Jes... jes... tut.... Derak dan peluit lokomotif uap B2502 berbahan bakar kayu jati kering menjadi semacam "soundtrack" yang menemani 80 penumpang Kereta Api (KA) Wisata Pegunungan yang melintasi rel sepanjang 18 kilometer.
Perjalanan yang mengesankan selama dua jam dari Stasiun KA Ambarawa di 474 meter di atas permukaan laut (mdpl) menuju Stasiun Jambu di 478 mdpl. Terus menanjak hingga Stasiun Bedono di 711 mdpl.
Laju perlahan roda dan rel bergerigi mendaki di kemiringan 30 - 60 derajat memungkinkan para penumpang menikmati bentang Rawa Pening, Gunung Ungaran, Telomoyo, dan Merbabu di kejauhan. Museum terbuka ini menempati Stasiun KA Ambarawa–dulu Stasiun Willem I–yang berdinas selama 21 Mei 1873–1964 di area 127.500 meter persegi.
Awalnya, stasiun di kota kecil 35 kilometer selatan Semarang ini ditujukan untuk mempermudah pengangkutan pasukan Belanda ke Semarang. Di sini, tersimpan 21 lokomotif yang pernah berperan mengangkut tentara Indonesia di halaman utara dan barat museum. Loko terawat baik dengan cat relatif baru. Pengunjung pun berkerumun, antri bergaya berfoto di depan loko.
Bangunan utama museum peninggalan Hindia Belanda menyimpan koleksi perlengkapan operasional stasiun dalam dua ruang utama. Satu ruang lain yang menyatu dengan bagian penjualan tiket wisata kereta tertata klasik bak ruang tamu Eropa. Sebagian benda bersejarah dibiarkan di tempat semula di peron, seperti genta (sign cross).
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR