Annas Tika, 40 tahun, petani peneliti tikus dari Kecamatan Cempa, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan yang merangkap sebagai penyuluh pertanian swadaya.
Annas berdomisili sekitar 250 kilometer utara Makassar, Sulsel. Sejak tamat SMP tahun 1987 memilih untuk menjadi petani dengan menggarap sawah sendiri warisan orang tuanya seluas 0,5 ha.
Pada saat itu mayoritas petani di desa Annas banyak yang membiarkan sawahnya tidak digarap bahkan ada yang menjual sawahnya karena adanya serangan hama tikus yang membuat petani merugi sampai 80 persen setiap tahun, namun Annas penuh keyakinan untuk meneruskan usaha ini. Tapi apa yang menjadi anggapan sebagian besar masyarakat tentang bahaya hama tikus ternyata harus dialami juga oleh Annas.
Bertahun-tahun tanaman padinya dimangsa tikus, lalu terbetik ide untuk membuat perangkap tikus.
Ia mengamati perilaku tikus yang bersarang di pematang sawah. Ia juga menemukan pola penyerbuan kawanan tikus pada malam hari, dengan lebih dulu menyusuri pematang sawah.
Tahun 1991, Annas mencoba menggunakan plastik yang dipasang di pematang untuk menghalau tikus. Cara ini ternyata menurut Annas tidak maksimal karena sifat plastik yang mudah rusak. Berbagai eksperimen dilakukannya, sampai pada akhirnya, pada 1992, menemukan ide membangun perangkap tikus secara permanen, dengan membangun tembok di sekeliling sisi luar pematang sawahnya.
Namun ia mengalami kendala dari segi keuangan untuk pembangunan tembok tersebut. Dengan berbekal modal Rp300.000 dibangun tembok perangkat tikus secara bertahap sampai tahun 1994. Annas membangun tembok di sekeliling sisi luar pematang sawahnya. Tembok berupa cor semen dan pasir itu menyerupai benteng setinggi 70 cm dengan ketebalan 10-15 cm. Bagian luar tembok dipoles semen sampai mulus. Dengan permukaan tembok yang halus dan licin, tikus kesulitan memanjat dan menjangkau tanaman padi.
Pada bagian bawah tembok, 10 cm dari permukaan tanah dibuat lubang berdiameter 5-7 cm (kira-kira seukuran lingkar badan tikus dewasa). Lubang itu tembus dari bagian luar tembok hingga dalam. Untuk tembok yang mengelilingi lahan 1 hektare, jumlah lubang yang dibuat 50 buah. Pada bagian dalam tembok, khususnya di mulut bagian dalam di pasang kotak perangkap berbahan kawat ram.
Mulut kotak perangkap dilekatkan menganga persis pada lubang. Lalu, pada bagian mulut lubang dibuatkan semacam bubu, yang ukurannya dibuat sedemikian rupa agar tikus yang terlanjur masuk perangkap sulit lolos keluar tembok.
Tahun 1999, Annas kembali melanjutkan pembangunan tembok perangkat tikusnya. frekuensi dan jadwal tanam sampai 4 kali dalam 13 bulan. Setelah berjalan selama satu musim tanam, apa yang dikerjakan Annas membuahkan hasil, tercapai panen 4 kali dalam 13 bulan. Dan hama tikus yang menjadi momok bagi petani dapat diatasi.
Dalam semalam Annas bisa menangkap tikus 300 – 400 ekor bahkan pernah mencapai 800 ekor. Petani yang lainnyapun sudah merasakan manfaat tembok buatannya.
Bangkai menumpuk
Namun pada 2006 kembali muncul masalah, bangkai tikus yang jumlahnya ratusan itu menjadi masalah karena menimbulkan pencemaran lingkungan. Bangkai tikus yang sebelumnya dibiarkan menumpuk sampai busuk menimbulkan bau yang menyengat, hal ini menjadi protes dari warga sekitarnya.
Annas mencoba membuang bangkai tikus ke saluran pembuangan air, tapi mendapat protes dari petani yang memanfaatkan saluran pembuangan tersebut sebagai sumber air ke petakan sawahnya. Sehingga timbul ide Annas untuk membangun alat penampung bangkai tikus yang terbuat dari beton dan mampu menampung hingga 10.000 ekor tikus. Terpikir kembali oleh Annas, bangkai-bangkai tikus ini mau diapakan.
Annas tertantang kembali untuk membuat suatu kajian lebih lanjut. Dia mencoba melakukan kajian, meneliti tikus-tikus yang masuk perangkap dibenamkam ke dalam air dalam drum kemudian memasukkan ke sumur komposter yang dilengkapi dengan penyekat untuk memisahkan limbah kasar seperti kulit, bulu, gigi dan tulang tikus dengan cairan.
Proses pengomposan dilakukan selama 6 sampai 8 bulan. Sumur komposter juga dilengkapi dengan pipa yang memiliki kran berfungsi mengatur aliran hasil pengomposan bangkai tikus sepanjang sawah yang akan menggunakannya sebagai pupuk alternatif. Satu kali pengomposan hasilnya dapat digunakan sampai dua kali musim tanam.
Hasil dari pengomposan bangkai tikus yang berupa pupuk cair telah dicobakan di lahan persemaian milik Annas dan hasilnya membuat benih tumbuh dengan subur tanpa menggunakan pupuk kimia lagi. Berdasarkan temuannya ini, banyak petani yang tidak hanya berasal dari kabupaten Pinrang tapi juga berasal dari kabupaten lain, bahkan dari luar Sulsel, datang belajar tentang budidaya padi ke padanya.
Selain itu dia juga diundang sebagai narasumber pada pertemuam-pertemuan membahas tentang mengatasi hama tikus. Berkat kepiawaiannya merancang perangkap tikus, tanaman padi di Pinrang Sulawesi Selatan terbebas dari hama pengerat itu. Juga bangkai tikus difermentasi menjadi pupuk organik cair.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR