kami akan melanjutkan dengan analisa,” kata Iqbal disela sarapan pagi kami.
Tenda utama itu agak riuh setelah tim survey burung meninggalkan kami pagi-pagi buta. Sementara saya memancing Iqbal untuk terus berkisah. Iqbal menurut saya adalah pribadi unik, memiliki pemahaman dan pengetahuan yang luas.
Keragaman hayati, lanjutnya, adalah salah satu survey yang sedang dilakukan. Sudah setahun terakhir, tim survey yang terdiri dari beberapa kelompok kecil melakukan riset di wilayah seluas 120 ribu hektar milik RER. Dengan pemahaman yang cukup lengkap tentang keragaman spesies, RER lantas meletakkan kerangka dasar konservasi lahan gambut pada landasan yang cukup kuat.
“Jadi bukan melulu berdasarkan anggapan bahwa kawasan gambut ini kaya keragaman hayati, tapi anggapan itulah yang coba kami buktikan,”tandas Iqbal.
Keragaman jenis kucing di kawasan gambut ini dikisahkan kembali oleh Safrina Ayu Trisnawati yang sempat tiga kali berpapasan dengan Harimau Sumatra.
Saya bertemu Safrina disela kesibukannya menyusun ulang kamera-kamera jebak dari lapangan sekembalinya saya dari penjelalahan di Sungai Serkap. Safrina merupakan kordinator untuk tim kamera jebak. Dia dan timnya sudah memasang setidaknya 225 titik kamera jebak di kawasan RER.
“Kami tiga kali berjumpa langusung dengan harimau,” kisahnya.
Perjumpaan pertama sekitar bulan April 2015, dua bulan setelah dia bergabung dengan tim FFI. Dia mengisahkan saat itu bersama tim kamera jebak berada dalam mobil. Tiba-tiba harimau keluar dari semak dan mengibaskan tubuhnya yang basah ditengah jalan. “Terang saja mobil berhenti, kami menunggu harimau berlalu,” katanya.
Pada Juni 2015, dia kembali melihat harimau melintas saat memasang kamera jebak di dalam hutan. “Kami harus menginap di tempat tidur gantung di atas pohon usai memasang kamera jebak,” imbuhnya.
Pertemuan ketiganya dengan harimau terjadi dekat lokasi perumahan RER di Kecamatan Teluk Meranti, Pelalawan, Riau.Pertemuan ini menandakan harimau sebagai predator utama di kawasan RER masih bisa hidup. !break!
Di dalam hutan, saya masih menjumpai jejak babi sebagai mangsa utama. Jejak babi ditandai dengan dua kuku depan yang menancap dalam ke tanah. Selain itu, keyakinan saya diperkuat karena ditemukan banyak jejak yang menandakan babi hidup dalam kelompok besar.
“Jika rusa atau kambing hutan, jejaknya tentu tak sebanyak ini,” kata Iqbal.
Seekor raja udang bertengger di dahan yang menjorok ke sungai ketika saya melintas Sungai Serkap menuju hilir. Saya meminta mesin tinting dimatikan agar tak mengganggu si raja udang. Tinting yang membawa kami hanyut dibawah ranting dimana si raja udah berada. Burung itu tak bergerak, matanya menatap lurus kedepan.
Saya mulai curiga, mungkin burung ini sedang mengintai makanan. Kami meghentikan laju tinting lalu menunggu. Tapi tak berapa kejap, si raja udang bergerak cepat lalu menukik kedalam air. Kejadian yang begitu tiba-tiba sehingga saya tak sempat lagi menyetel tombol kecepatan tinggi di kamera yang berada di tangan saya. Mungkin saya belum beruntung.
Penyesalan saya terobati karena teriakan si raja udang terdengar keras. Sayangnya pada perburuan pertama itu dia luput. Ikan tak menyangkut di paruhnya yang besar itu. Burung itu terus berteriak dan berlalu. Seketika itu pula saya dirundung rasa bersalah. Mungkin saja kehadiran kami merubah peruntungan si raja udang.
Di tasik yang agak kecil, kerindangan pohon menutupi cahaya matahari. Suasana terasa lebih sejuk ketika kami memutuskan berhenti untuk rehat siang dari perjalanan pajang menyisir kawasan RER itu. Saya bercakap-cakap pelan dengan Iqbal dan Donny. Takut kegaduhan kami kembali merubah peruntungan satwa yang ada di sekitar tasik.
Saya menikmati secangkir kopi hangat yang kami masak diatas tinting. Air gambut yang cokelat berubah warna menjadi kehitaman lantaran diseduh dengan bubuk kopi. Kemewahan ini segera akan berakhir saat kemi memutuskan untuk kembali ke hilir. Tapi kami membiarkan waktu berjalan cepat hingga tak terasa matahari sudah condong.
Bayangan pepohonan sudah miring. Kembali kami harus dihukum waktu untuk segera kembali jika tak mau bermalam di jalan. Kawasan rawa gambut menyisakan keheningan yang sudah mulai akrab di pikiran saya, tapi tugas kami belum selesai. Menjaganya agar tetap lestari adalah pekerjaan rumah yang tidak sebentar.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR