Annas mencoba membuang bangkai tikus ke saluran pembuangan air, tapi mendapat protes dari petani yang memanfaatkan saluran pembuangan tersebut sebagai sumber air ke petakan sawahnya. Sehingga timbul ide Annas untuk membangun alat penampung bangkai tikus yang terbuat dari beton dan mampu menampung hingga 10.000 ekor tikus. Terpikir kembali oleh Annas, bangkai-bangkai tikus ini mau diapakan.
Annas tertantang kembali untuk membuat suatu kajian lebih lanjut. Dia mencoba melakukan kajian, meneliti tikus-tikus yang masuk perangkap dibenamkam ke dalam air dalam drum kemudian memasukkan ke sumur komposter yang dilengkapi dengan penyekat untuk memisahkan limbah kasar seperti kulit, bulu, gigi dan tulang tikus dengan cairan.
Proses pengomposan dilakukan selama 6 sampai 8 bulan. Sumur komposter juga dilengkapi dengan pipa yang memiliki kran berfungsi mengatur aliran hasil pengomposan bangkai tikus sepanjang sawah yang akan menggunakannya sebagai pupuk alternatif. Satu kali pengomposan hasilnya dapat digunakan sampai dua kali musim tanam.
Hasil dari pengomposan bangkai tikus yang berupa pupuk cair telah dicobakan di lahan persemaian milik Annas dan hasilnya membuat benih tumbuh dengan subur tanpa menggunakan pupuk kimia lagi. Berdasarkan temuannya ini, banyak petani yang tidak hanya berasal dari kabupaten Pinrang tapi juga berasal dari kabupaten lain, bahkan dari luar Sulsel, datang belajar tentang budidaya padi ke padanya.
Selain itu dia juga diundang sebagai narasumber pada pertemuam-pertemuan membahas tentang mengatasi hama tikus. Berkat kepiawaiannya merancang perangkap tikus, tanaman padi di Pinrang Sulawesi Selatan terbebas dari hama pengerat itu. Juga bangkai tikus difermentasi menjadi pupuk organik cair.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR