Saya dan teman-teman seperjalanan segera berkemas menunggu jemputan tim National Geographic. Kami segera memulai perjalanan yang bermula dari Arusha, kota yang berlatar Gunung Meru.
Gunung Meru berada di sisi barat Gunung Kilimanjaro. Saya teringat ketika hendak mendarat, tiba-tiba sang pilot memberikan kesempatan langka kepada para penumpang, yang hampir seluruhnya pelancong. Pilot mengarahkan pesawat sehingga memberikan sudut bidik yang sempurna. Semua penumpang menyaksikan dengan takjub pemandangan Kilimanjaro yang berselimut salju dalam senja yang keemasan.
Awalnya, saya mengira Tanzania adalah negeri yang panas, kering, gersang, berdebu—layaknya gambaran yang mewakili Afrika. Semua khayalan sirna setelah menyaksikan kota ini. Negeri ini sangat hijau nan indah, berbukit-bukit dengan kabut putih yang menyelimuti barisan pegunungan yang mengelilingi kota.
Kami melalui perjalanan nan panjang, menyaksikan suasana kota hingga desa terpencil. Kendaraan berpenggerak empat roda kami menyeberangi sungai, melintasi tikungan tajam berkali-kali di jalanan tanah yang berdebu.
Saat makan siang tiba, kami menghentikan kendaraan. Segera tim National Geographic menyiapkan makan siang kami di alam terbuka. Penduduk lokal pun berbaur bersama kami, saling berbagi cerita dan bekal perjalanan. Anak-anak kecil, dengan wajah malu-malu tapi mau, mencoba menarik perhatian kami. Saya dengan senang hati mengajak mereka bercanda ria bersama. Betapa indahnya kebersamaan ketika penduduk dunia saling bersahabat dan berbagi bersama.
“Jambo! Hakuna Matata! Asante!” Itulah kata-kata yang kerap saya gunakan.
Seruan jambo, digunakan untuk menyapa seperti “halo”; hakuna matata, artinya tak perlu khawatir semuanya akan baik-baik saja; dan asante digunakan untuk mengucapkan terima kasih. Sebelum memulai penjelajahan ini, saya dan teman-teman seperjalanan memang telah dibekali sedikit bahasa Swahili.
Kendati hanya beberapa patah kata, setidaknya saya bisa sedikit berbincang dengan warga setempat saat singgah di desa mereka. Semakin masuk ke pedesaan, saya banyak menjumpai warga dengan aneka kebiasaan. Salah satu pemandangan lucu: saya menjumpai empat warga yang bepergian dengan satu sepeda menyusuri jalan tanah pedesaan. Dan, hebatnya mereka bisa menjaga keseimbangan dengan baik. Saya tidak hanya sekali menjumpai pemandangan ini di pedalaman Tanzania.
Persinggahan pertama kami adalah daerah Danau Eyasi. Kami menemui dan tinggal bersama suku Hadza, kampung para pemburu yang masih mempertahankan gaya hidupnya sejak ribuan tahun yang lalu. Berkemah selama lima hari di tengah hutan dengan sungai bening yang mengalir, sungguh berkesan. Saya mencoba berbaur mengikuti irama hidup warga, juga mendengarkan dan mempelajari tatanan hidup suku mereka.
Suku Hadza dipimpin oleh seorang kepala suku. Mereka tinggal dalam rumah yang dibuat dari ranting dan daun pepohonan yang disusun menjadi atap dan dinding. Bahkan, mereka masih menghidupkan api dengan kayu yang digosok ke batu. Berburu monyet dan tupai untuk makanan sehari-hari sudah menjadi kebiasan leluhur yang diwariskan kepada suku ini.
Saya memicingkan mata ketika menyaksikan titik-titik hitam berbaris di kejauhan. Kawanan wildebeest sedang bermigrasi membentuk barisan panjang tak berujung!
Ada yang unik dalam tatanan kehidupan suku Hadza, khususnya perempuan. Sejak usia kandungan tujuh bulan, ia harus tinggal dalam batang pohon besar yang bisa digunakan sebagai tempat tinggal sambil menunggu kelahiran. Menurut adat, tujuannya untuk melindungi si ibu hamil dari hujan dan panas serta serangan binatang liar.
Lelaki suku Hadza sangat piawai berburu dengan membuat panah sendiri. Selain itu, para lelaki juga sangat pandai mengenali jenis tumbuhan, baik tanaman beracun maupun tanaman obat dan makanan. Mereka mengenalinya lewat kemampuan dalam mengenali rasa dan aroma. Selain konsumsi daging hasil berburu, mereka juga menyantap umbi-umbian dan tanaman hutan sebagai makanan pokok. Danau Eyasi, tidak jauh dari perkampungan suku Hadza, memiliki kandungan mineral tinggi. Pemandangan yang sungguh menakjubkan ketika kami menyusuri tepiannya sembari menyaksikan ribuan flamingo menjelang senja. Saya sungguh menikmati setiap ayunan kaki ketika mendaki bukit, melintas sungai, menjamahi perkampungan, dan menikmati indahnya taman nasional dari ketinggian Tanzania. Bunga-bunga liar yang bermunculan di sepanjang jalan setapak, membuat kami lupa bahwa kami telah berjalan sembilan jam.
Kami membuka tenda di kawasan Ngorongoro. Lantaran beratapkan taburan berjuta-juta bintang, kami bertahan untuk tetap terjaga menikmati kerlip langit yang sayang untuk dilewatkan.
Ketika meregangkan tangan dan punggung, kabut pagi menggantung di bukit-bukit sabana di sekeliling lembah. Saya memicingkan mata ketika menyaksikan titik-titik hitam berbaris di kejauhan. Kawanan wildebeest sedang bermigrasi membentuk barisan panjang tak berujung!
Sungguh pagi yang memancarkan pesonanya. Saya bergegas mendekati kawanan satwa itu untuk mengabadikan migrasi yang menakjubkan. Keinginan terpendam untuk dapat melihat langsung rupa-rupa satwa liar Afrika semakin bergelora. Kami jumpai sang gajah afrika yang hitam besar dengan gading putih yang panjang. Nyali ini bergetar ketika kawanan gajah mulai mendekati kendaraan kami. Mereka beringsut sembari menjulur-julurkan belalainya. Gajah afrika berperawakan besar dengan bentuk telinga yang berbeda dengan gajah sumatra kita.
Suatu kali nyali kami tak sekadar bergetar, tetapi juga runtuh. Saya terbelalak ketika memasuki Kawah Ngorongoro. Kawanan singa berputar-putar mendekati kendaraan kami.
Saya pun bertanya kepada awak perjalanan, apakah aman untuk memotret dengan jarak sedemikian dekat. Lantaran kawanan singa semakin mendekati, kendaraan kami beringsut guna memberi jarak aman untuk memotret.
Ternyata spot yang kami kunjungi adalah kawasan mata air, tempat berkumpulnya binatang liar yang setiap saat datang dan pergi untuk minum. Ada sekawanan singa yang bermalas-malasan di pinggir kolam, sementara rusa cantik berkejaran, dan jerapah bersama anak-anaknya turun minum.
“Serengeti tak ternilai harganya. Sungguh penting untuk bisa dinikmati cucu dan buyut kita sebagai pengingat seperti apa dunia ini sebelumnya.”
Tampak juga badak yang dengan tenangnya berjalan sendiri, seolah tidak ingin diusik saat menikmati segarnya air. Di punggungnya, burung-burung hinggap dan berceloteh. Hari itu saya menjadi saksi kehidupan alam liar yang harmonis. Ketika perjalanan keluar dari Kawah Ngorongoro, saya sempat menyaksikan cheetah si pelari tercepat yang diam-diam memperhatikan kami dari balik ilalang.
Kampung ole dorop, sebuah permukiman tua suku Maasai, menjadi tempat kami singgah untuk berdiskusi dan mempelajari kebudayaan dan tatanan hidup mereka. Kami disambut tarian legendaris suku Maasai dengan lompatan- lompatan tinggi. Busana para perempuannya memiliki kekayaan warna. Setelah berbincang dengan warga, saya baru tahu bahwa mereka memiliki budaya poligami. Lelaki yang memiliki banyak sapi akan memiliki istri yang banyak pula. Lelaki dianggap kaya raya jika memiliki banyak sapi. Para istri dan anak-anaknya dikumpulkan dalam satu perkampungan keluarga. Setiap istri dibuatkan satu rumah. Pasalnya, di sini ada anggapan bahwa seorang lelaki dianggap kaya apabila bisa memiliki puluhan istri sekaligus. Bukan suatu hal garib di Ole Dorop, apabila satu keluarga bisa membentuk sebuah perkampungan yang memiliki hubungan darah.
Dalam budaya suku Maasai seorang anak lelaki akan dinobatkan menjadi prajurit Maasai setelah melewati upacara inisiasi. Dalam upacara itu digelar dengan mengurbankan seekor kambing dengan cara menyembelihnya tepat di nadi di lehernya. Darah kambing itu ditampung dalam mangkuk, lalu diminum segera oleh anak lelaki yang akan dinobatkan menjadi prajurit Maasai.
akhirnya, saya berjejak di Taman Nasional Serengeti. Kawasan lestari ini merupakan warisan budaya dunia yang diakui oleh Persatuan Bangsa-Bangsa karena ekosistemnya termasuk yang tertua di dunia. Kawasan lestari ini resmi dibuka pada 1951.
Berbeda dengan wajah Ngorongoro yang berbukit-bukit, Serengeti merupakan dataran sabana nan luas dengan batu batu granit yang besar tempat berkumpulnya hewan liar seperti wildebeest, cheetah, singa, leopard, jerapah, hingga kerbau liar. Perkemahan kami berada di tengah-tengah konsentrasi peredaran hewan liar.
Auman singa terdengar menggelegar bersahutan pada setiap malam. Demi alasan keamanan, ketika hari mulai gelap, kami dilarang untuk keluar tenda. Saya juga khawatir apabila satwa-satwa buas itu berkeliaran di seputar perkemahan.
Di taman nasional ini saya mengenal berbagai puspa dan satwa, yang tak dijumpai di Tanah Air. Saya berharap kawasan ini meletupkan kesadaran untuk menjaga kelestarian alam. Keseimbangan ekosistem, saya pikir, bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia dan planet ini.
Jane Goodall, seorang ahli primata kawakan yang pernah singgah ke taman nasional ini sekitar enam dekade silam, pernah berkata kepada seorang jurnalis National Geographic. “Serengeti tak ternilai harganya,” ujarnya. “Sungguh penting untuk bisa dinikmati cucu dan buyut kita sebagai pengingat seperti apa dunia ini sebelumnya.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR