Melalui bambu runcing, perjuangan kaum muslimin bergelora. Penggunaan bambu runcing sebenarnya telah ada jauh sebelum masa pendudukan Jepang, hanya saja menjadi lebih populer saat diperankan oleh para umat muslimin di Parakan dan Temanggung.
"Dialog antara Kyai Subchi dan Haji Noer, menghasilkan keputusan menggunakan cucukan atau bambu runcing sebagai senjata perang terhadap jepang" tulisnya. Bambu runcing dipilih lantaran mudah dibuat, tidak memiliki banyak biaya juga. Selain itu, bambu memiliki sifat membahayakan atau mematikan bila melukai tubuh manusia.
Berbekal bambu runcing dalam menghadapi sisa-sisa tentara Jepang, Kyai Subchi menggembleng iman rakyatnya dengan ungkapan, "hidup dan mati kita di tangan Allah, mati dalam perang itu syahid, sorga adalah hadiahnya".
Baca Juga: Membuka Pesan di Balik Lagu Internationale untuk Perjuangan Buruh
Menjelang perang, pada moncong-moncong bambu runcing ditiupkan do'a-do'a dari para kyai. Ritual ini disebut sebagai penyepuhan, yang dilakukan setelah shalat dzuhur. Pasukan Jepang akhirnya berhasil dipukul mundur. "Pekikan takbir sambil menghunuskan bambu runcing adalah bukti semangat perjuangan keislaman yang digelorakan" tulis Muchsinuddin.
Selepas peristiwa pertempuran di Parakan, BMT kemudian turut andil dalam perlawanan menghadapi sekutu dalam agresi militer Belanda yang berkecamuk pada 1948. Bambu runcing yang menjadi khas 'Barisan Kyai' (BMT), berhasil juga membunuh para serdadu sekutu, hingga akhirnya mengusir sekutu dari Indonesia.
Semangat-semangat tersebut dilandasi pada keimanan. Adanyta seruan dan semboyan yang berbunyi "cinta tanah air sebagian daripada iman" yang menggugah semangat perjuangan. Douwes Dekker dalam pandangannya menyebutkan bahwa "kalau tanpa semangat islam, maka sudah lenyap kebangsaan dari bumi Indonesia".
Baca Juga: The Sin Nio dan Ho Wan Moy, Srikandi Tionghoa untuk Kemerdekaan
Source | : | Repository UGM,Repository UNISSULA |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR