Nationalgeographic.co.id - Sebuah kendi kuno ditemukan dalam penggalian arkeologi di Quaotou, 500 kilometer di selatan Shanghai, Tiongkok. Ketika diteliti, ternyata kendi itu memiliki fungsi untuk minum bir oleh masyarakat Tiongkok selatan pada 9.000 tahun silam, dan menjadi salah satu temuan tertua terkait praktik konsumsi bir.
Hasil analisa itu diungkap oleh Jiajing Wang, peneliti arkeologi Dartmouth College, bersama tim Zhejiang Provincial Institute of Cultural Relics and Archaeology. Para peneliti memberikan hasil laporannya berjudul Early evidence for beer drinking in a 9000-year-old platform mound in southern China di jurnal PLOS ONE, Selasa (31/08/2021).
Kendi itu ditemukan dalam gundukan, yang dikelilingi parit buatan sedalam 1,5 meter. Tidak ada sisa bangunan apapun di sekitarnya, selain dua kerangka manusia di gundukan sebagai jasad yang dimakamkan.
Selain itu dalamnya juga beberapa tembikar berbagai ukuran, berlubang dengan berkualitas tinggi, dan dicat putih dengan dekorasi abstrak. Para peneliti menyebutnya sebagai tembikar lukis paling awal yang diketahui dunia, dan tidak ditemukan semacam itu di situs lain yang berhubungan dari periode masa itu.
Pada kendi yang mengandung bir, hasil itu diungkap lewat analisis residu mikrofosil seperti pati, fitolit (sisa tanaman yang menjadi fosil), dan jamur. Analisis itu mengesktrak bagi permukaan bagian dalam bejana. Hasil residu dibandingkan dengan sampel kontrol yang diperoleh dari tanah di sekitar bejana lain di sekitarnya.
Hasilnya, residu mikrobiotani dan mikroba semacam jamur dan ragi ditemukan di dalam kendi. Asalnya adalah bahan untuk fermentasi bir, dan tidak ditemukan secara alami sebagai dampak dari tanah atau terpapar artefak lain, kecuali jika memang mengandung alkohol.
Baca Juga: Bir Sudah Ada di Zaman Kuno, Mari Lihat Peradaban yang Doyan Mabuk
"Melalui analisis residu kendi dari Qiaotou, hasil kami mengungkapkan bahwa wadah tembikar digunakan untuk menampung bir, dalam pengertian yang paling umum—minuman fermentasi yang terbuat dari beras (Oryza sp.), biji-bijian yang disebut Jali (Coix lacryma), dan umbi-umbian yang tidak dikenal," kata Jiajing Wang, dikutip dari Eurekalert.
Hasil penelitian juga menunjukkan adanya sekam padi dan tanaman lain pada residu kendi. Wang dan tim memperkirakan, kandungan itu muncul sebagai bahan tambahan pada bir untuk fermentasi.
Peradaban Tiongkok selatan kuno di sepanjang lembah Sungai Yangtze, domestikasi beras baru terjadi secara bertahap antara 10.000 dan 6.000 tahun silam. Para peneliti memperkirakan, hasil penanggalan 9.000 tahun ini menandakan penggunaan beras masih sangat awal didomestikasi manusia.
Baca Juga: Kerangka Sepasang Kekasih di Tiongkok: Bukti Pengorbanan Cinta
Sebagian besar pola masyarakat di masa itu adalah pemburu-pengumpul yang mengandalkan makanan dengan daging. Wang dan rekan-rekannya berpendapat, bir ini digunakan masyarakat Qiaotou kuno sebagai minuman penting ritual, mengingat unsur beras dalam kendi yang ditemukan sebagai gambaran betapa sulitnya pemanenan beras dan membutuhkan tenaga.
Tetapi, meningat artefak di Qiaotou ini berada di sekitar daerah makam kuno, para peneliti menyimpulkan bahwa kendi bir ini digunakan dalam upacar ritual yang berkaitan dengan penguburan jenazah.
Dalam spekulasinya, ritual minum itu kemungkinan merupakan bagian integral dalam hubungan sosial dan kerja sama, yang berfungsi sebagai pendahulu masyarakat pertanian yang kompleks pada 4.000 tahun setelahnya.
Terkait residu jejak jamur pada kendi, diyakini sebagai bahan penggunaan proses pembuatan bir. Jamur pada kendi ini sangat mirip dengan jamur yang ada di koji atau bahan untuk membuat sake dan minuman fermentasi beras lainnya dalam kebudayaan Asia Timur.
Baca Juga: Pabrik Bir Tertua di Dunia Ditemukan di Mesir, Pasok Kebutuhan Ritual
Secara teknis, bir sebagai minuman fermentasi sejatinya menggunakan tanaman melalui proses transformasi dua tahap. Pada fase pertama, enzim mengubah pati menjadi gula, atau sakarifikasi. Kemudian dalam tahap kedua, ragi mengubah gula menjadi alkohol dan zat lain seperti karbon dioksida (proses fermentasi).
Jamur pada pot ini sendiri berperan sebagai bahan dalam kedua proses tersebut, dengan fungsinya sebagai pemicunya.
Para peneliti menulis, temuan ini mendahului penelitian sebelumnya yang memaparkan bahwa jamur digunakan sebagai fermentasi pada 8.000 tahun yang lalu di Tiongkok.
"Kami tidak tahu seperti apa masyarakat orang cetakan 9.000 tahun yang lalu, karena penjamuran juga dapat terjadi secara alami,” kata Wang. "Jika orang-orang itu memiliki sisa beras dan biji-bijian menjadi berjamur, mereka mungkin telah memperhatikan bahwa biji-bijian menjadi lebih manis dan beralkohol seiring bertambahnya usia.
"Sementara mereka mungkin tidak mengetahui biokimia yang terkait dengan biji-bijian yang menjadi berjamur, mereka mungkin mengamati proses fermentasi dan memanfaatkannya lewat coba-coba," terkanya.
Baca Juga: Bukan Roti, Nenek Moyang Manusia Mengolah Gandum untuk Membuat Bir
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR