Nama Georg Everhard Rumphius (1627-1702) yang asli Jerman, Monsinyur Andreas Petrus Cornelius Sol, MSC yang kini berusia 99 tahun, dan Kepulauan Maluku—khususnya Ambon—dalam satu garis lurus, satu tarikan napas.
Rumphius dan Mgr Sol mewakili dan meneladani ketekunan luar biasa. Rumphius mendokumentasikan kekayaan Maluku, khususnya di bidang botani, mengabdikan seluruh hidupnya lebih dari 50 tahun di Ambon, dan menyelesaikan ensiklopedia tiga buku karya besarnya. Amboinsch Kruid-Boek atau Herbarium Amboinense adalah adikaryanya.
Rumphius menulis ensiklopedia tentang Maluku itu dalam keadaan buta karena sakit glaukoma dan berhasil berkat bantuan istrinya, Susanna, yang meninggal disapu tsunami pada 1674. Untuk menghormati jasa Rumphius, pada 1973 diselenggarakan Ekspedisi Rumphius yang pertama.
Mgr Andreas Sol, Uskup (Emeritus) Keuskupan Amboina, mengumpulkan karya Rumphius dan mendirikan perpustakaan di kompleks Katedral Keuskupan Amboina, Jalan Pattimura, Ambon, pada 1984, yang sudah dirintisnya sejak 1964. Berkat koleksi buku yang jumlahnya lebih dari 7.000 buah— sebagian besar berbahasa Belanda dan langka serta tidak bisa didapatkan di perpustakaan dunia mana pun—historisitas Maluku tersimpan. Maluku mendunia berkat Rumphius, berkat kerja keras Mgr Andreas Sol, dan Perpustakaan Rumphius.
Tak terpisahkan
Perpustakaan Rumphius dan Mgr Andreas Sol itu satu dan tak terpisahkan. Awal kehadirannya serba kebetulan. Sebelum berangkat ke Maluku pada 1946, Sol yang lahir di Belanda dan ditahbiskan sebagai pastor pada 1940 mengoleksi buku, mempelajari seluk-beluk Maluku. Ia datang ke Pulau Kei Kecil, Maluku, 5 Oktober 1946.
Koleksi Pastor Sol dari tahun ke tahun terus bertambah, terutama setelah berada di Maluku, jadi Uskup Coadjutor pada 1964, lalu Uskup Ambon pada 1965, sampai emeritus dan digantikan Mgr Petrus Canisius Mandagi hingga kini. Perpustakaan yang menempati ruang seluas 121 meter persegi yang terbagi dalam empat ruangan itu terus dikunjungi orang.
Oleh karena begitu besar cinta dan penguasaan isinya, Mgr Sol yang akan berusia 100 tahun pada 2015 dijuluki kamus berjalan Maluku. Namun, kini sehari-hari ia tidak lagi mengurusi perpustakaan, tidak juga tinggal di wisma keuskupan, tetapi di wisma kongregasi. Pengurusan perpustakaan diserahkan kepada Pastor Paroki Katedral Ambon St Fransiskus Xaverius Theo Amelwatin dibantu seorang karyawati, Yolanda Dumatubun.
Dua kali Kompas, akhir April lalu, berusaha bertemu Mgr Sol. Setelah menunggu beberapa jam di ruang tamu, selalu ada jawaban, ”Hari ini Monsinyur sedang tidak enak badan dan tidak bisa menerima tamu.” Pada 1985, ketika Kompas bertemu pertama kali di ruang perpustakaannya, Mgr Sol menjelaskan secara detail, jelas, dan bangga tentang koleksinya. Dia tahu persis letak, nomor katalog, dan garis besar semua isi bukunya.
Hati dan jiwa Mgr Sol menyatu dengan Maluku, khususnya Pulau Kei Kecil tempatnya bertugas pertama kali di Indonesia. Isi Perpustakaan Rumphius itu amunisi yang dia timba dan sumbangkan kepada masyarakat Maluku serta dunia ilmu pengetahuan pada umumnya.
Koleksi Perpustakaan Rumphius, menurut Pastor Theo, berkat sumbangan sahabat dan kenalan Mgr Sol, makin banyak dan beragam. Kini, dari 7.000 eksemplar buku, sebanyak 4.000 adalah buku nonfiksi. Ada juga majalah, peta, video, dan VCD. Literatur yang dikumpulkan Mgr Sol itu tidak hanya 'dikonsumsi' sendiri, Sol juga mau membagikan pengetahuan kepada orang lain. Membuka perpustakaan adalah salah satu bentuk dedikasi Sol dalam memajukan pengetahuan masyarakat setempat.
Sumber belajar
Perpustakaan Rumphius jadi sumber belajar masyarakat internasional yang ingin mengenal Maluku. Maluku tak hanya dikenal sebagai penghasil rempah- rempah, tetapi isi buku itu juga menyajikan perkembangan kehidupan Maluku hingga saat ini dengan berbagai dinamika di dalamnya.
Di antara catatan Rumphius, terdapat tulisan tentang tsunami tertua dan pertama di Nusantara (Indonesia)—satu-satunya catatan di dunia—yang melanda Ambon dan Seram pada 17 Februari 1674. Tsunami itu menewaskan 2.322 orang.
Catatan yang ditulis Rumphius pada 1675 adalah satu-satunya naskah saat Rumphius masih hidup. Yang lain, yang dikerjakan lebih dari 39 tahun dalam keadaan buta, baru terbit setelah Rumphius tiada.
Seorang pengunjung asal Belanda, Peter Schouten, yang sudah beberapa bulan di Ambon, mengisahkan, ia tertarik mempelajari karya Rumphius dalam kaitan spesialisasinya di bidang antropologi. Rumphius menyediakan banyak informasi tentang Maluku. ”Di perpustakaan ini saya memperoleh banyak bahan tentang Maluku,” katanya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR